logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Stepbrother I Need You

Stepbrother I Need You

Dacytta-Peach


Bab 1. Bertemu Calon Papa

Prolog
***
"Bri, kenalin ini Om Herman, calon suami Mama." Wanita paruh baya dengan dandanan natural itu tersenyum pada Brighid. Ada wajah bahagia yang terlukis di wajah Mama, siapapun pasti tahu jika hari ini adalah hari spesial untuk Mama.
Brighid terdiam, wajahnya terpaku dan terlihat begitu shock. Om Herman tersenyum padanya namun gadis berambut panjang itu tak menanggapinya dengan hangat. Rasanya gimana gitu nggak sih kalo seusianya memiliki papa baru?!
"Hello, Brighid cantik, Mamamu sudah banyak cerita soal kamu ke Om. Saya harap Bri juga bisa terima Om apa adanya, ya." Om Herman bertutur dengan lembut, sesekali pria berparas lumayan tampan itu menatap ke arah mama dengan tatapan penuh kasih.
Bri masih terdiam, ia benar-benar terguncang. Bukan karena apa melainkan pemuda di samping pria itulah alasan dari keterkejutannya yang sangat dalam. Ya, bagaimana ia tidak terguncang jika pria di hadapannya ini adalah papa dari pacarnya sendiri?!
"Oh ya, kenalkan juga ini putra kesayangan Om," lanjut Om Herman seraya menoleh ke arah pria muda berparas tak kalah tampan di sampingnya. "Ini Rheino Devgantara. Sepertinya usia kalian sebaya, ya." Om Herman tergelak tertawa, tak menyadari sorot wajah canggung diantara Bri dan juga Rheino.
"Mas, lebih tuaan Rheino setahun jadi Bri bisa panggil Rheino kakak," ralat mama tak mau ketinggalan. Keduanya lalu kembali tertawa, tak sadar jika apa yang mereka lakukan menimbulkan luka paling perih dalam hidup keduanya.
"Oh ya, tentu saja. Sedari kecil Rheino selalu pengen punya adek perempuan." Om Herman menimpali, tak kedua orangtua itu kembali berlanjut. Kelakaran yang membuat Brighid ataupun Rheino mati kutu dibuatnya.
Melihat papa mama mereka yang begitu berbahagia, sepasang kekasih itu sama sekali tak berdaya, terpuruk oleh luka yang menganga dan tak tahu apakah bisa sembuh atau justru semakin parah.
"Bri, Rheino, kami minta ijin sama kalian. Kami ingin menikah dan merajut kehidupan kembali. Seperti yang kalian tahu, selama ini kami selalu sendiri. Kami lelah. Maka dari itu, apakah kalian berkenan jika kami menikah dan menjalani hidup yang baru bersama-sama?"
***
***
Toko kue milik keluarga Brighid tutup lebih awal hari ini. Bukan karena tanpa alasan tapi wanita paruh baya bernama Lisha Andini itu akan melakukan pertemuan penting dengan Herman Santoso.
Siapa Herman Santoso?
Pria mapan pemilik Santoso Mart itu adalah calon suaminya. Sebagai seorang janda beranak satu, Lisha punya kewajiban memperkenalkam calon suami serta calon papa untuk anaknya, Brighid Natanaella.
Wanita paruh baya berambut sebahu itu tersenyum bahagia ketika mematut dirinya di kaca cermin. Sudah lama ia hidup sendiri, sudah barang tentu ia sangat berbahagia ketika Herman Santoso melamarnya minggu lalu dan berencana akan menikahinya dalam waktu dekat.
"Ma, kau terlihat begitu cantik hari ini. Ada apakah?" tanya Bri di ambang pintu, melongok mamanya yang masih mematut diri dengan gaun merah yang ia tempelkan ke tubuh.
Lisha Andini mengembangkan senyum, ia menoleh pada putrinya penuh bahagia. "Bri, coba sini Sayang, Mama pengen kamu kasih ulasan soal gaun ini."
Bri tersenyum lalu masuk ke dalam kamar mamanya. Sedikit menghempaskan diri di ranjang, Bri melihat mamanya terlihat begitu bahagia dengan gaun yang ia pegang. Gadis yang masih duduk di kelas tiga SMA itu baru saja pulang dari sekolah ketika mamanya sibuk mempersiapkan gaun istimewa.
"Bagaimana dengan gaun merah ini, Bri?" Mama meminta pertimbangan seraya menunjukkan gaun merah sepanjang bawah lutut dengan lengan pendek. Aksesoris payet yang berwarna-warni menambah kesan indah pada gaun tersebut.
Bri tersenyum, cukup terpukau dengan keindahan gaun yang ditunjukkan oleh sang mama. "Bagus Ma, gaunnya lebih sopan daripada gaun yang berwarna putih itu."
"Bagus ya? Baiklah, Mama akan pakai yang ini saja." Lisha Andini tersenyum puas lalu melepas hanger yang masih melekat di gaun tersebut.
"Mama mau pergi kemana?" tanya Bri penasaran sembari terus mengamati mamanya yang sibuk dengan gaun-gaun koleksinya.
"Bri, hari ini siap-siap ya. Mama pengen bawa kamu ke acara makan malam di Alexandra Resto. Mama pengen kenalin seseorang sama kamu," jawab Mama seraya menatap putrinya lalu tersenyum. Aura cerah dari wajah mama menandakan bahwa hati mama tengah bersemangat dan bahagia hari itu.
"Seseorang? Siapa?" Bri masih bertanya, dahinya berkerut tak mengerti. "Mungkinkah orang spesial?"
"Tentu saja. Udah, kamu buruan mandi trus dandan yang cantik ya. Mama sibuk nih," ucap Lisha Andini tanpa menoleh ke arah Brighid. Mama lalu merapikan beberapa gaun yang tak jadi ia pakai dan meletakkannya di dalam lemari pakaian.
"Baik Ma." Bri beranjak bangun dari ranjang lalu berjalan keluar dari kamar mamanya. Terus berpikir tentang seseorang yang istimewa, Bri melakukan instruksi mamanya untuk membersihkan diri dan memakai pakaian bagus untuk acara makan malam nanti.
***
Suasana Alexandra Resto terlihat begitu ramai. Beberapa pengunjung makan beberapa hidangan yang mereka pesan. Beberapa yang lainnya tengah asyik menyaksikan opera musik yang disajikan khusus pada setiap akhir pekan di restoran tersebut.
"Mam, apa ini tidak terlalu mewah? Kita tahu 'kan Alexandra Resto adalah restoran terkenal mewah kedua di kota ini," ucap Bri seraya mengecek daftar menu yang tersuguh di meja mereka. Ia sempat menggeleng saat melihat daftar harga makanan yang begitu melangit.
Lisha tersenyum manis, ia meraih tangan Bri lalu menggenggamnya. "Kebahagiaan itu mahal harganya bahkan tidak bisa ditandingi dengan banyaknya uang. Gak papa ini rejeki tempat ini karena Mama memang memilih tempat ini untuk acara pertemuan."
Bri tak berkomentar, ia menutup kembali daftar menu dan kembali setia menunggu orang spesial seperti yang mamanya bilang. Opera yang bagus sedikit mengalihkan kebosanan Bri malam itu karena menunggu seseorang sedikit lama.
Setelah hampir lima belas menit berlalu, senyum Lisha mengembang. Ia melambaikan tangan pada pria yang berjalan mendekati mereka dari kejauhan. Bola mata Bri memutar, ia membelalakkan mata ketika tahu siapa sosok tersebut. Bukan karena sosok spesial yang mama katakan tapi lebih ke sosok pemuda yang ada di belakang pria tersebut. Rheino Devgantara, bukankah dia kekasihnya? Ada apa ia kemari? Jangan-jangan-
Jantung Bri bergetar begitupun dengan Rheino. Wajah keduanya mendadak pucat ketika mereka bertemu pandang di satu meja yang sama.
Senyum Lisha bertemu dengan senyum pria tersebut, mereka terlihat begitu akrab dan bahagia. Membuat Bri dan juga Rheino tak habis pikir bagaimana bisa papa dan mamanya kenal satu sama lain.
"Sudah lama, Dek?" tanyanya dengan lembut pada Lisha Andini. Wanita paruh baya itu menggeleng cepat dan menebar senyum. Wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya, menyambut pria yang tak lain adalah papa dari Rheino Devgantara.
"Belum Mas," jawabnya dengan nada sabar. Dengan lembut Lisha Andini mempersilakan pria bersama putranya itu untuk duduk di kursi yang sudah disediakan.
Belum puas dengan hati yang bertanya-tanya, Bri dan Rheino kembali dikejutkan dengan pernyataan mereka yang sungguh bombastis.
"Bri, kenalin ini Om Herman, calon suami Mama." Wanita paruh baya dengan dandanan natural itu tersenyum pada Brighid.
Brighid terdiam, wajahnya terpaku dan terlihat begitu shock. Om Herman tersenyum padanya namun gadis berambut panjang itu tak menanggapinya dengan hangat.
"Hello, Brighid cantik, Mamamu sudah banyak cerita soal kamu ke Om. Aku harap Bri juga bisa terima Om apa adanya." Om Herman bertutur dengan lembut, sesekali pria berparas lumayan tampan itu menatap ke arah mama dengan tatapan penuh kasih.
Bri masih terdiam, ia benar-benar terguncang. Bagaimana ia tidak terguncang jika pria di hadapannya ini adalah papa dari pacarnya sendiri?!
"Oh ya, kenalkan juga ini putra kesayangan Om," lanjut Om Herman seraya menoleh ke arah pria muda berparas tak kalah tampan di sampingnya. "Ini Rheino Devgantara. Sepertinya usia kalian sebaya, ya." Om Herman tergelak tertawa, tak menyadari sorot wajah canggung diantara Bri dan juga Rheino.
"Mas, lebih tuaan Rheino setahun jadi Bri bisa panggil Rheino kakak," ralat mama tak mau ketinggalan.
"Oh ya, tentu saja. Sedari kecil Rheino selalu pengen punya adek perempuan." Akhirnya mereka kembali tertawa, menyisakan rasa aneh dalam diri Bri maupun Rheino.
Melihat kedua orangtua mereka yang begitu berbahagia, sepasang kekasih itu sama sekali tak berdaya.
"Bri, Rheino, kami minta ijin sama kalian. Kami ingin menikah dan merajut kehidupan kembali. Seperti yang kalian tahu, selama ini kami selalu sendiri. Kami lelah. Maka dari itu, apakah kalian berkenan jika kami menikah dan menjalani hidup yang baru bersama-sama?"
Wajah mereka menatap putra-putrinya penuh harap. Sebagai orangtua, mereka berharap jika anak-anak mereka bisa memberi ijin agar mereka bisa melangkah ke jenjang selanjutnya yakni pernikahan.
Tak ada suara dari Bri, jujur saja ia keberatan. Namun suara Rheino benar-benar menambah shock hati Bri malam itu, seperti sengatan listrik Bri merasa apa yang dilalukan Rheino memang keterlaluan.
"Apakah kalian sudah merasa cocok? Apakah kalian sudah pikirkan hal ini masak-masak?" tanya Rheino dengan suara datar, membuat wajah Bri tercengang luar biasa. Ia menatap Rheino dengan tatapan tak habis pikir, jangan sampai Rheino berkata ya atau -jangan-jangan kekasihnya ini akan merestui mereka? Oh, No.
Herman dan Lisha saling pandang lalu menatap Rheino dengan serius. "Tentu saja kamu sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Pernikahan bukanlah hal untuk main-main. Semua ini bukan hanya menyangkut tentang kami tapi juga menyangkut tentang kalian."
Rheino terdiam sesaat, ia tertunduk dan tangannya meremas kuat. "Baiklah jika itu mau kalian. Aku turut mendukung keputusan kalian."
"Ehm, maaf, aku mau ke toilet sebentar." Bri menyela, ia beranjak bangun lalu secepat kilat melenggang pergi meninggalkan bangku meja makan mereka.
"Bri ...," panggil Lisha pada putrinya dengan mimik khawatir. Wanita itu mampu menangkap wajah tidak berkenan yang terlihat di wajah Brighid.
"Mas, aku takut Bri nggak merestui kita," desah Lisha dengan wajah resah. Herman merangkul wanita itu dan menepuk bahunya guna menenangkan.
"Biarkan saya yang bicara dengannya, Tante," sahut Rheino lalu beranjak bangun dari kursi yang ia duduki. Rheino berniat untuk menyusul Brighid ke toilet yang berada di samping resto.
"Rheino, tolong bantu kami ya." Lisha menatap Rheino penuh harap. Pria muda itu mengangguk lalu pergi menyusul kemana Bri pergi.
***
"Tunggu! Aku tahu kamu cuma menghindar Bri," ucap Rheino di belakang Bri. Gadis itu menghentikan langkah, ia belum juga berbalik hingga akhirnya Rheino menarik tangan Bri dan menyeret gadis itu untuk menepi ke taman resto yang terletak di sebelah toilet restoran.
Bri tak menjawab, ia tertunduk di hadapan Rheino. Bibirnya bergetar, ia tak sanggup mengatakan apa yang sedang bergejolak dalam hatinya sekarang.
"Papa aku butuh seseorang dan mama kamu juga sama. Mereka bertemu dan itu adalah bagian dari takdir mereka jadi ...,"
"Tapi kenapa harus mamaku? Kenapa harus juga papamu?" tukas Bri pelan. Gadis itu akhirnya hanya bisa menangis sambil tertunduk menatap rerumputan taman yang indah.
Rheino tak sanggup menjawab, ia menarik tubuh Bri dan menyadarkan kepalanya di dadanya yang bidang. Pria itu mengelus rambut Bri dengan pelan. "Saat ini kebahagiaan mereka lebih penting dari segalanya. Papaku sangat mencintai mamamu, begitupun sebaliknya. Kita tidak bisa egois karena kita tidak mau dianggap durhaka. Kita tidak tahu berapa panjang umur mereka maka biarkan mereka bahagia sekali lagi. Bri, sebagai seorang anak kita harus mengerti. Kita sudah sama-sama dewasa, aku harap Bri juga bisa lebih bijak menyikapi hal ini."
"Lalu, bagaimana dengan kita? Hubungan kita yang-" Bri tak sanggup melanjutkan ucapannya ketika terlintas di benaknya betapa liarnya hubungan mereka saat ini. Ya hubungan kekasih yang melebihi suami istri.
Rheino menghela napas, ia terdiam cukup lama. "Aku tidak ingin menghindar dengan apa yang sudah aku lakukan tapi ..., mereka jauh lebih berharga dari apapun. Maafkan aku Bri, maaf."
"Jadi, kita akan putus setelah ini?" Bri menuntut, menegakkan kepala dan menyorot mata Rheino seolah meminta kepastian. Apa yang sudah mereka jalani sekarang tentu saja akan menjadi beban dimasa depan. Tak ada jawaban dari bibir Rheino membuat Bri semakin frustrasi. "Sialan kamu, Rheino! Sialan!"
*****

Komentar Buku (140)

  • avatar
    Bang Engky

    ok...

    2d

      0
  • avatar
    DyaksaDana

    bagus kerenn aku sukaa bangettt

    19d

      0
  • avatar
    MalawanSalim

    nofel nya seru

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru