logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Perjanjian Perceraian

“Kamu luruskan dulu permasalahanmu sama dia Mas, aku ke kamar dulu.”
Rama memalingkan wajahnya memandang Anisa yang sudah berjalan menuju kamarnya, ditatapnya punggung Anisa yang berlalu menuju kamarnya. Dalam hatinya ia merasa sangat bersalah dengan Anisa, tidak seharusnya gadis itu mengalami semua ini.
Rama harus meluruskan permasalahan ini, dia tidak sanggup melihat gadis yang ia cintai sepenuh hati terkulai lemas karenanya.
“Jes maafin aku ya... aku gak bisa jujur padamu soal pernikahanku ini.” Ucap Rama lirih, meraih tangan gadis itu.
Gadis itu menegakkan posisi duduknya lalu menepis tangan Rama. Air matanya mulai mengucur kembali.
“Nggak bisa jujur Mas?”
“Terus tujuanmu apa gak jujur? Pengen lihat aku sakit kaya gini?” Ucap gadis bernama Jesica itu dengan emosi, kedua tangannya mencengkeram kerah baju Rama.
Dengan tenang Rama menggenggam tangan Jesica yang mencengkeram bajunya, diturunkannya tangan itu perlahan, ia tatap mata Jesica dalam berusaha sedikit menenangkannya.
“Aku gak bisa bilang sama kamu karena aku gak sanggup melihatmu seperti ini.” Ucap Rama lembut.
“Aku menikah juga bukan karena keinginanku, sebelum meninggal kakek memintaku untuk menikah dengan Anisa. Dengan terpaksa aku menikahinya, di hatiku hanya ada kamu aku hanya mencintaimu.” Lanjut Rama
“Aku tidak bisa egois saat kakek dalam kondisi kritis, kamu tahu kan kakek segalanya bagiku. Akhirnya dengan berat hati saat itu kuputuskan untuk menuruti permintaannya, dengan syarat kalau dalam 2 tahun tidak ada perkembangan dalam rumah tangga kami dan belum tumbuh rasa cinta diantara kami maka aku boleh menceraikannya. Aku mohon kamu ngerti, aku berencana memberi tahumu setelah aku dan dia bercerai tapi tak kusangka kamu kembali secepat ini.”
“Kamu kan bisa bilang sebelum aku sampai disini Mas, kalau tau akan seperti ini aku gak akan mau tinggal disini.”
“Aku gak mau kalau sampai kamu salah paham dan mungkin akan menghilang dari hidupku selamanya kalau aku menjelaskan lewat telpon, kamu paham kan.” Rama menenangkan Jesica, ia berharap wanita itu bisa menerima kondisinya saat ini.
“Terus kalau aku menerima kondisimu hubungan kita sekarang bagaimana Mas, apa bisa seperti dulu sedangkan di sampingmu ada istrimu.”
“Bisa, kita bisa berhubungan seperti sebelumnya sayang, kita bertahan ya setahun lagi. Kita bisa bersama saat aku sudah bercerai dengannya. Aku yakin kita bisa melalui semua ini.” Rama mengusap air mata yang mengalir di pipi Jesika sembari tersenyum tipis meyakinkannya.
Rama meyakinkan Jesica, tanpa memikirkan statusnya sebagai suami, tanpa memikirkan ada istri yang mungkin hatinya hancur berkeping-keping jika melihat suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain.
*******
Aku bangkit dari tidur, bermaksud mengambil tisu yang ada di meja Rias dekat dengan pintu kamar. Samar-samar ku dengar percakapan Rama dan gadis yang belum ku ketahui namanya di ruang tamu yang memang ada di samping kamarku.
“Kakek segalanya bagiku, kuputuskan untuk menuruti permintaannya dengan syarat kalau dalam 2 tahun tidak ada perkembangan dalam rumah tangga kami dan belum tumbuh rasa cinta diantara kami maka aku boleh menceraikannya. Aku mohon kamu ngerti, aku berencana memberi tahumu setelah aku dan dia bercerai tapi tak kusangka kamu kembali secepat ini.”
Deg, seketika ribuan anak panah bagai menusuk tubuhku, rasa sakitnya seratus kali lebih sakit dari saat ku lihat pancaran cinta di mata Mas Rama. Aku tak pernah membayangkan pernikahan dan perceraian semudah itu bagi Mas Rama, bahkan dia perjanjiannya dengan kakeknya itu pun aku tidak tahu sama sekali. Apa yang mereka dulu mereka pikirkan sebenarnya, aku ini manusia yang punya hati, bahkan aku sudah merelakan hidup hanya untuk menikah dengan orang yang bahkan tak ku kenal sama sekali. Tapi apa ini, ternyata ini hanya pernikahan yang berdasarkan pada kontrak antara cucu dan kakeknya, sungguh ironis sekali hidupku ini.
“Kamu kan bisa bilang sebelum aku sampai disini Mas, kalau tau akan seperti ini aku gak akan mau tinggal disini.”
Iya kenapa kamu membiarkan dia tinggal disini mas, sedangkan disini ada aku istrimu.
“Aku gak mau kalau sampai kamu salah paham dan mungkin akan menghilang dari hidupku selamanya kalau aku menjelaskan lewat telpon, kamu paham kan.”
Kamu tidak mau kehilang dia tapi kamu senang menyakitiku mas, ku kira hal paling menyakitkan selama pernikahan kita hanya kau anggap aku wanita asing di rumah ini, tapi ternyata semua kejadian hari ini jauh lebih menyakitkan.
“Terus kalau aku menerima kondisimu hubungan kita sekarang bagaimana Mas, apa bisa seperti dulu sedangkan di sampingmu ada Istrimu.”
Apa dia bilang, bisa berhubungan seperti dulu?
Kau juga wanita tetapi kau tega bilang seperti itu pada suami orang?
“Bisa, kita bisa berhubungan seperti sebelumnya sayang, kita bertahan ya setahun lagi. Kita bisa bersama saat aku sudah bercerai dengannya. Aku yakin kita bisa melalui semua ini.”
Dan apa kamu bilang mas, kalian bisa berhubungan seperti dulu, lalu bagaimana denganku, aku bukan boneka tanpa perasaan. Lebih baik kamu ceraikan aku sekarang tak usah menunggu satu tahun lagi biar kalian bisa bersama tanpa ada gangguan.
Apa orang tuaku juga tahu ini semua, tapi kenapa ia sangat tega memberikanku pada keluarga ini kalau hanya untuk disakiti saja, besok aku akan ke rumah, akan ku tanyakan ini pada bapak dan ibuk.
Aku sungguh sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, isi kepala ku sangat penuh saat ini. Aku harus segera menenangkan diri terlebih dahulu baru akan kuhadapi semua masalah ini satu persatu.
Ku putuskan untuk merebahkan tubuhku kembali, ku raih ponselku yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidur lalu ku buka laci meja tempat aku biasa meletakkan heatset. ku tancapkan headset itu ke ponselku lalu ku putar lagu-lagu mellow yang sering aku dengarkan saat suasana hatiku sedang tidak baik.
Ku hembuskan nafas berat lalu ku pejamkan mata sambil menikmati lagu yang bergema di kedua telingaku. Aku berharap denyutan di kepalaku mereda dengan mendengarkan lagu-lagu ini.
Tok, tok, tok.
“Mbak makan malam sudah siap.” Ucap Sari
“Iya.” Jawabku, Kudengar ia melangkah pergi menjauh dari pintu kamarku.
Sebenarnya aku sedang tidak berselera makan tapi aku harus keluar, aku harus terlihat tegar, aku tak mau Mas Rama dan gadisnya itu bersenang-senang diatas penderitaanku.
Ku langkahkan kaki menuju meja makan, ternyata hanya gadis itu yang disana. Ku sungnggingkan semyum termanis padanya, saat ia menoleh mendengar derap langkahku. Dia tampak membalas senyumanku, aku menuju kursi yang biasa aku duduki, diseberang kursi yang biasa diduduki mas Rama, sedangkan ia saat ini duduk tepat dikursi sebelah Mas Rama.
“Mas Rama mana Mbak?” tanyaku padanya, terdengar aneh memang aku yang berstatus sebagai istrinya tidak tau keberadaan suaminya dan malah menanyakan pada wanita lain.
“Barusan ke atas ambil hp katanya.” Jawabnya santai.

Komentar Buku (228)

  • avatar
    IryouwRickofhy

    good👍

    17d

      0
  • avatar
    SetiawanTendy

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    Riss

    Critanya sangat bagus dan menarik, Tapi sayang nya Udh tamat, next in dong kak critanya

    13/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru