logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 INIKAH YANG DINAMAKAN CINTA?

Pertemuan tak sengaja di pusat perbelanjaan itu meninggalkan kesan tertentu di benak masing-masing. Kebersamaan dan keakraban yang terjalin selama beberapa jam itu menimbulkan perasaan baru dari seseorang terhadap seseorang yang lain, membentuk suatu jalinan yang rumit.
Versi Wulan
Ia mencoba memejamkan mata agar kantuk segera datang. Badannya begitu lelah, kakinya terasa sakit dan betisnya seakan mau pecah. Terkadang ia menyebutnya rasa sakit yang nikmat, karena perasaan pegal di setiap bagian tubuh itu membuat dia begitu merindukan tempat tidur, dan begitu tubuh direbahkan di atas kasur yang empuk, gelombang kenikmatan segera melanda di sekujur tubuh.
Matanya memang terpejam, namun pikirannya masih terjaga. Ada ketidaksinkronan antara raga dan jiwanya. Tubuhnya mengajaknya untuk beristirahat, tetapi pikirannya masih ingin melanglang kemana-mana.
Ini kali kedua pertemuannya dengan Bima. Pertemuan pertama langsung menimbulkan ketertarikan secara fisik. Tinggi dan tampan, dengan proporsi tubuh yang bagus. Wajahnya terpahat sempurna, maskulin tanpa kesan sangar, karena pancaran dari sorot matanya begitu teduh dan menenangkan hati. Saat pertemuan pertama, Wulan belum begitu mengenal kepribadiannya. Hanya obrolan singkat saat Mentari masuk ke dalam rumah untuk menjawab telepon Meilia. Kendati singkat, percakapan itu langsung menarik hatinya.
Dan di pertemuan kedua tadi siang, saat dua pasang mata mereka bersiborok di dalam lift, dan saling mengenali satu sama lain, ada desiran halus di dadanya. Jantungnya berdetak tak menentu ketika Bima tersenyum simpatik dan menyapa, “Wulan?”
Entah ini hanya perasaaannya saja, tapi sapaan ‘Wulan’ itu begitu mesra terdengar di telinganya, membuatnya merasa sebagai gadis paling beruntung di dunia. Karena beberapa pasang mata di dalam lift itu turut memandang Bima dengan sorot kagum.
Wulan adalah kembang kampus. Dengan wajah cantik rupawan, kulit putih bersih, bentuk tubuh indah dan proporsional, sikap luwes dan ramah, tak heran jika kaum pria di kampus itu menggilainya, dan kaum wanita mengaguminya. Ia tak pernah pandang bulu dalam berteman.
Dengan segala keberuntungan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, sudah pasti banyak lelaki yang mendekatinya. Dari petugas cleaning service, pegawai tata usaha, mahasiswa, sampai dosen pun, pernah menyatakan cinta kepadanya.
Semua ditolak dengan halus. Wulan memberi mereka pengertian secara baik-baik, agar tidak ada yang sakit hati. Dan cara itu terbukti ampuh. Tak satu pun dari para pria itu yang mendendam. Semuanya tetap bersikap baik dan menjalin pertemanan dengannya.
Hingga di umurnya yang dua puluh tiga ini, Wulan belum pernah merasa jatuh cinta yang sebenar-benarnya kepada seorang lelaki. Cinta monyet mungkin, saat masih mengenakan seragam sekolah.
Orang-orang yang mengenalnya merasa heran dengan kenyataan itu, beberapa ada yang menyayangkan, di antaranya adalah orang tua dan sanak saudaranya. Bahkan, beberapa teman mencurigai ia mempunyai orientasi sex yang menyimpang.
Saat rumor itu sampai ke telinganya, Wulan tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata. Dia merasa normal, masih tertarik kepada lawan jenis. Hanya saja belum menemukan yang betul-betul pas di hati.
Kini, seseorang yang dirasanya pas di hati itu memasuki kehidupannya. Ia tersenyum-senyum sendiri di atas tempat tidur, seperti orang keranjingan, masih dengan memejamkan mata. Lelaki itu telah menembakkan panah asmara, mengena pas di hatinya.
Tapi tunggu dulu! Wulan membuka mata tiba-tiba lalu bangkit duduk sambil bersandar pada kepala tempat tidur. Benarkah lelaki itu menembakkan panah asmara ke hatinya? Atau ke hati Mentari?
Kesadaran akan hal itu membuat dadanya tertekan oleh sesuatu yang tidak nyaman.
Sikap Bima begitu manis padanya. Juga kepada kakaknya. Saat bercakap-cakap dengan seseorang, Bima selalu mengarahkan pandangannya kepada lawan bicaranya sebagai tanda bahwa ia sedang menyimak dengan baik. Saat dia mengarahkan pandang ke arah Mentari, Wulan menangkap binar-binar kekaguman dalam matanya, dan pandangan mata lelaki itu lebih lama tertuju kepada Mentari, begitu lekat, begitu intens, seakan sedang menikmati pemandangan yang membentang indah.
Pada percakapan berdua di hari pertama ia bertemu Bima, mereka membahas topik kecantikan. Pria itu berbicara tentang kecantikan yang tak bisa ditangkap oleh mata fana, namun hanya bisa terlihat jika kita menyelami jiwa seseorang sampai ke relung terdalam. Pandangannya menerawang kala itu, seperti sedang melamunkan seseorang. Seperti sedang membayangkan Kakak, Wulan menyimpulkan. Karena ketika Mentari keluar dari dalam rumah untuk bergabung lagi dengan mereka, wajah Bima menjadi bersemu merah.
Wulan tak pernah tahu isi hati kakaknya. Perlakuannya sama manisnya baik kepada Bima, Dennis, maupun Gilang. Perasaan Mentari terhadap seorang lelaki adalah satu hal yang paling tidak bisa Wulan selami dari diri kakaknya. Kakaknya akan menutup hatinya seperti kerang jika itu menyangkut perasaan suka kepada lawan jenis.
Mentari rupanya masih trauma dengan kehilangan masa lalunya. Di tahun kedua masa kuliah, ia menjalin hubungan dengan teman satu fakultas namun beda angkatan. Dua bulan setelah lulus kuliah dan diwisuda, pacar Mentari meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Persis dua tahun sesudahnya, di bulan yang sama, adik lelaki mereka pun meninggal, juga dalam kecelakaan lalu lintas. Mentari seperti mengalami trauma dalam mencintai seseorang. Orang-orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ia takut mencintai lagi. Tak mudah mengatasi perasaaan kehilangan orang yang dicintai, butuh berbulan-bulan untuk move-on.
Versi Mentari
Memasuki kamarnya setiba di rumah, Mentari mendapati kertas-kertas kerjanya masih bertebaran di atas tempat tidur. Ia baru teringat bahwa pekerjaannya belum selesai karena tergoda akan ajakan Wulan.
“Hhaahh...” Ia menghela napas lelah. Sekujur tubuhnya merasakan sensasi pegal yang menggelitik. Sakit-sakit nikmat, begitu istilah Wulan. Hamparan kasur empuk itu begitu mengundang untuk merebahkan diri di atasnya.
Ia merapikan kertas-kertas itu dari atas ranjang dan membawanya ke meja kerja di dekat jendela. Setelah berganti baju dengan piyama, ia pun duduk dan mulai melanjutkan bekerja.
Tapi ia tak bisa berkonsentrasi penuh. Pikirannya melayang pada perjumpaan yang tak disengaja dengan Bima dan teman-temannya di mal siang tadi. Mentari sangat menikmatinya. Ia tak menyesali acara jalan-jalan itu, meskipun meninggalkan rasa sakit dan pegal di setiap inci tubuhnya, juga berkas-berkas yang belum dibaca dan dibuat laporannya ini. Kembali ia menyibukkan diri di depan layar komputer, jari-jarinya lincah bergerak di antara tuts-tuts keyboard.
Namun itu hanya berlangsung sekitar lima belas menit saja. Jari-jari tangannya terasa kebas setelah mengetik dengan cepat selama lima belas menit non-stop.
Kembali Mentari memikirkan Bima dan kedua temannya. Pria-pria yang menyenangkan. Sungguh mengasikkan berteman dengan mereka. Ia teringat bagaimana ketiga lelaki itu bereaksi saat ia ditabrak dengan keras hingga nyaris jatuh terjengkang jika tidak segera ditangkap oleh Dennis. Secara refleks Dennis menangkap tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai, Bima menegur keras lelaki yang menabraknya, dan bersama Gilang hendak mengejar orang tak bertanggung jawab itu.
Namun satu hal yang paling membuat hatinya berbunga-bunga adalah pandangan khawatir Bima saat menanyakan kondisinya sehabis ditabrak dengan begitu keras dan mendadak, apakah dirinya baik-baik saja. Dibela oleh tiga pria gentle membuat dirinya merasa sebagai putri cantik yang dikelilingi para pangeran tampan.
“Ddrrttt!” Telepon selularnya bergetar dan berputar di atas meja. Notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.
‘Selamat malam, Mentari. Sudah tidur atau masih beraktifitas? Apapun itu, semoga malammu menyenangkan.’
Mentari tidak mengetahui siapa yang mengirimnya, tapi ia tersenyum-senyum sendiri membaca pesan yang bernada manis itu.
Kemarin ia memang memberikan nomernya kepada Bima, tetapi Bima tidak balas memberikan nomornya, dan Mentari pun tidak meminta, sehingga ia tidak menyimpan nomor Bima di dalam kontak teleponnya.
Dengan cepat ia membalas pesan terebut.
‘Selamat malam juga. Aku belum tidur, masih mengerjakan tugas kantor. Oiya, ini siapa?’
Ia tidak mau gegabah menyimpulkan bahwa itu Bima.
Balasannya segera datang.
‘Ini Dennis. Sori, aku minta nomor kamu diam-diam ke Wulan waktu kamu di toilet. Aku takut jika meminta langsung, kamu akan menolak. Malu kan jadinya kalau aku ditolak di depan yang lain.’
Isi pesan itu tak pelak membuat Mentari makin tersenyum lebar, meskipun ada setitik kekecewaan di hati. Ia berharap Bimalah pengirim pesan itu.
Dennis yang manis, dengan wajah baby face-nya. Sikapnya juga sangat manis dan sopan. Pandangannya yang mencuri-curi ke arahnya membuat Mentari merasa tersanjung.
Mentari : Hai, Dennis. Belum tidur?
Dennis : Belum, ada film seru di televisi.
Mentari : Yang lain juga belum tidur?
Sebenarnya yang ingin dia tanyakan secara khusus adalah Bima.
Dennis : Gilang ada bersamaku. Bima sudah masuk kamar sedari tadi.
Mentari merasa senang memperoleh informasi kecil itu. Mungkin dia sudah tidur sekarang, pikirnya, makanya tidak menghubungiku.
Setelah beberapa balasan pesan, akhirnya ia pun kembali berkonsentrasi di depan komputer.
Waktu menunjukkan pukul sebelas kurang sepuluh. Ia menguap lebar. Dan merasa lapar. Segelas susu dan Oreo dirasanya pas untuk menemani begadang. Ia beranjak keluar menuju dapur, membuat segelas besar susu hangat.
Versi Bima
Ia langsung masuk ke kamar begitu sampai di rumah. Bima hendak menelepon kedua orang tuanya yang sedang berada di Belanda untuk urusan pekerjaan.
Bima menceritakan segala aktifitasnya beberapa hari terakhir ini; tentang pekerjaan di kantor, teman-teman serumah, kemacetan ibukota. Tak lupa ia menceritakan pengalaman jalan-jalannya siang ini.
Ibunya menangkap nama beberapa teman perempuan yang disebutkan anaknya, membuatnya tersenyum penuh arti kepada suaminya yang turut mendengarkan. Tapi ia tak bermaksud menanyakan lebih lanjut. Nantilah, saat kembali ke tanah air.
Memang, dalam percakapan jarak jauh itu beberapa kali Bima menyebut-nyebut nama Mentari dan Wulan, tanpa ia sadari.
Setelah berbicara tiga puluh menit, Bima menyudahi percakapan itu, dengan berpesan agar keduanya berhati-hati di negeri orang dan selalu menjaga kesehatan.
Ia meletakkan teleponnya ke atas meja, tapi diambilnya kembali sambil menimbang-nimbang. Ia ingin sekali menelepon Mentari, untuk memastikan apakah kedua gadis itu telah sampai ke rumah dengan selamat. Saat melewati rumah mereka, ia tidak bisa memastikan apakah mobil Wulan sudah terparkir di dalam, karena pagar rumah itu begitu tinggi dan rapat.
Ketika keluar dari mal, Bima sempat melihat sosok Mentari di depan kemudi sebuah SUV berwarna merah. Itu membuatnya heran, karena setahunya, Wulanlah yang menyetir mobil saat berangkat dari rumah, dan Mentari pernah mengatakan bahwa ia tidak terlalu suka menyetir mobil.
Hal itulah yang membuatnya agak khawatir. Lalu lintas di sepanjang jalan dari mal menuju rumah mereka agak padat, bahkan macet total di beberapa titik. Apakah Mentari berhasil lolos dari kemacetan itu, ia ingin tahu.
Dengan suatu keputusan bulat, Bima mencari nama Mentari di daftar kontak teleponnya, dan mengirim pesan singkat.
‘Hai, Mentari. Sudah sampai di rumah dengan selamat?’
Lama menunggu balasan, Bima keluar dari kamar untuk menemui Dennis dan Gilang di ruang tengah.
Mentari baru saja selesai membuat susu hangat. Bersamaan dengan ia membuka pintu kamar, teleponnya bergetar lagi. Lagi-lagi dari nomor tak dikenal. Kalau ini dari Gilang, pikirnya geli, bisa gila aku! Rasanya tak mungkin lelaki itu tertarik pada dirinya. Minatnya selalu tertuju kepada Wulan.
Mentari : Hai, aku sudah sampai ke rumah dengan selamat, terima kasih. Oh iya, ini siapa, ya?
Bima : Ini aku, Bima. Syukurlah kamu dan Wulan sudah ada di rumah. Tadi agak macet ya, aku khawatir kamu terjebak.
Mentari sangat senang ketika mengetahui pesan itu dari Bima.
Mentari : Memang, aku sempat terjebak macet beberapa kali, tapi semuanya oke.
Bima : Kamu belum tidur? Pasti masih mengerjakan tugas kantor.
Mentari : Iya, Bim. Tinggal dua halaman lagi.
Bima : Apakah aku mengganggu?’
Mentari : Sama sekali tidak. Aku baru saja membuat susu hangat. Aku kelaparan.
Bima : Susu sama Oreo, kan?
Mentari : Hehe, iya, biar tidak mengantuk. Teman begadang terbaik.
Bima : Setahu aku, kalau mengantuk saat begadang, obatnya dengan minum kopi.
Mentari : Haha! Kalau aku minum kopi saat ini, bisa dipastikan akan begadang sampai pagi.
Bima : Hehe. Okelah, selamat mengerjakan tugas. Jangan terlalu larut tidurnya. Ingat, besok kamu harus bangun pagi untuk berangkat kerja.
Mentari : Pasti, aku juga sudah mau tidur.
Bima : Semoga mimpi indah. Besok kita ketemu di halte seperti biasa, ya.
Mentari : Iya, kamu juga, selamat beristirahat.
Mentari meletakkan teleponnya dengan perasaan melambung tinggi. Bima masih juga mengkhawatirkan keselamatan dirinya saat menyetir pulang ke rumah. Dan besok, Bima mengajaknya bertemu di halte bis. Ooh, indahnya dunia ini. Inikah yang dinamakan jatuh cinta?
Versi Dennis dan Gilang
Keduanya sedang menonton film horor di ruang tengah. Ketika jeda iklan, Gilang memandang sejurus ke arah Dennis.
“Den, kamu naksir Mentari, kan?”
“Eh, apa?” Dennis tidak siap ditanya seperti itu. “Kamu sendiri, tertarik pada adiknya, kan?” Ia balik bertanya.
“Yaah, memang.”
“Bagus juga, kita tidak memperebutkan gadis yang sama.” Dennis menyengir.
“Tidak juga,” Gilang membantahnya. “Kamu lupa, Mentari itu temannya Bima. Bima yang pertama kali mengenalnya.”
“Lalu kenapa? Mereka hanya berteman, kan?”
“Kamu kurang peka.”
“Kurang peka bagaimana? Bima tidak pernah mengatakan kalau Mentari itu pacarnya.”
“Nah, di sinilah tidak pekanya kamu. Apa kamu tidak memperhatikan bagaimana Bima memperlakukan Mentari, bagaimana cara dia menatap gadis itu?”
Dennis memikirkan perkataan temannya, dan dengan nada menyesal dia berkata, “Aku sama sekali tidak memperhatikannya. Yang aku perhatikan, Wulan terlihat tergila-gila kepada Bima. Eh, sori, aku tidak bermaksud...” Ia terdiam melihat ekspresi muram sahabatnya.
“Aku pun sadar, sesadar-sadarnya. Wulan tidak tertarik padaku,” keluh Gilang.
“Menurut kamu, Mentari tertarik juga kepada Bima?” tanya Dennis.
Gilang menggeleng. “Mentari tak terbaca olehku. Perlakuannya terhadap Bima maupun kepada kita berdua tidak menunjukkan perasaan apapun.”
Dennis mengiyakan. “Aku suka Mentari.”
“Bukan hanya kamu yang suka padanya.”
“Kamu juga suka Mentari?” Dennis menoleh cepat, pura-pura mendelikkan mata, seakan-akan mau marah. Tapi Gilang tahu dia hanya bercanda.
“Suka, sebagai teman. Meskipun aku menyukainya lebih dari teman, tetap saja aku tidak berani bersaing dengan Bima. Lawannya terlalu tangguh.”
“Kamu menyindir aku?” Dennis memandangnya tak suka.
“Bukan menyindir. Tapi kita harus tahu diri.”
Dennis terdiam.
Rumah ini, meskipun kepada orang-orang Bima mengakui menyewanya bersama teman, tetapi dialah yang membayar biaya sewanya selama setahun penuh. Segala perabot rumah dan peralatan elektronik yang ada di rumah ini pun milik Bima.
Mereka bertiga sudah berteman sejak dari sekolah dasar. Dennis dan Gilang yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja merasa heran melihat Bima yang berasal dari keluarga konglomerat, mau bersahabat dengan mereka. Sejak dari kecil, Bima tak pernah mau memamerkan status dan kekayaannya. Kalau tidak terpaksa, kemana-mana ia lebih memilih transportasi umum.
“Jadi?” Gilang bertanya lagi.
“Mentari bebas memilih siapa yang dia suka, kan?” Dennis masih keras kepala.
“Terserah kamu saja. Aku hanya mengingatkan sebagai teman.” Gilang menutup topik pembicaraan itu, saat dilihatnya Dennis tak ingin mengatakan apa-apa lagi.
Betapa rumitnya hubungan segi banyak ini.

Komentar Buku (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru