logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7. Hanya Karena Buku Sepele

***
Seketika kedua kaki Brighid seolah tertanam jauh ke dasar bumi tatkala suara Rheino tengah menyapanya. Bri menahan napas seolah takut jika napasnya yang keluar dari hidung dapat menerbangkan beberapa lukisan yang tertempel indah di dinding rumah.
"Darimana saja kau?" Rheino mengulangi pertanyaannya sambil bersedekap.
Bagaikan tubuh robot, Bri memutar tubuhnya perlahan. Kepalang tanggung, Bri tidak bisa kabur lagi ketika dua bola mata saudara tirinya kini menghunjam manik matanya dengan sabar.
"Kenapa telat? Sepertinya kau sibuk menghindar dariku," tebak Rheino dengan ekspresi yang -ehm, sumpah nyebelin banget.
"Menghindar atau nggak, itu bukan urusanmu. Aku telat karena aku pergi ke suatu tempat," sanggah Brighid berusaha mengelak sambil melayangkan pandang ke penjuru arah. Lebih tepatnya menghindar dari kedua bola mata tajam si Rheino Devgantara.
"Kemana? Harusnya kamu pamit dululah sama aku," protes Rheino terus saja mengintrogasi gadis yang berdiri di hadapannya. Brighid memutar bola matanya dengan teramat kesal. Gadis itu segera mengalihkan kantong bukunya ke belakang punggung.
"Hei, kakak Rheino yang baik, penting ya aku lapor sama kamu, aku pergi kemana, ada urusan apa, dengan siapa?! Lagian aku cuma telat pulang tiga puluh menit. Segitunya ya khawatir sama aku?" Bri mulai menunjukkan sisi tak ingin dikekangnya.
Rheino menghela napas, mencoba mengulur kesabarannya yang terkikis setiap waktu karena sifat kekanak-kanakkannya Bri. Setiap kali mereka bertengkar, Brighid selalu saja berkata seolah Rheino-lah yang bersalah padahal Rheino hanya butuh jawaban simpel dan bukan berbelit-belit kayak gini. Yah, namanya juga cewek.
"Brighid, aku cuma tanya dan kamu tinggal jawab doang. Bisa gak sih kamu gak memperlebar tema pembicaraan kita?" Rheino menjawab dengan nada sehalus mungkin meskipun di dalam dadanya, api berkobar cukup besar dan begitu membara.
Bri dan Rheino saling tatap cukup lama, mereka tengah berperang dari hati ke hati, mata ke mata. Akhirnya Brighid hanya bisa mendengkus kesal pertanda ia mulai lelah dengan segala keadaan.
"Aku dari toko buku. Puas?" dongkol Bri seraya memutar bola mata ke arah lain.
"Buku apa?" Rheino masih mencoba untuk ingin tahu, membuat Bri kembali tersulut.
"Penting ya pengin tahu buku apa? Bisa gak sih kamu gak cari masalah? Aku tahu ya ini rumah kamu tapi bisa gak kamu gak persulit aku dikit aja?" Bri kembali nyolot.
"Loh, kira-kira yang bikin emosi siapa nih? Aku cuma pengen tau loh kamu beli buku apa? Kamu keberatan? Kamu kan cuma tinggal jawab?!"
Lagi-lagi Brighid memilih diam, ia justru berpaling muka seakan mengabaikan Rheino yang terlalu kepo dengan buku yang ia beli. Pria itu mulai curiga dengan tangan Bri yang terus berada di belakang punggung seakan tengah menyembunyikan sesuatu.
"Ayo sini liat!" bujuk Rheino sembari mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar Brighid menyerah buku yang baru saja ia beli dari toko buku.
"Gak." Brighid menjawab dengan singkat.
"Ayo sini liat! Kasih nggak?" Rheino kembali meminta dengan tangan tersodor ke arah Brighid.
Brighid tak menjawab cukup lama, membuat Rheino nyaris hilang kesabaran. Pria jangkung dengan paras tampan itu segera maju mendekat, melongkok ke belakang punggung Brighid lalu merampas kantong buku yang dibawa oleh kekasihnya.
"Eh, jangan! Jangan liat! Kasih aku nggak?" pekik Brighid ketika dalam sekejap kantong buku itu berpindah tangan. Meskipun Bri berusaha untuk merampas kembali, tubuhnya yang rada pendek tetap saja tidak bisa menjangkau tinggi badan si jangkung, Rheino Devgantara.
"Kasih aku nggak? Rheino, jangan becanda ah?!" Brighid mulai merajuk sembari terus berusaha merampas kantong itu dari tangan Rheino.
Tak peduli, Rheino segera membelakangi Brighid dan membuka kantong buku tersebut. Di dalam kantong berwarna hitam itu ada empat buku bersampul pink, hijau, hitam, cokelat.
"Rheino, balikin gak?!" rajuk Bri mencoba merampas buku itu tapi lagi-lagi Rheino pintar sekali menghindar.
Rheino tak memperdulikan wajah Brighid yang mulai merah dan ingin menangis. Dua bola matanya melotot kaget ketika membaca setiap judul buku yang dibeli Bri baru saja dari toko.
"Cara Cepat Melupakan Mantan ..., Trik Agar Tidak Sakit Hati sama Mantan ..., Menggoda Pria Yang Lebih Baik ..., Balas Dendam Paling Jitu sama Mantan?" Rheino membacanya dengan mata nyaris keluar dan tak percaya.
Segera pria itu menghunjamkan manik matanya ke arah Bri penuh amarah. "Apa-apaan ini? Kamu ingin membuangku?"
"Apaan sih? Kembaliin bukunya," sanggah Bri seraya merampas buku itu dari tangan Rheino.
"Jadi kamu ingin nglupain aku? Kamu ingin balas dendam sama aku? Trus kamu pengen cari pacar yang lebih baik gitu?" cerca Rheino dengan wajah menyorot tajam.
Bri tak menjawab, ia justru sibuk memasukkan buku-buku itu kembali ke dalam kantong. Rheino makin naik pitam, ia kembali merampas buku itu dari tangan Brighid.
"Aku lagi ngomong!"
"Apaan sih Rhei? Aku mau beli buku apapun itu gak ada sangkut pautnya denganmu jadi ...."
"Buku ini aku sita! Kamu gak boleh baca." Rheino lalu berbalik badan meninggalkan Brighid yang terbengong tak mengerti.
"Apa? Hei, kembalikan bukuku!" teriak Bri kesal ketika pria itu melenggang pergi menuju ke kamarnya.
"Gak!" Rheino berteriak keras sebelum akhirnya ia lenyap dibalik pintu bersamaan dengan suara pintu yang dibanting.
"Liat aja, aku laporin kamu ke papa!" balas Bri tak kalah dalam berteriak.
"Bodo!"
****
Gara-gara buku itu suasana makan malam yang biasanya hangat kini menguarkan hawa dingin. Papa dan mama saling pandang ketika kedua anaknya saling diam dengan wajah cemberut. Sesekali perang sendok karena berebut lauk atau sayur terjadi di ruang makan.
"Bri ..., Rheino ..., ada apa? Apa kalian punya masalah?" tanya Om Herman pada kedua anaknya dengan tatapan tak mengerti. Sesekali pria itu melirik ke arah istrinya dengan tatapan penuh tanda tanya besar.
Seolah mendapat angin, Brighid melirik sejenak ke arah Rheino. Gadis itu berencana akan merengek dan mengadukan perbuatan kurang ajar Rheino pada papanya. Hemm, biar tau rasa dia!
"Pah, Rheino ambil buku baruku padahal aku baru aja beli dan belum sempet baca." Brighid memulai aksinya seraya memasang wajah memelas di depan papa barunya.
Rheino menoleh sejenak ke arah Brighid. Pria itu mengunyah nasinya sedikit lambat, tak menyangka jika ancaman pacar kecilnya benar-benar akan terjadi.
Tatapan Om Herman kini tertuju pada Rheino yang berusaha menyendok sayurnya dengan tenang.
"Rheino apa benar?" Om Herman bertanya pada putranya dengan nada mengintimidasi.
Tak ada jawaban dari bibir Rheino, pria itu justru dengan tenang menyendok kembali sayur bayam kesukaannya.
"Rheino ...."
"Pah, mana mungkin Kak Rheino mau ngaku. Dia udah ambil paksa tadi. Bri maunya buku itu balik malam ini juga," imbuh Brighid terus memojokkan Rheino.
"Rheino, kamu sama adikmu gak boleh gitu. Dia baru di sini, kamu harusnya ...,"
"Mas, jangan pojokin Rheino dulu dong. Kita harus tau alasan dia kenapa ambil bukunya Bri," sela Mama menengahi membuat Om Herman menganggukkan kepala lalu memandang ke arah Rheino.
Brighid sejenak melongo, ia tak menyangka jika mamanya kini justru berpihak pada Rheino. Beliau justru terang-terangan membela Rheino di depannya. Duh, sebenarnya anaknya Mama Lisha tuh siapa?!
"Rheino, kamu bisa gak kasih tau kami kenapa kamu lakukan hal itu sama Bri?" Suara Mama terdengar bak malaikat turun dari langit ke tujuh.
Rheino menatap Mama Lisha lalu menatap papanya sendiri. Tak lama kemudian, ia menatap Bri sekilas dan kembali melanjutkan menyendok nasi. "Buku yang ia beli mengandung pornografi jadi aku terpaksa menyitanya."
"A-apa?" Bri terperangah tatkala senjatanya justru menggigit jarinya sendiri. Ia menatap Rheino seakan tak percaya.
Kini tatapan kedua orangtuanya tertuju penuh ke arah Brighid. "Apa benar itu Bri?" tanya Mama dengan bola mata sudah melotot.
"Tidak Ma. Buku itu ...."
"Aku sudah pernah membaca buku itu, kebetulan temanku ada yang punya. Karena aku sayang dengan adikku Bri maka aku menyita buku itu dan berencana akan menahannya dari Bri." Rheino mengucapkan alasannya dengan lancar jaya.
Terkutuk kau, Rheino!
Mama Lisha bangkit dari duduknya, ia beranjak mendekat ke arah kursi Brighid lalu menjewer kuping putrinya. "Jadi gini kelakuanmu di belakang Mama?"
"Aduh ...,duh ..., Ma, sakiiittt ....," pekik Bri seraya memegangi tangan Mamanya yang terus menjewer kuping kirinya.
"Ayo ke kamar! Malam ini gak boleh lanjut makan malam sebelum kamu ngakuin kesalahan kamu," ujar Mama Lisha seraya menyeret kuping Bri menuju ke kamar.
"Sumpah Ma, aku gak beli buku kek gituan." Bri berteriak, mengikuti langkah mamanya menuju ke kamar dengan langkah serampangan.
"Sayang ..., Sayang ..., apa gak bisa bicara baik-baik? Sayang .... " Om Herman turut berdiri dan membuntuti istrinya menuju ke kamar Brighid. Wajahnya terlihat khawatir akan keadaan Bri yang mendapatkan hukuman dari mamanya.
Kini di ruang makan tinggallah Rheino seorang diri. Tatapan pria tampan itu mengikuti langkah papanya masuk ke dalam kamar Brighid. Sebenarnya ia iba namun mengingat kembali judul-judul buku itu ..., Rheino mendadak kembali kesal.
"Biarin, biar dia tau rasa!" desis Rheino lalu melanjutkan kembali acara makan malamnya dengan lahap.
************

Komentar Buku (140)

  • avatar
    Bang Engky

    ok...

    1d

      0
  • avatar
    DyaksaDana

    bagus kerenn aku sukaa bangettt

    18d

      0
  • avatar
    MalawanSalim

    nofel nya seru

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru