logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

3. Tempat Sepi

Abel terus memandang pantulan wajahnya yang merona di cermin. Ini sudah dini hari dan ia tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan Leony. "Jadi, dia menikah denganku karena ingin menyelamatkanku?" gumamnya berusaha menahan gejolak senang yang meledak dalam hatinya.
"Tidak. Mungkin saja dia itu mata-mata," elak Abel kemudian memukul cermin hingga pecah. Memikirkan kemungkinan Leony adalah mata-mata membuatnya kesal. "T-Tapi bagaimana kalau dia jujur?" lanjutnya dengan wajah yang makin merah.
Sedangkan Albert hanya bisa memperhatikan dalam diam. Dari tadi ia sudah menyaksikan perilaku aneh tuannya dan tak dapat melakukan apa pun. Padahal dalam hati pria itu sangat ingin berteriak pada Abel untuk memeriksa pekerjaan penting.
Terjaga sampai dini hari tidak selalu buruk, dari dulu pun Abel memang sering begadang karena masalah kerajaan. Namun, bedanya sekarang kaisar itu tak menyentuh sedikit pun kertas yang berisi strategi perang.
Padahal Albert harus memberi tahu keputusan Abel pada ketua pasukan kesatria besok. Kalau belum ada perintah dari kaisar maka rencana penyerangan tak dapat dilakukan.
"Yang Mulia, ini sudah malam, sebaiknya Anda membaca strategi perang dari Duke Marlon agar bisa segera tidur," saran Albert memberanikan diri untuk menyela kegiatan-tak berguna-tuannya.
Abel yang merasa tersindir pun sontak berhenti mondar-mandir di depan cermin. Rona merah di wajahnya seketika hilang begitu memikirkan tentang perang, rencananya ia akan menyerang Tansala, sebuah kerajaan yang memiliki banyak tambang emas.
Jika Tansala berhasil ditaklukan maka kerajaan Arselik bisa menambah kekayaan. Tujuan Abel tahun ini adalah mengumpulkan banyak harta dari rampasan perang, dengan begitu namanya akan dikenal sebagai kaisar yang membawa kerajaan ke masa jaya.
"Kau benar. Harusnya aku memikirkan matang-matang tentang strategi perang," ujar Abel lantas beranjak menuju meja kerjanya dan mulai meneliti strategi perang yang dibuat Duke Marlon.
Melihat itu Albert pun menghela napas lega, bukan karena Abel menaruh perhatian pada strategi perang, melainkan karena tidak dibunuh oleh kaisar itu. Entah kenapa ia masih saja takut meski telah menjadi tangan kanan selama beberapa tahun.
"Sejauh ini strateginya bagus, tapi Tansala itu kerajaan yang dipenuhi tebing. Bisa saja nanti pasukan akan terjebak di tempat seperti itu. Tolong jangan turun dari tebing jika kita kalah jumlah. Nanti akan sulit untuk kembali ke atas saat terdesak musuh," jelas Abel tak lagi memperhatikan kertas di mejanya.
Albert mengangguk paham, ia pun tahu mengenai hal tersebut dan akan menyampaikannya pada pasukan kesatria yang belum berpengalaman.
"Keluarlah dari sini, aku akan menuliskan beberapa saran tambahan untuk pasukan kesatria," titah Abel dan bawahannya pun langsung keluar tanpa membantah.
Setelah tak ada lagi orang Abel pun berdiri di depan cermin lain yang tidak pecah. Dengan ekspresi tegang ia memandangi pantulan wajahnya, ini adalah pertama kali dirinya melakukan hal tersebut. Ternyata setelah ditilik rupanya tidak terlalu buruk.
"Mungkin dia jatuh cinta karena ketampananku," bisik Abel mendadak percaya diri.
Pria itu ingin terus menatap cermin tapi terhalang oleh tugas yang menumpuk. Dengan cepat ia duduk di kursinya dan mulai menulis sesuatu. Namun, Abel tak bisa fokus, otaknya terus saja mengingat ucapan Leony beberapa waktu lalu.
Sangat tak disangka ternyata gadis itu memberi pengaruh yang cukup besar. Abel sampai membanting alat tulisnya karena merasa terganggu. Usai menenangkan diri ia pun melanjutkan tugasnya. Meskipun sempat memikirkan Leony ia bisa menyelesaikan saran untuk perang dengan baik.
"Berikan ini pada Duke Marlon."
Albert yang sedang bersandar di dinding terlonjak kaget oleh sebuah suara. Sejak keluar dari kamar ia tak pernah kehilangan fokus, bahkan daun yang jatuh ke teras pun bisa dilihatnya, tapi Abel datang tanpa suara dan itu membuat jantungnya nyaris copot.
"Maaf saya kurang fokus, Yang Mulia," ucap Albert sedikit menunduk ketika menerima kertas dari Abel. "Apa ada yang Anda butuhkan?"
"Aku dengar tadi sore ada seorang bangsawan yang melakukan korupsi. Bawa dia ke tempat biasa."
Setelah mengatakan itu Abel menutup pintu kamar lalu kembali ke depan cermin, tapi kali ini Abel membawa kursi untuk duduk. Tampaknya ia masih belum puas memandangi wajah tampannya.
"Benar. Pasti si Ilona itu hanya menyukai tampangku saja. Dasar pemandang fisik!" hardik Abel menendang cermin di depannya hingga pecah.
Malam ini pria itu telah memecahkan cermin sebanyak dua kali, hanya demi melampiaskan perasaan yang tak dipahami olehnya. Ia senang kemudian marah karena merasa dikhianati.
Sedangkan di sisi lain Leony tidak bisa memejamkan mata dalam waktu lama. Ingin hati cepat tidur, tapi apa daya perasaannya terus gelisah. Dengan menahan kesabaran ia menyibakkan selimut lalu keluar dari kamar.
"Gara-gara kaisar gila itu aku jadi kepikiran," gumam Leony memilih untuk mencari suasana baru.
Barangkali jalan-jalan di sekitar istana dapat meringankan beban pikirannya. Namun, tanpa sadar gadis itu malah berjalan sangat jauh dan tiba di tempat asing. Leony yakin dirinya telah tersesat. Karena melamun ia jadi tidak ingat jalan pulang.
"Argh, sial! Bagaimana sekarang?" maki Leony mengentakkan kaki ke tanah.
Ia melirik ke sekitar, berharap ada seorang penjaga yang dapat ditanyai tentang arah pulang. Akan tetapi, hanya ada keheningan di sana, bahkan binatang malam pun enggan bersuara. Tiba-tiba saja pemikiran buruk menyerang Leony.
Bagaimana jika dirinya mendatangi tempat berbahaya?
Selalu ada area terlarang di mana pun dan Leony yakin itu juga berlaku dalam istana. Dalam hidup ia paling takut dengan hantu, juga orang jahat. Manusia berani melakukan hal di luar batas seperti membunuh atau memerkosa.
"Oke, Leony, tenang. Tarik napas dan embuskan," gumam Leony lantas melakukan ucapannya, menarik napas kemudian dikeluarkan.
Lalu dengan kecepatan paling tinggi yang dimilikinya ia berlari kencang. Masa bodoh ke mana kakinya melangkah pergi, asalkan bisa lolos dari tempat mengerikan itu tak masalah. Namun, keberuntungan tak berpihak padanya karena ia malah tersandung akar pohon.
Saat ingin memaki tiba-tiba pendengaran Leony menangkap suara aneh, itu adalah suara orang menangis. Ia memang tak takut hantu, tapi ia percaya dengan keberadaan makhluk halus. Mungkin saja suara tadi berasal dari arwah gentayangan yang dibunuh Abel.
"A-aku harus pergi dari sini."
Namun, Leony tak jadi berdiri dan memilih untuk bersembunyi di balik pohon besar. Ia yakin baru saja melihat Abel. Kaisar itu datang bersama pria yang dikenalnya bernama Albert dan Rei, di belakang mereka terdapat satu orang lagi dengan wajah pucat.
"Ternyata dua orang kepercayaan Abel sangat tampan. Aku memang hebat dalam menciptakan karakter," gumam Leony memuji dirinya sendiri.
Ia hendak pergi ketika sadar tiga orang itu tidak mengetahui keberadaannya. Hanya saja jeritan seseorang membuat tubuh Leony membeku. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Abel membunuh seseorang, pria itu menjilat darah di pedangnya seolah sedang menghabiskan sisa makanan pada sendok.
"Ah, berisik sekali. Aku tak tahan mendengar tangisan seseorang. Lain kali potong dulu lidahnya sebelum kububuh."
Leony mengumpat dalam hati karena bisa mendengar suara Abel walaupun samar-samar. Akan lebih baik jika ia tak mendengar perkataan yang membuat takut. Jujur saja dirinya hampir kencing di celana akibat merinding.
"Wajar saja jika menangis. Dia adalah Jeremy dari keluarga Reid yang selalu dimanjakan. Sayang sekali dia malah melakukan korupsi di daerah kekuasaannya sendiri."
Tanpa dijelaskan pun Leony tahu maksud dari ucapan Albert. Secara tidak langsung pria itu mengungkapkan bahwa Jeremy Reid melakukan korupsi lalu dihukum mati, alias dibunuh oleh Abel. Fakta tersebut berhasil memunculkan rasa ngeri yang tak tertahan.
Andai saat eksekusi Leony tidak meyakinkan Abel maka nyawanya sudah menghilang. Tunggu. Ingatan tentang eksekusi menyadarkannya jika kaisar masih belum percaya. Abel tak akan membunuh orang kalau yakin pada ucapannya dulu.
"Maafkan saya lancang karena bertanya seperti ini. Tapi, apa Yang Mulia tidak percaya pada Ratu?"
Leony bersorak dalam hati setelah tahu pria bernama Rei mengajukan pertanyaan yang mewakili kegelisahannya.
"Untuk sekarang aku belum percaya. Mungkin nanti setelah perang selesai aku akan menguji perkataannya. Karena sekarang masih rawan tentang mata-mata aku jadi tak bisa gegabah."
Syukurlah karena ternyata Leony masih punya kesempatan untuk mendapat kepercayaan Abel. Gadis itu sudah tak gelisah lagi sehingga memutuskan untuk pergi dari sana. Tetapi, baru satu langkah kakinya malah menginjak ranting.
"Aku benci ini," bisik Leony yang tanpa berpikir dua kali langsung memanjat pohon di belakangnya.
Dari atas ia bisa melihat jika Abel dan dua bawahannya mendekat. Tiga orang itu kompak mengeluarkan pedang seakan siap untuk menusuk siapa saja yang menguping. Leony yakin tempat persembunyiannya tak mungkin ditemukan, tapi ia salah besar.
"Pasti orang itu ada di atas sana," ucap Abel melihat jejak kaki yang mengarah ke pohon.
Albert dan Rei saling menukar tatapan lalu berseru, "Biar saya yang naik, Yang Mulia!"
"Tidak. Biar aku saja. Kebetulan hari ini aku baru membunuh satu orang."
Rasanya jantung Leony akan meledak sebentar lagi ketika mengetahui Abel telah memanjat pohon. Pasti ia akan dibunuh karena dianggap sebagai mata-mata, terlebih dirinya tak punya alibi jika ditanya kenapa bisa ada di tempat ini.
'Pikir, Leony, pikir! Apa yang harus kau lakukan sekarang?'

Komentar Buku (111)

  • avatar
    Najwaaa

    bagus

    2d

      0
  • avatar
    Dek Septa

    cerita istimewa dan bagus

    5d

      0
  • avatar
    MaulanaRohan

    apk ini bagus

    22/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru