logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4. Pernikahan Itu Kini Terjadi

***
Setelah mendapat ijin dari Brighid, sudah dipastikan pernikahan itu berlangsung dengan bahagia. Kedua orangtua Bri dan juga Rheino tampak berbahagia dengan pernikahan yang mereka gelar.
Acara sakral tersebut berjalan dengan lancar, setelah melakukan ijab qabul, keduanya melanjutkan acara yakni resepsi dan menyalami para tamu.
Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja Bri berusaha untuk terlihat bahagia dan mendukung pernikahan mereka.
Pernikahan yang digelar di rumah Om Herman tersebut lumayan mendatangkan banyak tamu dan juga kerabat serta rekan kerja keduanya.
Dengan balutan kebaya warna hijau muda, Bri berusaha menyapa beberapa tamu dan juga teman-temannya yang turut hadir dalam pernikahan orangtua mereka.
"Bri, selamat ya. Akhirnya kau punya papa juga," ucap Ariel mendadak datang dan menyapa Bri yang terlihat menyendiri di salah satu meja tamu.
Bri menengadahkan kepala, ia melihat sosok menyebalkan itu dengan tatapan kesal. Walau demikian tidak mungkin baginya untuk menunjukkan kekesalannya di muka umum.
Ariel tersenyum, tangan kanannya terangkat dan tengah membawa minuman yang tersuguhkan di meja pesta.
"Apa maumu? Kalo kamu pengen buat perasaanku hancur, please deh jangan sekarang." Bri berkata kesal seraya bangkit dari posisi duduknya.
Ariel tersenyum miring, ia menatap Bri dengan tatapan santai. "Udah saatnya kamu pertimbangin perasaan aku ke kamu. Bri, Rheino itu sekarang bukan apa-apa kamu lagi. Dia bakal jadi saudara kamu, mana bisa kalian pacaran sebebas dulu."
"Cukup ya Riel, aku gak pengen berdebat sama kamu. Kalo kamu cuma pengen keributan please jangan sekarang." Bri lagi-lagi memperingatkan.
Gadis itu memutar bola matanya dengan kesal, ia lantas melenggang pergi hingga akhirnya pergelangan tangannya dicekal oleh Ariel.
"Aku gak mau maksa kamu tapi aku pengen sadarin kamu. Please, jangan siksa hatimu jauh lebih dalam."
"Tahu apa kamu soal Bri?!" sentak seseorang membuat Ariel dan Bri menoleh bersamaan ke arahnya.
Rheino datang dengan muka kesal, ia lantas melepas tangan Ariel yang menaut erat di pergelangan kekasihnya. Mereka bertatapan cukup lama dengan tatapan penuh permusuhan.
"Kau harus tahu, Bri selamanya gakkan cinta sama kamu." Rheino berkata dengan pelan, memancing emosi Ariel.
"Apa kamu bilang? Kamu yakin? Kalian ini sekarang saudara loh. Mana boleh saudara pacaran jadi sebaiknya mulai sekarang coba deh kamu restuin hubungan kami. Kasihan Bri, dia juga butuh orang buat lindungin dia."
"Asal kamu tahu ya, Bri masih milik aku jadi kamu jangan coba-coba deketin dia lagi. Awas kalo kamu gak dengerin peringatan aku," ancam Rheino setengah berbisik membuat wajah Ariel memerah marah.
Rheino memundurkan langkah, ia menoleh ke arah Bri lalu meraih tangannya dengan erat. "Ikut aku."
***
Rheino melangkah dengan cepat, ia menyeret tangan Bri tanpa berperasaan. Gadis itu nyaris saja terjatuh karena Rheino terus menyeretnya ke dalam rumah.
"Rheino, apaan sih? Bisa lepasin tanganku gak?" protes Bri kesal seraya mencoba melepaskan genggaman tangan Rheino yang menautnya dengan erat.
Rheino tak menjawab, pria itu terus menggelandang Bri menuju ke kamarnya. Ia kesal, tentu saja marah ketika tahu Bri berdekatan dengan Ariel.
Sesampainya di kamar, Rheino melepaskan genggaman tangannya di pergelangan Bri. Menutup pintu dan menguncinya, Rheino siap melampiaskan kemarahannya.
"Kamu tau nggak apa kesalahanmu kali ini?" tanya Rheino dengan alis bertaut, tak bisa menyembunyikan kecemburuan yang ia rasakan dalam hati.
"Apa? Aku gak punya salah sama sekali," tegas Bri sembari mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
Rheino makin kesal, ia lalu mendorong tubuh Brighid hingga gadis itu terjengkang ke arah ranjang milik Rheino. Tak banyak bicara, Rheino naik ke atas ranjang dan menguasai tubuh Brighid.
"A-apa yang kamu lakukan?" Brighid mendadak salah tingkah kendati hal seperti itu bukan pertama kalinya ia rasakan.
"Kamu cuma milik aku seorang. Tau nggak, kita baru seminggu putus tapi kamu malah berani ngundang Ariel ke sini. Kamu kira kamu bisa lakuin hal ini ke aku?" Rheino menatap Bri yang berada dibawah kungkungan tubuhnya.
"Siapa yang undang dia? Kamu salah kalo kamu nuduh aku seperti itu. Aku benci sama dia tapi kenapa bisa kamu malah ngomong kek gitu sama aku?" kesal Brighid tak mau kalah.
Gadis itu lantas mendorong tubuh Rheino, berusaha bebas dari kungkungan tubuh kekar di atasnya. Namun dengan sigap, Rheino lantas mencekal tangannya, membuat keduanya saling pandang dengan tatapan penuh amarah.
"Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu? Kamu gak percaya sama aku? Kalo gak percaya ya udah, kamu gak punya alasan buat nahan aku di sini lama-lama." Bri mengungkapkan kemarahannya.
Rheino tak menjawab, ia bahkan tak membiarkan gadis itu pergi dari kamarnya. Dengan tatapan bola matanya yang penuh rasa cemburu, Rheino lantas mendekap tubuh Bri dan mencium tengkuknya.
"Rheino, please! Jangan sekarang!" peringat Bri seraya mendorong tubuh Rheino agar mengurungkan niatnya untuk berbuat lebih intim.
"Rheino ..., Bri .... " Suara Om Herman terdengar memanggil dari luar membuat keduanya lantas buru-buru bangun dari rebahan mereka.
Wajah keduanya memerah ketika ketukan pintu terdengar di pintu kamar Rheino. Dengan wajah kesal bercampur malu, Rheino membuka pintu kamar. "Pah, ada apa?"
Om Herman dan mama Bri terlihat heran ketika tahu Bri ada di dalam kamar Rheino. "Loh, ngapain kalian di sini?"
"Mah, kakiku tadi terkilir karena gak biasa pakai high-heel jadi aku minta Rheino buat bawa aku ke kamarnya sebentar." Bri beranjak bangun dari sisi ranjang, menjelaskan alasan yang tentu saja ia reka agar kedua orangtuanya tak menaruh banyak curiga.
"Benarkah? Sekarang bagaimana dengan kakimu?" tanya mama khawatir seraya mendekat dan mencoba memeriksa kaki Brighid.
"Udah gak papa kok Ma, tadi udah diobati sama Rheino. Sekarang udah mendingan," jawab Bri tak membiarkan mamanya memeriksa pergelangan kakinya.
"Om ..., eh, Pah, aku bisa istirahat di salah satu kamar di sini nggak? Aku lelah," lanjut Bri berusaha mengalihkan pembicaraan membuat kedua orangtuanya saling pandang.
"Ada kok, kamu istirahat aja di kamar sebelah. Oh ya Rheino tadi ada temen kamu yang nyariin kamu," ucap Om Herman sembari menatap putra semata wayangnya yang sedari tadi hanya diam membisu.
"Baik Pa, aku keluar temuin mereka dulu." Rheino lalu bergegas pergi dari kamar, meninggalkan semuanya dengan perasaan tak menentu.
"Bri, kamu istirahat dulu aja ya. Biar kakimu sembuh dulu baru bisa salamin para tamu," ucap Om Herman lalu tersenyum manis seraya meraih tangan ibunda Bri.
"Iya Pa. Makasih."
Kedua orangtuanya saling pandang dan melempar senyum, mereka lalu keluar dari kamar Rheino dan melanjutkan resepsi mereka yang masih meriah dan banyak tamu.
Brighid menghela napas, ia kembali terduduk di sisi ranjang dengan jantung berdebar. Untung saja ia segera mencari alasan kalo tidak maka kedua orangtuanya pasti shock berat. Bagaimanapun hubungannya dengan Rheino sudah kelewatan, ia mendadak takut kalo-kalo ketahuan. Jadi, langkah apa selanjutnya yang harus ia lakukan?
****
Separah apa sih hubungan Rheino sama Bri? Ada yang penasaran?

Komentar Buku (140)

  • avatar
    Bang Engky

    ok...

    1d

      0
  • avatar
    DyaksaDana

    bagus kerenn aku sukaa bangettt

    18d

      0
  • avatar
    MalawanSalim

    nofel nya seru

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru