logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 1

Libur semester selama dua minggu terasa berlalu dengan sangat cepat bagi Emma. Rasanya, ia belum belajar dengan baik, tetapi tiba-tiba dua hari lagi ia harus kembali ke sekolah.
Apakah mungkin semester ini ia bisa mengalahkan Dean? Lantas pemuda itu akan berhenti mengajaknya berkencan? Entahlah. Sampai saat ini, Emma tidak mengerti kenapa pemuda itu masih saja mengganggunya.
Apa penampilannya benar-benar terlihat seperti gadis nerd?
Emma berguling, turun dari ranjang dengan cepat. Ia mematut diri di depan cermin, menatap pantulannya sendiri sambil berusaha berpose layaknya model papan bawah. “Tidak juga,” gumamnya. Ia hanya tidak nyaman memakai pakaian terbuka, jadi penampilannya agak berbeda dari yang lain, namun tidak aneh.
Benar. Emma manggut-manggut sendiri. Sudah jelas Dean hanya playboy yang ingin mempermainkannya seperti yang dilakukannya pada gadis di sekolah. Kenapa ia harus memikirkan pendapatnya yang tidak penting itu? Yah, abaikan saja seperti biasa.
Gadis itu kembali berguling di atas kasur, berniat untuk tidur sejenak sebab dua hari ini ia selalu begadang untuk belajar. Tangannya baru meraih guling ketika suara ibunya terdengar memanggil dari lantai bawah.
“Emma! Emma! Cepat turun!”
Ck, kenapa harus sekarang?
Emma sangat mengantuk, tetapi ia tidak bisa mengabaikan panggilan ibunya begitu saja atau telinganya akan berasap karena diomeli. Dengan terpaksa, ia beringsut turun dari kasur dan melangkah keluar dari kamar dengan malas. Kemungkinan besar ia akan disuruh untuk membeli sesuatu di minimarket terdekat. Tetapi, tatkala berhenti di anak tangga terakhir, di luar perkiraan ibunya malah menanyakan hal lain.
“Apa kau tahu dimana Sofia?”
“Sofia?”
“Iya, Sofia Rodrigo, sahabatmu. Bukannya kau pergi bersamanya ke perpustakaan hari ini?”
Emma mengangguk. “Iya, tapi pulangnya kami berpisah. Sofia bilang ingin pergi ke pesta temannya, jadi aku meninggalkannya,” jelasnya.
Sofia adalah sepupu sekaligus tetangga yang seusia dengannya. Mereka bisa dibilang sahabat baik. Rumah mereka berdampingan dan hanya dibatasi oleh pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa. Sofia biasanya sering bermalam di rumahnya saat kedua orang tuanya pergi ke luar negeri, begitu pun sebaliknya.
“Apa kau tahu dimana rumah temannya? Ponselnya sepertinya tidak aktif, Ibu sudah berulang kali menghubunginya.”
“Iya, kenapa?” Emma mengernyit melihat ibunya tampak cemas. “Ada apa?”
“Ayahnya akan pulang hari ini,” jawab ibunya. Hanya dengan kalimat itu, Emma langsung mengerti apa yang sebenarnya ibunya cemaskan. Ayah Sofia cukup keras dalam hal kedisiplinan, jadi beliau tidak akan suka jika putrinya tidak berada di rumah malam-malam begini.
Emma melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. “Aku akan pergi ke rumah temannya.”
Ibunya mengangguk setuju dan Emma setengah berlari menaiki tangga, mengambil jaket kemudian bergegas ke garasi. Ia memutuskan untuk memakai motor matic milik adiknya agar cepat sampai.
Jika bukan karena Emma menyayangi Sofia selayaknya saudara perempuannya, ia tidak akan melakukan ini. Terlebih, ia sangat enggan untuk datang ke pesta yang diselenggerakan teman-teman gaul Sofia. Bisa dibilang ia tidak akrab dengan mereka, meskipun kelas mereka bersebelahan.
Sekitar 10 menit berkendara, Emma tiba di tempat tujuan. Ia memarkirkan motor agak jauh dan berhenti sesaat untuk mengamati keadaan. Ada banyak mobil yang terparkir di halaman. Pintu rumahnya terbuka lebar dan musik yang diputar dengan suara keras rasanya bisa menulikan pendengaran Emma.
Mendadak, ia jadi ragu-ragu untuk masuk. Akan tetapi, kembali mengingat apa yang ibunya katakan, Emma menguatkan diri. Ia menarik napas panjang sebelum berjalan dengan terburu-buru ke pintu utama. Ia langsung meringis saat melihat banyaknya orang yang datang, rata-rata teman seangkatannya. Tetapi, ia bersyukur karena lampunya redup jadi mereka tidak akan terlalu memperhatikannya. Mereka mungkin akan kaget jika melihat keberadaannya di sini. Emma hanya perlu menemukan Sofia dan membawanya kembali ke rumah.
“Mengejutkan sekali melihatmu di sini.”
Emma melompat di tempatnya, nyaris berteriak karena Dean berbisik tepat di tengkuknya. Ia berbalik dengan kesal dan mendapati Dean terkekeh senang.
Astaga, kenapa aku harus bertemu pemuda menyebalkan ini?
“Kutu buku sepertimu kenapa berada di sini? Ini bukan perpustakaan, Sayang.”
“Aku tahu dan jangan memanggilku sayang.”
“Jadi apa yang kau lakukan di sini?”
“Apa itu urusanmu?”
Dean tersenyum tipis, tampaknya tidak pernah peduli dengan sikap ketus Emma padanya. “Memang bukan urusanku, tapi aku tidak menyangka kau akan memakai celana tidur bermotif kelinci untuk berpesta.”
Apa?
Emma kontan menunduk ke bawah, pipinya seketika memerah begitu menyadari kalau ia tidak mengganti celana tidurnya yang berwarna pink dengan motif kelinci putih. Ia menggigit-gigiti bibir bawahnya untuk menahan rasa malu dan menatap Dean yang tengah menahan tawa. Dasar menyebalkan. “Aku tidak datang untuk berpesta, tapi mencari sepupuku jadi tidak usah pedulikan penampilanku.”
Dean menaikkan satu alis, merasa geli sekaligus gemas. Melihat wajah Emma yang memerah karena malu membuatnya ingin mencium gadis itu. “Sepupumu Sofia?” Tanyanya cepat sebelum pikirannya semakin berkelana jauh. Ia menunjuk sudut ruangan di mana meja bar berada. “Dia ada di pojok ruangan sana kalau tidak salah.”
Benarkah? Emma menatap Dean ragu-ragu, tetapi kemudian mengangguk. “Terima—”
“Aku akan mengantarmu. Di sini banyak pria mata keranjang,” potong Dean tiba-tiba. Sebelum Emma sempat menjawab, tanpa permisi ia sudah melingkarkan lengannya di sepanjang pundak si gadis yang mendelik protes, tetapi Dean tidak peduli. “Ayo.”
“Kau tidak perlu mengantar—”
“Sudah, jangan memprotes. Sudah kubilang di sini banyak pria mata keranjang yang kurang ajar.”
“Sepertimu.”
Dean tertawa, ia menatap Emma yang berekspresi datar dan tawanya semakin mengencang. Ya Tuhan, gadis ini sangat lucu. “Aku tidak mata keranjang, tapi para gadis yang datang padaku,” jelasnya percaya diri.
“Terserah,” kata Emma malas. Ia tidak mengatakan apa pun lagi saat Dean membawanya ke sudut ruangan. Mereka menerobos kerumunan dengan Dean yang mendorong orang-orang sesuka hati. Mereka sudah jelas merasa kesal, tetapi tidak berani untuk membalas Dean.
Emma tahu kalau mereka takut pada Dean karena orang tuanya merupakan salah satu orang berpengaruh di kota kecil ini. Ditambah dengan rumor yang beredar kalau Dean tidak akan segan memukul siapa saja yang membuatnya marah, entah itu benar atau tidak.
“Sialan! Siapa yang berani mendorong—”
“Apa? Minggir sana,” kata Dean galak. Ia mendorong kasar si pemuda yang cepat-cepat berpindah ke samping. “Minggir, gadisku ingin lewat.”
Emma menghela napas, tidak tahan lagi. “Kenapa kau kasar sekali?”
Kepala Dean menoleh pada Emma, tatapannya yang tajam dalam sekejap berubah menjadi lembut. “Aku hanya memperlakukan orang spesial dengan lembut. Seperti kau,”—Sayangku.
Ah, abaikan. Emma merotasikan bola matanya jengah. Mereka kemudian berhenti di samping meja bar dan tidak perlu waktu lama, Emma sudah berhasil menemukan Sofia yang sedang minum dengan temannya.
“Nah, itu sepupumu.”
“Ya.” Emma melepaskan diri dari rangkulan Dean dan menatap pemuda itu. Bagaimanapun juga, Dean sudah membantunya, jadi ia perlu berterima kasih. “Terima kasih,” ucapnya tulus.
Emma hendak melangkah pergi, namun Dean justru menggeleng dan menarik tubuhnya mendekat. “Bukan seperti itu caranya berterima kasih padaku.”
“Apa?”
Dean tersenyum manis, tanpa aba-aba menunduk dan mengecup bibir Emma yang membelalak. Bibirnya menekan cukup dalam, sedikit mendesak, kemudian ia menggigit lembut bibir bawah Emma sebelum menjauhkan wajahnya. “Sama-sama,” bisiknya menyeringai, matanya berbinar senang. Ia berbalik dan berlalu pergi dengan santai, meninggalkan Emma yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Tadi itu ...
“Oh, jadi kau sudah menerimanya ya?”
Suara Sofia menyentak Emma. Gadis itu mengerjap dan menatap sepupunya yang tersenyum menggoda. “Tidak!” Jawabnya hampir berteriak. Ia menutup wajahnya dengan tangan—frustrasi, kesal, marah, malu, semuanya bercampur menjadi satu.
Berandal gila itu! Apa yang dia lakukan?! Seenaknya saja mencium bibirnya.
Ini bukan pertama kalinya. Dean juga pernah melakukannya saat acara sekolah tahun lalu. Dasar berengs*k.
Menarik napas panjang untuk meredakan kekesalannya, Emma lantas menarik tangan Sofia untuk segera keluar dari rumah tersebut. “Ayahmu akan pulang,” gumamnya saat Sofia memandangnya bingung.
Mereka berjalan melewati Dean yang berdiri di ambang pintu. Emma memberinya pelototan tajam, tetapi pemuda itu malah tersenyum manis. Tubuhnya disandarkan ke pintu dengan santai, sementara pandangannya terus tertuju pada Emma yang berjalan pergi dengan tergesa-gesa.
“Jadi bagaimana rasanya, Bung?”
“Manis.” Dean tersenyum lebar, tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tadi itu, ia benar-benar tidak tahan untuk tidak mencium bibir Emma karena ekspresinya begitu menggemaskan. Kendati ia tahu kalau setelah ini, Emma pasti akan semakin menghindarinya.
“Gadis itu yang selalu menolakmu, bukan? Aku mengerti kenapa kau menyukainya,” ujar Alex. Ia ikut menyandarkan tubuhnya ke pintu sambil memandang Emma dan sepupunya yang mulai keluar dari halaman. “Dia sangat lugu, polos, dan manis. Aku jadi—”
“Jangan berani-berani menyentuhnya,” kata Dean serius, ia menatap Alex tajam. “Bahkan memikirkannya saja tidak boleh.”
“Benarkah?”
“Coba saja dan aku akan mematahkan tanganmu.”
Alex terkekeh. “Oke, tapi sepertinya kau harus berusaha keras.”
“Aku tahu.”
“Cobalah untuk bersikap lembut. Begitu caranya menakhlukan wanita.”
“Menurutmu begitu?”
Alex tersenyum. “Tentu.”
Apa ia tidak bersikap lembut? Pikir Dean. Ia selalu bersikap baik dan manis pada Emma, bahkan sudah menawarkan Emma bantuan untuk menempati peringkat pertama. Bukankah itu suatu hal yang besar? Karena hanya itu yang Emma inginkan selama ini.
“Bagaimana sikap lembut menurutmu? Yang dapat menakhlukan hati Emma?” Tanya Dean. Mungkin versi lembut yang Alex maksud sangat berbeda dengan versinya.
Pemuda itu menyeringai dan memanggil Dean mendekat, lalu membisikkan beberapa tips ke telinganya.
Kening Dean berkerut, merasa kurang yakin dengan ide tersebut. Tetapi, bukan berarti ia menolak untuk melakukannya. “Ya. Akan kucoba.”

Komentar Buku (23)

  • avatar
    Kamu 221Didik

    hebat

    13/07

      0
  • avatar
    Farin Farin

    Verry good story

    20/06

      0
  • avatar
    lindarosa

    Aku suka cerita ini, ringan, tipe anak remaja yang lagi nakal-nakalnya, apalagi ini latarnya western kan jadi seru aja bacanya👍🌹 semangat kaka author😘

    17/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru