logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Perempuan Lain

Meisya melotot ke arah Zeina yang dengan sengaja tidak mengatakan apa pun padanya kalau Alva ikut bergabung dengan mereka.
Zeina yang ditatap, hanya bisa melemparkan ringisan dan senyum paksa pada Meisya, dan tanpa keduanya sadari, mata Alva menatap kedua wanita yang saling mengirimkan isyarat mata.
Alva berdeham membuat kedua wanita itu menatap ke arahnya.
“Kalian tidak akan terus melakukan olahraga mata di saat ada orang lain di meja kalian bukan?”
Ucapan yang dilontarkan Alva membuat kedua wanita itu terdiam.
Zeina dengan cepat menarik kedua ujung bibirnya tersenyum paksa.
“Nggak, kita hanya memastikan mata kita tampak baik-baik saja.”
Alva hanya mendengkus akan jawaban Zeina. Kalau bukan sahabatnya ini yang memaksa dirinya untuk datang, rasa malas untuk beranjak dari ruang kerjanya di rumah tidak akan pernah terjadi. Dan semua itu didukung pula oleh ulah dari Ayahnya sendiri yang berujung dengan menghubungi rekan kerjanya untuk mendiskusikan proyek bersama putri tunggal yang dirinya hafal. Semua hanya kamuflase, hanya ingin mempertemukan dia dan Putri dari rekan kerjanya.
Kabur adalah jawaban, dan di sinilah dia.
“Va, bukannya kamu ada kerjaan? Aku ajak tapi alasan kamu ada deadline, lalu kenapa malah tiba-tiba ada di sini?”
Alva membalas tatapan Meisya yang menatapnya secara terang-terangan. Dan merasa tidak nyaman dengan tatapan sahabat dari Zeina itu.
Dia sadar kalau dirinya tampan, tapi bukankah tidak sopan bila menatap dirinya seperti itu. rasanya aneh.
“Ternyata aku butuh sedikit kopi untuk bisa menghilangkan penat di kepala dan di sini lebih nyaman daripada di rumah."
Meisya mengerutkan keningnya sedangkan Zeina tertawa ringan sambil menggelengkan kepalanya.
Zeina berpikir pria yang tidak lain adalah sahabatnya itu memang sudah puluhan kali lari dari masalah yang bernama pertemuan berkedok perjodohan.
Dan dengan sisa tawanya dia berpikir kalau sahabatnya itu terlalu sering memuat alasan yang konyol.
Sebelum sempat Zeina berbicara, Meisya lebih dulu angkat suara.
“Memang di rumah Pak Alva yang terhormat tidak punya kopi? Sampai harus keluar dari rumah? Alasan kok klise banget sih!” ucapan pedas Meisya meluncur ringan.
Alva langsung menatap tajam Meisya. Dan Zeina yang langsung menahan tawanya.
“Tuh kan kalian cocok.”
“Cocok dari apanya?” tanpa sadar Alva dan Meisya menyuarakan tanyanya bersamaan.
“Nah! Cocok kan,” cetusnya sambil mengangkat cangkir kopi lalu menyeruputnya perlahan sambil matanya tetap memperhatikan kedua manusia di depannya.
Satu suara feminin membuat ketiga pasang mata menatap ke arah depan di mana berdiri sesosok wanita cantik dengan dress berbahan sutra warna pastel dengan rambut panjang yang diikat tinggi menegaskan dirinya tak tersentuh dan high heels yang cukup tinggi. Itu yang tengah dipindai oleh Meisya.
“Maaf –“
Tiga pasang mata menatap penasaran pada perempuan yang terlihat anggun, berdiri menghadap ke arah Alva.
"Oh, kamu sudah datang, maaf tapi aku sudah memiliki janji dan ini bukan kebohongan. Jadi saya harap kamu tidak terus menerus mengganggu saya. Hari ini adalah spesial untuk kami berdua.”
“Tapi, ayahmu mengatakan kalau keduanya telah sepakat untuk melanjutkan hubungan yang mereka buat untuk semakin menjadi lebih dekat dan san kamu juga bukannya ikut menyetujui, lalu kenapa sekarang berubah tiba-tiba.”
Tampaknya wanita cantik itu tidak menerima keputusan sepihak dari pria yang jelas-jelas masuk dalam daftar pilihan ayahnya yang akhirnya dia setujui dan dipermalukan seperti ini di depan dua orang wanita yang terlihat menatapnya dengan sorot iba.
Meisya merasa kasian, tapi tidak dapat berbuat banyak.
“Kamu salah, Keputusan itu dibuat tanpa saya. Jadi biarkan kedua orang pria tua itu membuat semuanya, anaknya tidak perlu ikut serta.”
“Mas....”
“Case closed, selesai.” Dengan suara tegas Alva langsung menutup pembicaraan itu
Wanita itu mengigit bibirnya dan wajahnya memerah menahan amarah, kemudian tatapannya jatuh tepat pada Meisya, yang kemudian berbalik dengan tatapan sarat akan kekecewaan.
Zeina dan Meisya saling tatap satu sama lain.
Lalu Meisya langsung saja melepaskan tangan yang masih saja terlihat betah merangkul pinggangnya.
Dalam benaknya bagaimana bisa seorang Alva melakukan tindakan yang begitu membuatnya seperti pengecut? Meisya yang hampir tidak pernah menyentuh cinta sejak empat tahun lamanya. Merasa semua tindakan Alva itu terlalu impulsif.
Zenia yang tengah memastikan kalau wanita itu telah jauh, langsung saja membombardir Alva dengan banyak pertanyaan.
“Ini apa namanya? Melindungi diri sendiri ya? Curang sih, dan aku jelas nggak dukung hal ini.” Zeina tak menyangka kalau sahabatnya itu bisa melakukan sesuatu yang bisa menyakiti perasaan orang lain. Hal yang tidak pantas bila dilakukan di tempat umum seperti ini.
Alva hanya tertawa miring ketika ditatap seperti itu oleh Zeina.
“Maaf, tapi jelas saya tidak menyukai perempuan agresif seperti dia dan bukannya kamu juga sudah tahu saya tidak menyukai wanita semacam itu.”
Zeina akhirnya hanya bisa mendesah pasrah menanggapi ucapan yang keluar dari bibir Alva.
Meisya yang hanya bisa mendengar ocehan kedua manusia beda gender itu akhirnya hanya bisa menatap keduanya kesal dan meminta Zeina untuk tidak memperpanjang apa yang terjadi antara Alva dan wanita yang barusan pergi dengan raut wajah yang terluka.
Alva menatap Meisya sejenak sebelum ia mengutarakan niatnya yang mungkin akan terdengar memaksa.
“Saya hanya tidak suka waktu penting saya terganggu dengan hal receh. Jadi kita bekerja sama oke, setidaknya bantu saya sampai orang tua saya menyetujui kalau saya bisa mendapatkan seseorang dengan kualitas yang bagus.”
Meisya menatap horor akan ucapan yang tidak di kontrol pria di depannya.
“Apa-apaan itu?”
Zeina langsung menenangkan Meisya dan memintanya mendengarkan lebih rinci apa yang akan dijelaskan
“Saya minta maaf bila membuat kamu tersinggung, tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Yang jelas semua memang tengah terikat dengan perusahaan dan memang keseluruhan selalu seperti itu. Tak perlu saya jelaskan juga bukan! Di sini?”
Meisya menatap bingung dengan ucapan Pria dingin yang egois. Mungkinkah dia berpikir kalau semua akan sesuai dengan jalannya.
“Eh tunggu, Va. Kok dia bisa tahu kalau kamu di sini?”
“Biasa, wanita itu kerap mengikuti saya, jadi bukan rahasia lagi. Dan jelas saja saya malas bila harus meladeninya. Jadi tadi adalah garis keras untuknya.”
Tatapannya kini beralih ke Meisya.
“Kita jalani dulu. Setidaknya bantu aku. Terima kasih.”
“Tukang paksa!” Cetus Zeina kesal.
“Kita pakai metode simbiosis mutualisme.”
Dan Meisya hanya bisa melongo tanpa diberi kesempatan untuk menolak atau berpikir ulang.
“Aku yakin kalian akan awet,” ucap Zeina

Komentar Buku (28)

  • avatar
    Nia

    awesome

    9h

      0
  • avatar
    WastutiWastuti

    bagus ceritanya

    10/05

      2
  • avatar
    SyamimiNur

    bgus

    01/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru