logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 IAN

Ros masih shock. Wajahnya pucat dan badannya gemetar. Ditatapnya lagi sosok menjulang di depannya. Laki-laki, rambutnya semi gondrong dan acak-acakan, memakai bandana ..."
"Maaf ... ," suara Ros seperti tercekik. Ia masih berusaha mengatur nafas dan menenangkan jantungnya yang mendadak jumpalitan. Pemuda di depannya masih diam, sepasang mata elangnya tajam mengamati Ros dengan seksama. Pelan, pemuda itu berjongkok, merapikan serpihan cangkir yang pecah berserakan. Ros ikutan jongkok, berusaha ikut membantu sebisanya meski tangannya masih gemetar. Sumpah, Ros benci keadaan ini. Tangannya seakan punya kemauan sendiri. Akibat jemarinya yang masih gemetar tak kunjung hilang, tanpa sengaja tangan Ros tergores pecahan cangkir yang tajam.
"Aduh ...," refleks Ros bersuara saat dirasakannya perih di tangannya. Nampak luka gores tipis memanjang tergurat di telapak tangannya dan darah menetes pelan. Pemuda yang sedang berjongkok di depan Ros, menghentikan sesaat kegiatannya mengumpulkan pecahan cangkir.
Pemuda itu melepaskan bandana dari kepalanya, menarik tangan Ros, lalu membebat telapak tangan Ros yang masih terasa ngilu. Ros termangu, tanpa sadar matanya memandang pemuda itu. Pada alisnya yang tebal dan bagus, sepasang mata tajam yang ternaungi bulu mata panjang, hidung yang mancungnya ugal-ugalan, dan bibir sempurna yang selalu merengut. Hanya dua kata yang terlintas dalam benak Ros saat itu. Tampan dan berandalan. Tanpa berkata pemuda itu bangkit berdiri, meninggalkan begitu saja serpihan cangkir yang sudah ia kumpulkan, menuju lantai dua sementara Ros masih bengong.
Ros meneruskan mengumpulkan serpihan cangkir, sesekali memandang tangan kanannya yang terbebat bandana. Pelan Ros mendekatkan tangannya ke hidung. Entah kenapa ia begitu penasaran. Ros menyesap wangi bandana itu. Aroma wood dan musk yang berpadu, sempurna membius indera penciuman Ros. Gadis itu serasa melayang. Untuk sesaat ia menikmati aroma bandana itu, membiarkan angannya melayang dan mengendapkannya dalam pikiran.
Puas menghirup aroma bandana hitam itu, Ros membuka mata. Tapi alangkah terkejutnya saat matanya beradu pandang dengan pemuda pemilik bandana itu. Ros merasa wajahnya memanas. Sialan! Sudah berapa lama pemuda itu berada di depannya? Jangan-jangan ia sudah tahu kalau Ros mengendus bandana itu seperti orang kurang waras. Ros salah tingkah. Lututnya lemas seperti tak bertulang. Tak mampu berdiri apalagi menatap pemuda di depannya.
Sebuah tangan berkulit bersih terulur di depan wajah Ros, membantunya berdiri. Ros melongo sejenak, sedikit ragu ia meletakkan tangan kirinya di atas telapak tangan kanan pemuda itu, yang langsung menggenggamnya dengan hangat. Digandengnya tangan Ros, membuka pintu menuju balkon, dan memberi isyarat supaya Ros duduk. Diletakkannya dua cangkir berisi kopi yang masih mengepul di atas meja. Ros terheran. Harusnya saat pemuda itu melangkah menghampirinya tadi, terdengar suara langkahnya kan? Atau, setidaknya tercium aroma kopi yang sedang dibawanya.
Tapi kenapa seakan dirinya hanya terpusat pada bandana yang tadi sedang diendusnya? Ros pening. Mana makhluk di depannya ini tak bersuara sama sekali. Kalau dipikir-pikir, sejak pertemuan pertama pun Ros belum pernah mendengar suaranya.
Pemuda itu duduk di sebelah Ros. Tangannya meraih sesuatu dari saku bajunya, mengeluarkan sebungkus rokok. Ros masih diam, mengamati. Bagaimana gaya maskulin pemuda itu, meski hanya memantik api dan menyalakan rokok.
"Kamu bisu ya?" tegur Ros tiba-tiba. Pemuda itu menoleh, mengangkat sebelah alisnya yang bagus. Sudut bibirnya sedikit tertarik, terkesan geli dengan pertanyaan Ros.
Tak diduga, pemuda itu mengulurkan tangannya. "Ian ... ," ujar pemuda itu. Suaranya terdengar dalam dan serak.
Ros menyambut uluran tangan di depannya, masih dengan tangan yang terbebat bandana. "Rosasina ..."
"Sasi ...," gumam Ian. "Namamu bagus ..."
"Panggilanku Ros ...," sergah gadis itu, pelan menarik tangannya dari genggaman tangan Ian. Tapi Ian tak melepaskannya. Ia malah menarik dan mengecek tangan Ros. Digesernya kursi yang sedang ia duduki sehingga mereka berhadapan. Ian membuka pelan bebatan bandana dan melihat lukanya.
"Darahnya sudah tidak keluar. Tapi sementara pakai dulu bandana ini buat menutup luka. Sampai rumah, baru diberi plester. Rumahmu di mana, Sasi?" Ian masih menunduk, membebat lagi tangan Ros.
"Panggilanku Ros, rumahku di Jl. Mangga."
Ian menatap sekali lagi tangan Ros, lalu memandang sepasang mata bening di depannya. "Aku suka memanggilmu Sasi, apakah kau keberatan?"
Ros tergagap. Dipandangi seperti itu oleh Ian, membuat otaknya serasa macet, tak mampu bekerja dengan normal. "Eh ... boleh ..."
Kali ini Ian mengeluarkan senyumnya. Ros melongo melihatnya. Ada apa sih dengannya hari ini? batin Ros kesal. Terpesona memandang senyum Ian, padahal ia sudah punya seseorang. Tapi, dari tadi ke mana bayangan Giri yang biasanya tiap saat menghantuinya?
Ian merapikan rambutnya yang berantakan. Diraihnya gitar yang terletak di sebelah kursinya. Ian mengisap rokoknya sebentar, lalu mulai memetik dawai.
Pergelangan tangan kiri pemuda itu penuh dengan bermacam gelang. Ada gelang anyam, logam, tali, dan rantai perak. Selaginya ia menikmati petikan gitar Ian, Ros mengamati ada secuil gambar yang menyembul dari lengan baju Ian yang digulung hingga siku. Ros tercengang. Ian punya tato?
Bermenit-menit kemudian, saat udara makin dingin dan malam kian menua, Ian menoleh ke arah Ros.
"Kamu ngantuk ya?"
Ros menahan kuap. "Iya ...," jawabnya jujur. "Aku capek, seharian tadi di kampus ketemu sama dosen, dan ..."
Sadar ia kelepasan bicara, Ros membungkam mulutnya. Semua karyawan di Melati katering dan WO tidak ada yang tahu jika ia seorang mahasiswi.
"Oh ya? Kamu kuliah di mana?"
Kepalang tanggung, Ros memutuskan untuk bicara apa adanya. Entah apa yang membuatnya percaya pada Ian.
"Di Universitas Biru Langit. Masih semester empat."
"Ambil jurusan apa?"
"Manajemen bisnis. Kelak, suatu saat aku ingin punya usaha sendiri. Berusaha mandiri dan tak tergantung pada orang lain."
Ian mengangguk. "Kau harus sangat berusaha keras untuk mewujudkannya."
"Aku tahu ...," Ros menghabiskan kopinya. "Terima kasih, sudah membuatkan aku kopi, dan maaf aku sudah memecahkan cangkir. Aku akan mengganti cangkir itu."
"Aku membuat kamu kaget ya?" Ian terkekeh pelan.
Ros merengut. "Iya. Mana kamu tinggi menjulang. Kupikir aku ketemu hantu!"
Tawa Ian terdengar lagi. "Coba kamu tahu wajahmu sendiri saat ketakutan tadi ..."
Ros makin cemberut. Sebel diledeki Ian.
"Eh tapi bukannya kamu juga karyawan baru? Kok kamu bisa ke lantai tiga? Apa kamu nyolong kunci dari Pak Satpam?"
Ian tertawa lagi, lebih keras. "Semua karyawan boleh kok, ke balkon. Kuncinya nempel tuh di tembok ruangan Pak Satpam. Kamu juga ngapain malam-malam belum pulang?"
Ros diam. Haruskah ia mengatakan kalau sebenarnya sudah tidak kerasan di rumah Tante Mien? Ia sudah tidak punya tempat berlindung lagi dari semua omongan kasar dan kecaman yang dilontarkan keluarga Tante Mien. Tapi saat ini ia tidak punya pilihan. Salah, ralat Ros dalam hati. Ia punya pilihan, tapi ia masih belum yakin akan dirinya sendiri.
"Nggak apa-apa. Lagi suntuk saja di rumah," jawab Ros sekedarnya.
Ian terkekeh lagi. "Cewek seperti kamu bisa suntuk? Kayak punya masalah super berat saja pakai acara suntuk."
Ros bertopang dagu. "Aku nggak mengharapkan kamu untuk mengerti. Kita nggak saling kenal. Kamu nggak tahu apa-apa soal aku. Jadi ... terima kasih buat kopinya. Aku pulang dulu."
Ros bangkit berdiri, merapikan tas di bahunya. Tak lupa membawa cangkir kopinya untuk dibawa ke lantai dua. Namun sebuah tangan kokoh menahan langkahnya. Ros membeku.
Ian berdiri menjulang di depan Ros, membuat gadis itu harus mendongak saat menatap wajah lawan bicaranya.
"Aku anter kamu pulang."
"Aku nggak mau!" balas Ros ketus.
Ian menatap lekat. "Kamu bete karena aku ngeledek kamu soal suntuk?"
"Bukan!"
"Lantas apa?"
"Karena aku sudah punya pacar!"
Ian melepaskan tangannya dari lengan Ros. "Oh ya? Kalau begitu coba telpon sekarang. Aku tunggu."
"Nggak perlu. Aku bisa menelponnya saat di bawah," kilah Ros.
"Kalau kamu memang punya pacar, pasti dia nggak akan membiarkan kamu pulang sendiri malam-malam begini. Kamu telpon dia sekarang, atau kita akan semalaman di sini. Semua tergantung keputusanmu
Ros menggerutu dalam hati. Sialan! Diambilnya benda pipih yang modelnya sudah ketinggalan jaman, apalagi fitur di dalamnya. Ros tidak merasa perlu membeli ponsel baru. Mungkin nanti, kalau tabungannya sudah cukup.
Ditekannya nomor kontak Giri. Terdengar nada sambung, tapi tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi. Tetap tidak diangkat. Ros mulai gelisah. Ke mana Giri? Matanya bersirobok dengan Ian yang masih sabar menunggu.
"Nggak diangkat ...," Ros berujar lirih. Gadis itu menyibakkan rambut panjangnya yang di kuncir ekor kuda dan tertunduk. Otaknya sibuk bertanya-tanya di mana gerangan kekasihnya berada? Tidak biasanya Giri seperti ini. Ros hanya berharap laki-laki yang disayanginya baik-baik saja.
Ian mengeluarkan ponselnya, menunggu sesaat. "Halo, Jo ... bawakan helm. Iya, di ruko. Aku tunggu sekarang ... iya ... makasih ..."
Ros menoleh, bertepatan Ian juga sedang memandang ke arahnya. "Ayo pulang ..."

Komentar Buku (167)

  • avatar
    Diansw50

    novelnya bagus sat set and happy end. trims author., Krn bacaan mu yg tak membosankan telah menemaniku sepanjang hari😘😘😘😘😘

    26d

    Β Β 0
  • avatar
    SusantiSiti

    aku

    28d

    Β Β 0
  • avatar
    RaniaZahra

    bagus

    28d

    Β Β 0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru