logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2. Didera Rasa Galau

****
"Bri, kenalin ini Om Herman, calon suami Mama."
Kata-kata yang terlontar dari mamanya masih terngiang di pikiran Bri. Pantas saja, kemarin sore wajah sang ibu ceria sekali. Bri pun makin terheran-heran, selama ibunya hidup sendiri belum pernah dia melihat wanita berparas ayu berdandan bahkan memakai pakaian rapi seperti itu.
Pertemuan yang tak terduga sudah menjawab rasa penasarannya. Mama Bri ingin menikah dengan ayah pacarnya sendiri, Rheino. Bri mengusap air matanya yang jatuh berderai di pipi, bagaimana bisa? Bri sangat mencintai Rheino, tapi kemarin Rheino meminta maaf seolah-olah hubungan mereka sudah berakhir.
Bri sangat menyayangi mama. Wanita itu sudah lama hidup menjanda dan terus membuat kue agar anaknya bisa sekolah ke luar negeri suatu saat nanti. Bri memukul bantal yang tidak bersalah. Kenapa harus mama? Kenapa? Tidak adakah wanita lain selain mamanya?
Bri menghapus air mata, menopangkan dagu dengan kedua tangannya. Dengan malas dia menatap dua buah pesan di layar ponsel yang kini teronggok di hadapannya. Yang pertama pesan dari mama yang mengatakan bahwa jam tujuh malam nanti ada acara dinner dengan teman-temannya. Mama meminta  Bri untuk hadir dalam acara dinner tersebut. Bri menghela napas, dia paling malas menghadiri acara yang penuh haha hihi terlebih saat ini perasaannya tengah amburadul.
Pesan yang kedua, dari Rheino. Mata indah gadis itu membulat, dengan cepat dia menggeser layar dan membaca pesan singkat dari Rheino. Ada harapan yang timbul dari hati Bri, mungkinkah pria itu akan meminta maaf atas apa yang sudah ia lakukan tadi malam?!
(Rheino Devgantara)
‘kenapa ga' balas Whatsapp aku?'
Bri mendengkus, ia lalu mengetik balasannya.
'Males.'
Bri memainkan ponselnya menatap layar dimana Rheino tengah mengetik pesan untuknya.
Rheino mengetik ....
'Kamu marah?'
Bri membalas lagi,
'Ga.'
Rheino mengetik ...
'Kalo gitu napa ga bales?'
Sekarang Bri kesal. Ih itu cowok kok enggak peka ya. Bri menggigit sarung bantal pink kesayangannya.
Bri mengetik....
'Terserah.'
Rheino mengetik ....
'Lho, kok jawabnya gitu sih?'
Bri mengggaruk kepalanya yang gatal, kemarin sore dia belum keramas. Untung rambutnya enggak bau. Suka-suka aku dong mau bales atau enggak, gerutu Bri dalam hati. Bodo amat.
Jarum panjang jam dinding sudah diangka dua belas malam. Kantuk mulai mendera Bri dan ia pun tidur dalam posisi tengkurap.
****
Minggu yang cerah, Bri berjalan malas-malasan menuju dapur. Teriakan sang mama sudah mengalahkan jam wekernya. Diliriknya jam dinding ruang tengah, pukul delapan pagi. Bri memijat keningnya.
"Kamu kenapa, Bri? tanya mama menghampiri anak semata wayangnya. Wajah wanita ayu itu tampak khawatir. "Kamu sakit? Selesai sarapan, ayo ke rumah sakit."
Dikit-dikit ke dokter, dikit-dikit ke UGD. Itulah mamanya. Bri memaklumi itu, wanita berstatus ganda, istri sekaligus suami. Kadang galak, kadang pula lembut. Bri tersenyum, "Enggak, Ma. Bri enggak sakit, kok."
Alis wanita cantik itu berkerut. "Jangan bohong sama mama, Bri."
Bri langsung menghindar dari tatapan mama dan menuju meja makan. "Ayo, makan. Bri lapar nih."
Mata Bri berbinar. Oatmeal choco chips kesukaannya menggugah selera. Secangkir teh tanpa gula sudah tersedia di samping piringnya. Susu plain dan sereal adalah sarapan kesukaan Bri. Tentu saja mama sudah hapal.
"Ma, ini oatmeal enak banget."
Mama tersenyum senang. "Iya dong. Kan mama buat nya subuh. Karena nanti malam mau ada acara makan malam. Ya, sekalian aja anter pesenan."
Mama melirik Bri. "Kamu enggak ada tugas sekolah, Nak?"
"Ada sih, ntar Bri kerjakan."
"Kalau begitu jangan ditunda, langsung kerjakan," titah mama.
Bri mengangguk menurut. "Ya, Ma."
Ting tong
"Siapa sih yang dateng? Ganggu sarapan aja," gumam Bri. Gadis bertubuh langsing itu memandang mamanya berjalan menuju ruang tamu. Dia terus mengunyah oatmeal choco chips kesukaannya. Ini oatmeal ketiga yang ia makan.
"Eh? Ada Nak Rheino."
Bri tersedak oatmeal. Cepat-cepat dia menyeruput tehnya. Apa? Rheino? Ngapain sih dia ke sini?
"Ayo masuk," ajak mama ramah mempersilakan Rheino masuk.
Rheino menggangguk sopan. "Terima kasih, Tante Lisha."
"Bri, ada Rheino. Kebetulan kami sedang sarapan. Kamu sudah makan?" tanya mama pada Rheino.
Bri menatap tidak senang. Ngapain dia ke sini?
Kini Rheino ada di hadapan Bri. Duduk berhadap-hadapan. Rheino tersenyum kalem, "Hai."
Bri mematung. Senyum yang bikin dia suka. Dulu. Sekarang enggak lagi. Sejak mamanya hendak bertunangan dengan ayahnya Rheino, Bri jadi benci. Benci banget sama cowok ini.
"Nak Rheino, ayo sarapan. Jangan malu-malu. Temani Bri, ya."
Rheino pemuda yang tahu sopan santun menganggukkan kepalanya. "Ya, tante." Rheino teringat sesuatu. Dia menyodorkan sebuah kantong kertas. "Oh ya, ini dari papa untuk Tante."
Bri melirik mamanya membuka bungkusan dengan mata berbinar. Mama keliatan bahagia sekali. Lagi-lagi kenapa harus papanya Rheino, sih? Tanpa sadar Bri berdecih sebal.
Rheino melirik Bri. Tatapannya tajam setajam silet. Bri membuang muka. Hari ini dia sebal sama Rheino. Titik.
"Wah, makasih banget loh, Nak Rheino." Sebuah outer berwarna pink keabuan. Cantik sekali. "Gimana, Bri? Cantik kan?"
"Iya, cantik banget warnanya. Cocok ama Mama." Bri mencoba tersenyum walau itu agak dipaksakan.
"Nanti malam mama mau pake outer ini ah. Kalian berdua lanjutkan saja sarapannya ya."
Bri menatap punggung sang mama masuk ke dalam kamar. Sekarang Bri melirik sinis Rheino sedang makan sereal jagung. Bri beranjak dari kursi namun tangannya di tahan oleh Rheino.
"Duduk. Aku ingin bicara denganmu."
Bri cemberut. "Mau ngomong apa?"
"Kamu masih marah sama aku? Gara-gara kemarin?" tanya Rheino pelan agar suaranya tidak terdengar sama tante Lisha.
Kedua tangan Bri bersidekap. Dalam hatinya berkata, aku kan masih sayang ama kamu, Rhei. Gimana ih, ga peka amat.
"Bri, terpaksa aku melakukan ini. Aku sayang ama papa. Please, ngerti dong," pinta Rheino mengusap punggung tangan Bri.
"Aku belum bilang putus, Rhei. Kamu tahu kan, aku sayang banget ama kamu. Kumohon …."
Rheino melepas tangan Bri. "Maaf, Bri. Kita akan jadi kakak adik. Enggak lebih dari itu," tolak Rheino menggeser kursinya dan pergi begitu saja dari hadapan Bri.
Mata hitam Bri menatap kepergian Rheino. Dia tidak mengantar ke depan pintu rumah. Masih termenung di meja makan. Bri mengelap ingusnya dengan tissue. Matanya sudah berair. Baiklah kalau maumu begitu. Awas saja, aku enggak mau bertegur sapa lagi denganmu. Begitulah tekad Bri. Dia dilanda amarah. Entah bagaimana nasib Rheino senin besok.
***
Jangan lupa kasih bintang yang banyak ya. Makasih.

Komentar Buku (140)

  • avatar
    Bang Engky

    ok...

    1d

      0
  • avatar
    DyaksaDana

    bagus kerenn aku sukaa bangettt

    19d

      0
  • avatar
    MalawanSalim

    nofel nya seru

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru