logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 ENAM

PART 6
____________________________________
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas.
"Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring.
Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik.
"Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak.
"Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang."
"Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya.
"Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa.
"Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."
Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa.
"Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak.
Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin dengan meletakan kepalanya di pundak seraya mengelus punggung kecilnya sayang.
Beberapa jenak ia berhenti menceracau. Hanya terdengar erangan-erangan samar dari mulut kecilnya. Suhu tubuhnya terasa sangat panas menembus kaos tipis yang kukenakan. Sampai aku ikut merasa demam.
"Jangan khawatir, Nak. Ada papa di sini. Cepat sembuh, ya!" bisikku pelan seraya memejamkan mata. Berharap semua luka seketika melebur dengan ajaib.
"Sini tidurin lagi,Fan, Emak pijat badan Salsa pake ini, biar lekas turun panasnya." Emak muncul membawa mangkok kecil.
Beliau memang biasa memberikan pertolongan pertama membalurkan bawang merah parut dan minyak kelapa saat ada yang demam. Itu berlangsung sejak aku, Almarhumah Teh Yuli, dan Rizky masih kecil. Sehingga terbiasa sedia bawang merah dan minyak kelapa. Dan cara itu selalu manjur.
"Iya, Mak." Kurebahkan kembali tubuh mungil Salsa perlahan.
Emak segera melucuti pakaian Salsa. Katanya, jika sedang demam tidak boleh berpakaian terlalu tebal. Sementara Salsa mengenakan setelan training tebal. Namun, ketika celananya yang hendak dilepas sampai di bagian lutut, Salsa merengek kesakitan.
"Sakit. Kaki Salsa sakit."
"Ya Allah, Fan, ini lutut Salsa kenapa? Jatoh, 'kah?" pekik Emak. Aku segera mendekat memerhatikan lutut Salsa.
Nampak lutut Salsa lecet lumayan dalam. Bagian kulit yang terluka memerah hingga sekitarnya. Baru kuingat, tadi pagi, saat mengejar mamanya, Salsa sempat terjatuh di depan pagar yang dipenuhi koral kecil. Akhir-akhir ini, Salsa juga sering kecolongan panas-panasan memainkan keran air di halaman.
Aarrghh ... hatiku kembali meradang. Lagi-lagi gara-gara wanita jalang itu. Dia bukan hanya gagal menjadi istri tapi, juga menjadi ibu. Ibu macam apa seperti itu? Bahkan, hewan pun tak pernah ingin anaknya terluka.
Salsa, malang sekali anakku punya ibu seperti dia. Baru kali ini aku sesali keputusan untuk menikahinya begitu cepat, tanpa menjajal pribadinya lebih dalam, dulu. Lalu terlalu percaya bahwa ia mencintaiku sama besar seperti aku mencintainya selama ini. Hingga bahkan, mengotak-ngatik hapenya pun tidak pernah.
Andai saja waktu bisa diulang. Andai ....
"Fan, malah melamun!" Ibu membuyarkanku dari lamunan.
"Eh, i-iya, Bu." Aku tergagap karena terkejut.
"Sepertinya, penyebab demamnya luka ini. Anak seumuran gini memang sensitif. Apa tadi dia jatuh?" Ibu bertanya, seraya memijat pelan tubuh Salsa. Bau bawang merah tercium tajam di seluruh ruangan kamar.
"Iya, Mak. Tadi jatuh," jawabku dengan tatapan menerawang.
"Inilah yang buat Emak kurang setuju istrimu kerja. Untuk apa? Istri itu di rumah. Urus anak dan suami. Perhatikan kebutuhan istrimu. Barangkali ada keinginannya yang tidak kamu penuhi, sampai nekad kerja. Lihat jadinya, anak kurang diperhatikan."
"Iya, Mak. Irfan juga berpikir gitu." Aku menanggapi dengan sekenanya.
"Kamu beritahulah istrimu, Fan. Kasian Salsa manggil-manggil terus mamanya. Anak kecil kalau lagi sakit begini, 'kan, selalu pengen dekat mamanya terus."
Ah, andai Emak tahu. Aku mengempaskan punggung ke kursi di sudut kamar. Aku memang tidak menceritakan masalah apa yang menimpa rumah tangga kami. Ini sangat parah. Pasti nanti Emak kepikiran. Biar nanti kupikirkan dulu, apa alasan logis yang akan dikatakan pada Emak, ketika ia tahu perihal perceraian nanti.
"Fan, atau jemputlah istri kamu besok. Selesaikan segera kalau ada masalah. Jangan dibiarkan berlarut-larut terlalu lama. Gak biasanya kalian bertengkar. Sebenarnya ada apa?" Emak terus memberi petuah. Kata-kata yang sebenarnya biasa saja tapi, terdengar begitu getir di telingaku.
Aku hanya terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Haruskah kuceritakan pada Emak, sepahit apa pun kenyataannya? Sejujurnya aku lelah terus bungkam menyembunyikan semua ini.
______
Setelah tadi Emak pijat tubuhnya, tak berapa lama demam Salsa turun. Mulai bisa diajak bicara, meski masih nampak lesu. Meski begitu, Emak menahan Salsa untuk tetap tinggal di rumahnya. Katanya, supaya bisa ia rawat. Aku pun kembali ke rumah sendiri, untuk mengontrol para karyawan yang mungkin sudah mulai bekerja. Barangkali ada sesuatu yang harus diurus.
Aku memberikan Mira duplikat kunci pagar dan pintu tempat produksi. Selain dipercaya karena sudah lama jadi karyawan dan kerjanya bagus, kontrakannya juga tepat bersebrangan dengan rumah dan pabrikku yang berada dalam satu lingkungan. Sehingga, meskipun aku tidak ada, mereka bisa masuk, dan mulai bekerja.
Dalam keadaan hati dan pikiran yang berantakan ini, sesungguhnya aku ingin meliburkan sejenak rutinitas pekerjaan. Namun, tidak bisa. Aku harus profesional. Banyak orang yang setiap harinya menggantungkan hidup dari usahaku.
Para pedagang keliling yang setiap hari mengambil cilok untuk mereka jual keliling. Penghasilan mereka harian. Bagaimana nasib perut mereka dan keluarganya hari ini, kalau mereka tidak jualan?
"Mir, kemarin Salsa lututnya luka, ya?" tanyaku. Urung memutar anak kunci rumah saat Mira keluar dari pabrik hendak membuang sampah.
"Iya, Kang. Jatuh pas ngejar Teh Resty tadi pagi itu," jawabnya berhenti melangkah.
"Gak langsung kamu obatin betul-betul? Demam tinggi dia sekarang gara-gara luka itu."
"Innalilahi, iya, 'kah, Kang? Aku mau obatin pake alkohol sama obat merah tapi, Salsa gak bisa diem. Nangis gak mau dikasih alkohol. Jadinya pake obat merah aja," jelasnya terlihat kaget, dan takut disalahkan.
"Ya udah, gak pa-pa. Sekarang udah mendingan, dia." Aku berbalik kembali dan memutar anak kunci. Lantas membuka pintu.
"Sekarang, mana anaknya, Kang?"
"Di rumah Emak," jawabku singkat.
"Oh, sama mamanya juga nginep di sana?"
Daassth ... kenapa Mira mendadak sangat menyebalkan?
"Udahlah, kamu kembali kerja. Aku mau istirahat. Semalaman belum tidur. Kalau ada apa-apa, panggil saja!" sahutku ketus. Kemudian menutup pintu agak kencang.
______
"Kang ... Kang ... Kang Irfan!"
Sayup kudengar Mira memanggil disertai ketukan pintu. Rupanya, aku sempat mengunci pintu sebelum pergi tidur.
"Iya, ada apa?" tanyaku, seraya mengucek mata yang terasa sangat berat.
"Tadi Bi Edah ke sini. Disuruh Emak ngasih tau Akang kalau Salsa demamnya tinggi lagi."
Kantuk seketika lenyap, mata langsung terasa segar. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Ah, sial! Aku tidur kebablasan. Sampai salat Zuhur pun terlewat.
"Kenapa kamu gak bangunin aku dari tadi? Sampai salat Zuhur terlewat." Segera kuraih jaket, dan mencuci muka dengan asal.
"Bukan gak bangunin, Akang aku panggil berkali-kali pas yang jualan pada dateng aja gak nyaut. Jadinya aku kasih stok sesuai yang mereka minta aja."
Astaga! Begitu lelapnya aku tidur.
Segera aku melesat membawa mobil ke rumah Emak. Jaga-jaga kalau harus segera diperiksa ke dokter. Supaya tidak bolak-balik.
"Fan, ini gimana Salsa dari tadi kejang-kejang?" ucap Emak panik dengan Salsa di pangkuannya saat aku datang. Ada Bi Edah dan anak perempuannya juga di samping Emak. Beliau adalah tetangga belakang rumah Emak.
"Ya, Salsa kalau demam suka gitu, Mak. Mak tahu, 'kan? Ya Allah, Nak." Kuambil alih Salsa dari pelukan Emak. Salsa memeluk leherku kuat sekali.
"Sekarang gimana, ini?" tanya Emak panik.
"Kita ke dokter sekarang!"
______
Salsa akhirnya harus diopname. Setelah ditangani dokter, aku menjadi lebih tenang. Setidaknya, kalau panasnya tidak turun sampai malam, ada dokter yang menangani.
"Masih ada pasir-pasir yang belum bersih di lukanya. Makannya begkak dan infeksi. Tapi tidak apa-apa, sudah dibersihkan. Nanti juga sembuh. Anak pintar!" Dokter muda berkerudung moca itu mengusap kepala Salsa lembut.
Syukurlah!
Namun, tiba-tiba saja, aku merasa pusing dan perut keroncongan. Baru sadar, sejak kemarin, tak sesuap pun makanan masuk melewati kerongkongan.
"Kenapa, kamu, Fan?" tanya Ibu, menyadari gelagatku.
"Irfan belum makan dari tadi siang. Ibu mau pesen apa? Biar sekalian Irfan belikan sambil makan ke luar bentar." Sebenarnya, tak ada sedikit pun hasrat untuk makan. Namun, mau bagaimana lagi. Untuk menghadapi kenyataan, aku harus tetap sehat dan tegar. Salah satu caranya, harus tetap makan.
"Ya Allah, kamu, Fan. beli bubur polos aja buat anakmu. Tadi sempet muntah sebelum kejang. Keluar semua makanan yang masuk. Kosong perut dia."
_____
Setelah membayar semangkok bubur yang kutandaskan, serta bubur polos untuk Salsa, aku segera kembali ke salah satu ruangan anak di mana Salsa dirawat.
Beberapa meter dari kamar Salsa, sayup kudengar obrolan Emak dengan ... ah, tidak mungkin! Pasti aku salah dengar.
Kupercepat langkah dan membuka pintu ruangan di mana Salsa dirawat. Langkah seketika terpaku. Mulut terkatup rapat. Ia yang tengah menyuapi Salsa menoleh dan menatapku nampak takut-takut.

Komentar Buku (30)

  • avatar
    DyanBirin

    bKdy bama

    28/07

      0
  • avatar
    15Mahija

    ceritanya bagus

    11/07

      0
  • avatar
    Riyana

    semangat

    01/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru