logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 PERGI

RIDA
“Papa, kok belum pulang, Ma?” tanya Azka, putra sulungku setelah hari ketiga papanya tak datang lagi.
“Papa masih banyak kerjaan, jadi belum bisa pulang,” jawabku atas pertanyaan yang entah sudah berapa kali ia lontarkan. Sebanyak itu pula aku berbohong agar anak sekecil itu tak perlu masuk pada hal yang belum pantas diketahui.
“Kerjanya lama amat. Kakak ‘kan pengen ketemu papa. Katanya mau beliin mobil-mobilan baru,” rajuk Azka. Kalau sudah begini aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bicara apa untuk membuatnya mengerti bahwa Sekarang keadaannya beda. Papa takkan tinggal bersamanya lagi. Acara bermain dan beli mainan mungkin takkan pernah terjadi lagi.
“Kakak sekarang mandi dulu, ya. ‘Kan udah Ashar harus pergi ngaji?” titahku untuk mengakhiri pertanyaan yang jawaban aslinya pasti menyedihkan. Sebelum ia menyanggah, aku cepat-cepat meraih tangannya dan membawa anak ini ke kamar mandi.
“Kakak mandi sendiri, ya. Mama mau ambil adik. Bangunkayaknya, ”perintah lanjutanku pada anak lelaki itu.
Azka tak menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan. Setelah menutup pintu kamar mandi aku bergegas menuju kamar.
“Eh, anak Mama bangun! Kok, nangis?” ucapku pada putri kecil yang baru berusia dua tahun. Aku meraih dan mendudukkannya di pangkuan.
Kukecup pipi gembul yang membuat siapapun jadi gemas. Dilihat dari sisi manapun Azkia amatlah lucu. Namun, aku bingung mengapa kelucuan putri kecil ini tak membuat mas Adnan mengubah pikirannya. Setersesat itukah napsunya.
Padahal katakan saja apa kurangku supaya bisa memperbaiki diri. Demi kelanggengan rumah tangga, aku rela menjadikan diri lebih baik lagi. Alih-alih menjawab pertanyaan tentang kekurangan, ia malah membentengi hatinya dengan napsu bertopengkan cinta.
Katanya ia tak sanggup menahan hasrat pada Ela hingga takut terjerumus pada dosa. Dengan alasan itu ia bergeming saat air mata ini jatuh sebab sakit yang tak terlukiskan.
Ketika kutawarkan poligami, ia katakan Ela tak bersedia jadi istri kedua. Wanita itu memberi syarat jika mas Adnan menginginkannya, maka aku harus diceraikan.
Kesedihan, kemarahan dan kehancuranku bagai debu tertiup angin. Semuanya tak berarti apapun di sisinya.
Keras, teramat keras hatinya saat ini.

“Ibu jangan pergi, rumah ini hak ibu dan anak-anak. Enak saja pelakor jalang itu yang menguasai semuanya. Saya gak rela, Bu!” ucap bi Enah yang sudah membantuku mengurus rumah tiga tahun lamanya. Aku mempekerjakan asisten saya mengandung Azkia. Sebelumnya semua kutangani sendiri.
“Saya tak ingin hidup dalam bayang-bayang masa lalu, Bi. Saya juga ingin menyelamatkan anak-anak dari hayalan kebersamaan dengan papanya. Mereka akan lebih menderita kalau ada di sini. Saya ingin pergi dan melupakan semuanya. Saya dan anak-anak berhak bahagia!”
Bi Enah memelukku. Ia terisak-isak sebab terlalu sedih melihat nasib majikannya ini.
“Bawa semua benda berharga, Bu. Jangan sisakan satupun untuk pelakor itu. Jual saja semua benda-benda ini dan bawa uangnya pergi!” saran bi Enah. Nampak sekali emosi dari nada suara yang dikeluarkan.
Aku menggeleng perlahan. Kukatakan semua barang itu milik mas Adnan.
Meski ada hak anak-anak, nanti saja kalau sudah besar urusannya.
Aku ingin menjauh dan menenangkan diri dalam batas waktu tertentu. Mungkin dengan pergi dari masa lalu, luka ini dapat sembuh secepatnya. Akan lebih menyakitkan kalau aku harus menyaksikan kemesraan pasangan itu.
Dengan terpaksa, bi Enah mengepak barang-barang yang akan kubawa. Sesekali ia masih menyeka air mata. Aku tahu kesedihan itu bukan rekayasa. Namun, keputusan pergi ini sudah bulat.
Aku hanya membawa barang-barang yang memang diakadkan untuk pribadi saat dibelikan mas Adnan. Seperti perhiasan, pakaian, uang, surat tanah dan mobil yang dibeli atas namaku. Ponsel akan kutinggalkan agar tak bisa dilacak. Mobil pun rencananya akan dijual agar tak meninggalkan jejak.
Setelah semua beres, aku pamitan pada bi Enah. Saat kuberi uang pesangon ia menolak. Katanya nanti minta saja pada mas Adnan. Meski dipaksa, ia tetap menolak.
“Ini surat untuk mas Adnan. Tolong sampaikan padanya. Sekali lagi saya minta maaf telah membuat bi Enah repot. Maaf, Bi!”
Kami berpelukan tanpa bisa menahan jatuhnya air mata kembali. Wanita paruh baya ini mengelus punggungku. Tak lupa ia melantunkan doa untuk kebaikanku dan anak-anak.
“Hati-hati, ya, Bu!” ucap pelayan wanita yang pipinya telah dipenuhi linangan air mata. Ingin kuusap, tapi tak sanggup sebab hati ini sudah terlalu perih.
Setelah itu ia tak bisa berkata lagi. Bi Enah hanya melangkah dalam diam, dalam kesedihan. Air matanyalah yang mengiringi kepergian ini.
Gontai kaki ini meninggalkan rumah yang tujuh tahun telah jadi saksi kehidupan kami. Canda tawa, suka duka mengiringi tiap hela napas ini. Sungguh, siapa yang menyangka kebahagiaan itu hanya bertahan lima tahun saja. Setelahnya hancur tanpa sisa.
Selamat tinggal, Mas. Kuharap kita takkan pernah bertemu lagi. Biarlah segala sakit hati dan derita ini, Allah yang akan membalasnya. Aku berjanji akan mendidik anak-anak sebaik-baiknya. Yang pasti mereka tak boleh mewarisi sifatmu..
Sebelum benar-benar pergi, aku menoleh sekali lagi. Kukedipkan mata dua kali untuk menahan runtuhnya kembali air mata. Aku harus tegar menutup masa lalu dan menatap masa depan.

Komentar Buku (154)

  • avatar
    Imas Yuniahartini

    cerita novelnya sangat bagus,bisa di jadikan contoh dlm kehidupan.

    13/06/2022

      0
  • avatar
    AtayaRasya

    bagus

    10d

      0
  • avatar
    GamingFatwal

    banyak sangat pengunjung

    27d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru