logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3. Ijin Untuk Mama

***
Pernikahan mama sudah semakin dekat, membuat pikiran dan batin Brighid semakin tertekan. Meskipun Bri hanya diam tapi sepertinya mama sama sekali tidak memikirkan perasaannya terlebih beliau justru sibuk dengan segala urusan yang menyangkut pernikahannya.
Melirik sekilas pada jendela kamar, Bri tahu bahwa senja sebentar lagi menjelang. Menghela napas, gadis berparas ayu itu masih setia duduk di meja belajarnya. Menunduk sejenak, Bri membuka laci mejanya dengan perasaan tak menentu.
Sepasang biji matanya kini tertegun menatap setumpuk barang yang tentu saja begitu berharga di hidupnya. Sebuah jam tangan keren edisi terbaru, kaos couple yang sama sekali belum ia pakai, dompet keluaran Louis Vuilton yang tentunya ia beli dengan uang tabungan, dan semua itu, semua itu ia beli berpasangan dengan Rheino.
Mata Bri menggelap, air mata menggenang begitu saja tatkala melihat barang-barang tersebut. Rasa sesak yang entah datang darimana tiba-tiba memenuhi rongga paru-parunya, ia sakit, ia merasa sedih.
Dengan sedikit membanting laci meja, Bri segera menutup kembali lacinya. Kepalanya berdenyut ketika air mata lolos dari pelupuk matanya. Tak terkira, ia bahkan tidak pernah memprediksi jika Rheino dalam hitungan hari akan menjadi kakak tirinya.
Dering ponsel yang berbunyi sedikit nyaring mengalihkan perhatian Bri. Menoleh, ada rasa enggan yang menyelimuti hati Brighid. Ia tidak ingin menjawab panggilan dari siapapun.
Dering kedua memaksa gadis itu untuk meraih ponselnya. Suara yang berisik semakin membuat hati Bri tak keruan. Menggeser tombol hijau di layar ponsel, Bri mengangkat panggilan dari teman sekelasnya.
"Bri, apa kabar?" Terdengar suara pria dengan begitu lembut. Perut Bri mendadak mual mendengarnya.
"Ada apa Riel?" tanya Bri sembari menghapus jejak air mata di pipinya yang lembut.
"Jalan yuk," ajaknya dengan nada enteng. Bri terdiam, ia kembali mengalihkan tatap keluar jendela. Senja kali ini benar-benar tiba.
"Nggak, aku lagi sibuk." Bri menjawab ketus.
"Sibuk? Sibuk apa? Oh, aku tahu, kamu sibuk urusin acara pernikahan mama kamu 'kan? Eh, aku denger katanya calon papa kamu, papanya Rheino ya? Wah, selamat ya. Ehm, sepertinya aku udah gak ada saingan lagi nih." Ariel di sana terkekeh tanpa rasa berdosa, membuat darah tinggi Brighid naik ke pucuk kepala.
"Hei, Ariel, bukan urusanmu ya mamaku mau nikah sama siapa. Kamu juga gak perlu singgung-singgung soal siapa calon papa aku nanti. Urusin tuh ulangan kamu yang jeblok, gak remidi untung kamu!" Bri menyalak dengan galak. Gadis itu buru-buru menekan tombol merah lalu membanting ponselnya ke meja, menimbulkan suara gaduh sampai ke luar kamar.
Lisha Andini yang kebetulan baru saja selesai membuat roti croissant kesukaan Bri menoleh ke arah kamar anak gadisnya. Ia terheran mendengar suara gaduh tersebut, tak biasanya anak gadisnya membuat suara berisik di kamar.
Sembari membawa beberapa potong roti croissant, Lisha bergegas menghampiri kamar putrinya yang bernuansa warna ungu.
"Bri Sayang, ada apa Nak? Boleh Mama masuk?" tanya Lisha seraya mengetuk pintu kamar anaknya.
Tak ada jawaban dari dalam membuat Lisha terpaksa memutar daun pintu. Wanita itu tertegun ketika mendapati putrinya tengah membaca buku. Tentu saja itu adalah kepura-puraan yang Bri lakukan untuk mengelabuhi mamanya.
"Bri, apa Mama mengganggu?" tanya Lisha dengan suara bernada pelan sembari berjalan menuju ke samping meja belajar Brighid.
Gadis itu menoleh ke arah mamanya lalu menggeleng lemah. Tak ingin ketahuan, Bri kembali menekuni bukunya yang tentu saja malas untuk ia baca akhir-akhir ini.
"Bri, lihat! Mama buat roti kesukaan kamu. Mau coba?" goda Lisha sambil menyodorkan roti di atas meja belajar Bri.
Gadis itu menutup buku, ia berpura-pura meraih roti dan memakannya. Sungguh, roti yang ia makan serasa menolak untuk masuk ke dalam perut ketika hatinya bergejolak dan pikirannya entah pergi kemana.
"Bri, Mama ingin tanya sama kamu. Kamu jawab yang jujur ya," ucap Lisha pelan seraya duduk di sisi ranjang milik putrinya.
"Tanya apa Ma?" Bri balik bertanya seraya berjuang untuk menjejalkan roti nikmat itu ke dalam mulutnya.
"Sejak pertemuan dengan Om Herman waktu itu, kau kelihatan berubah. Bri, katakan sama Mama kalo misal kamu gak setuju Mama sama Om Herman. Mama gak maksa kamu buat nerima beliau sebagai papamu. Mama sadar kalo Mama seharusnya—"
"Apakah Mama merasa bahagia bila bersama Om Herman?" Bri kembali bertanya, ia tertunduk menatap roti yang sebagian sudah masuk ke dalam perutnya.
"Apa maksudmu, Nak?"
"Jika Mama bahagia maka aku juga akan bahagia." Sungguh Bri bahkan tidak yakin dengan apa yang ia katakan. Entah, apakah ia sedang tolol atau sedang terkena mabuk darat, yang jelas ia merasa semakin tertekan ketika bibir laknatnya itu justru berkata bak malaikat.
"Tapi sepertinya kau tidak menyukai Om Herman, Mama tidak yakin apakah kau bahagia atau tidak. Meskipun kami sibuk merencanakan hari bahagia itu, tanpa ijin dari putri kecil Mama, mana mungkin Mama bisa menjalaninya dengan bahagia." Lisha tertunduk, wanita paruh baya itu meremas lututnya dengan cemas.
Bri terdiam, mendadak ada rasa menyesal yang menyeruak dalam dadanya. Bagus sekali, kali ini perasaannya semakin mirip dengan kapal pecah. Melirik sekilas ke arah mamanya yang tertunduk sedih, Bri mencoba menengahi perasaannya.
Mengingat kembali bagaimana jawaban Rheino atas pertanyaan itu, Bri merasa semakin tak percaya diri. Sebagai anak, ia bahkan merasa sangat egois jika ia tidak membiarkan wanita paruh baya yang sudah mati-matian berjuang menghidupinya seorang diri. Intinya, biarkan dewi kehidupannya itu bahagia di sisa umurnya bersama sang pria idaman.
"Bri, kau tak menyukai Om Herman kan? Sudah bicara saja sama Mama. Lagipula Mama tidak akan keberatan jika akhirnya Mama harus berpisah dengannya," desah Lisha dengan nada pasrah.
"Menikahlah Ma, jika Mama merasa bahagia maka Mama pantas untuk mendapatkannya. Jangan hiraukan aku, aku memang butuh penyesuaian tapi tidak berarti aku tidak menerima Om Herman. Ma, sungguh aku ikhlas jika Mama menikah lagi," ucap Bri berkata pelan, berusaha menatap Mamanya dan menyakinkannya.
Lisha menatap Bri tak percaya tapi anak gadis itu menganggukkan kepala, mendorong dan memberi keyakinan padanya untuk mengambil keputusan penting.
Lisha akhirnya tersenyum bahagia, ia beranjak bangun dari sisi ranjang lalu berjalan ke arah Bri dan memeluknya dari belakang dengan penuh kasih sayang.
"Makasih Sayang, Mama mencintaimu." Lisha berbisik pelan seraya meraih kepala Bri dan mencium pucuknya.
Bri tak menjawab, hanya berusaha melempar senyum seikhlasnya. Benar apa kata Rheino, mungkin kebahagiaan orangtua terletak pada akhir usia dimana mereka akan menghabiskan sisa umurnya. Rasa bahagia dalam hati menambah umur yang panjang. Semoga dengan pernikahan ini, mamanya bisa terus bahagia dan panjang umur selalu.
****

Komentar Buku (140)

  • avatar
    Bang Engky

    ok...

    1d

      0
  • avatar
    DyaksaDana

    bagus kerenn aku sukaa bangettt

    18d

      0
  • avatar
    MalawanSalim

    nofel nya seru

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru