logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 BONEKA BERTUDUNG MERAH

"Maaf Alina, untuk kali ini kami ingin menghabiskan waktu berdua saja ... ada hal yang akan kami bicarakan. Kami harap, kamu bisa mengerti," Giri berujar pelan namun tegas.
Alina memicingkan mata. "Hal yang akan kalian bicarakan? Soal apa? Pernikahan?"
"Itu bukan urusanmu, Alina," jawab Giri.
"Tentu saja itu urusanku. Karena si gembel ini masih numpang hidup di rumahku!"
Ros mengangkat sebelah alisnya. "Rumahmu atau rumah warisan kakek?"
Wajah Alina memerah. Pertanyaan Ros membuatnya mati kutu. Sesaat gadis berambut lurus itu terdiam sejenak.
"Atau, jika Alina masih mau di sini, kami yang akan pergi. Yuk Ros, kita pergi sekarang?" ajak Giri manis, tangannya masih menggenggam jemari Ros dan beranjak pergi dari situ, meninggalkan Alina yang menahan marah karena merasa dipermalukan.
"Jadi bagaimana, soal pembacaan surat wasiat kapan hari?" tanya Giri setelah mereka berdua berada di dalam mobil Giri yang nyaman. Lagu Tetap dalam jiwa milik Isyana Sarasvati mengalun lembut.
"Ya begitulah ...," Ros mengangkat bahu. "Kakek memberiku villa di Jl. Kelapa, sementara Adante mendapat villa Pandanwangi, Alex dan Alina juga masing-masing dapat rumah. Sementara perusahaan yang bejibun itu juga sudah di bagi-bagi buat saudara-saudara Tante Mien. Kalau soal perkebunan aku kurang tahu rinciannya ..."
"Oh ya? Apa hanya itu?" tanya Giri.
Ros menoleh. "Maksudmu?"
Sadar dirinya keceplosan, Giri tertawa pelan. "Kamu adalah cucu kesayangan Tuan Donosepoetro. Beliau mewariskanmu villa megah itu patut disyukuri Ros. Maksudku adalah, barangkali kamu juga dapat warisan benda kesayangan kakekmu? Patung kayu, tombak, atau keris?"
Ros tertawa. "Enggak. Itu pun menurut Tante Mien, aku nggak pantas mendapatkannya. Alasannya ... ya kamu tahu sendirilah. Tante Mien merasa anak-anaknya yang paling berhak mendapat warisan paling banyak karena merasa lebih sah di mata hukum agama dan negara. Sementara aku ..."
"Kenapa?" tanya Giri. "Kamu juga kan punya ayah. Beliau juga menikahi ibumu kan?"
"Iya, itu benar. Tapi almarhum ayah menikahi almarhumah ibu, saat beliau sudah punya si Alex, putranya yang sulung ...," jelas Ros.
"Oh jadi maksudmu, Tante Mien menganggap bahwa almarhumah ibumu adalah penghancur rumah tangganya?" Giri membelokkan mobil ke jalan masuk rumah yang ditempati Ros.
"Bukan cuma almarhumah ibuku yang dianggap penghancur, bang. Aku juga ...," jawab Ros murung.
Giri tersenyum dan mengelus lengan Ros sekilas. "Kamu memang sudah tak punya orang tua. Tapi kamu masih punya aku."
Ros mengangkat wajahnya. Sepasang matanya menatap Giri dengan penuh penghargaan. "Aku tahu. Makasih ya bang ..."
"Sana masuk. Istirahat dulu, jangan sampai terlambat masuk kerja."
Ros mengangguk, lalu membuka pintu mobil. Tangannya melambai pada Giri yang kian menjauh. Ros membalikkan badan, melangkah menuju rumah megah di depannya.
Rumah nampak sepi. Mungkin penghuninya masih belum pulang semua. Yang Ros tahu, Tante Mien amat sibuk dengan aktivitasnya sebagai sosialita. Setahu Ros, Tante Mien juga memegang perusahaan keluarga. Akan tetapi sejak pembacaan surat wasit kakek, Tante Mien hanya memegang satu perusahaan. Itu pun seringkali Tante Mien absen mengecek langsung ke perusahaan. Wanita itu mempercayakan perusahaan pada anak buahnya, dan ia yang tinggal menikmati hasilnya. Kunjungan Tante Mien ke perusahaan dalam satu bulan hanya beberapa kali. Bisa jadi perusahaan itu akan dipegang oleh Alex suatu saat nanti.
Lalu Alex yang lebih sering pulang malam, Ros kadang memergoki pemuda itu dalam kondisi mabuk dan berjalan sempoyongan menuju kamarnya di lantai dua. Sedangkan Alina, nampaknya gadis itu lebih kerasan di mal daripada di rumah. Sementara Adante, si bungsu yang masih duduk di bangku SMP, lebih kalem dan nyaris tak pernah keluar rumah selain pulang pergi sekolah.
Saat akan menuju kamarnya di belakang, Ros berpapasan dengan Alex. Pemuda itu nampaknya baru bangun dari tidur siang, kentara dari matanya yang masih kemerahan dan rambutnya yang berantakan. Alex berdiri menyender di ujung anak tangga, memperhatikan Ros.
"Baru pulang?" tanya Alex.
Ros menoleh. Keningnya berkerut heran. Sejak kapan Alex mau berakrab-akrab dengannya? Mereka tidak bisa dibilang dekat meski berstatus saudara dari ayah yang sama. Ngobrol pun juga jarang, kecuali ada keperluan yang sangat penting dan sepanjang mereka bersaudara, tidak pernah ada hal yang benar-benar penting.
"Ya," jawab Ros pendek. Ia berniat melanjutkan langkah saat didengarnya lagi suara Alex.
"Kamu dianter sama siapa barusan? Om-om ya?" suara Alex terdengar geli. "Laku juga kamu ya? Kalau dilihat-lihat, makin dewasa kamu lumayan juga. Nggak jelek-jelek amat."
Ros menghentikan langkahnya dan sengaja tersenyum ke arah Alex. "Kalaupun aku laku nih ya, yang jelas aku nggak bakalan mau sama kamu!"
Alex nginyem mendengar jawaban Ros. Tak mampu mendebat. Alex masih memandangi Ros hingga gadis itu hilang di balik pintu kamarnya. Alex tidak berbohong. Ia mengakui Ros jauh berbeda dibandingkan masa kecilnya. Gadis itu tumbuh menjadi sosok yang jauh lebih cantik sekarang. Saat Ros kecil, parasnya yang menawan pun sudah nampak dan Alex tak pernah melihat Ros dengan rambut pendek. Rambut gadis itu selalu panjang, hitam tebal dan berkilau.
Alex masih ingat betul, saat Alina dan Ros masih berumur delapan tahun, mereka berdua berebut mainan. Alex tahu kalau mainan itu dari Ayahnya untuk Ros, sementara Alina dibelikan satu set pakaian dan mahkota Princess. Tapi Alina tak puas. Ia berusaha merebut mainan Ros. Mendengar keributan, Alex yang saat itu berumur dua belas tahun, berusaha menengahi.
Tentu saja ia membela Alina. Alex mendorong bahu Ros hingga gadis kecil itu jatuh tersungkur. Ros tak menangis, tapi Alex bisa melihat matanya yang bening berkaca-kaca dan menatap Alex dengan pandangan terluka. Alex menggenggam mainan di tangannya. Sebuah boneka cantik bertudung merah, yang mungkin harganya tak ada apa-apanya dibandingkan milik Alina ...
Suara pintu yang dibanting menyadarkan Alex dari lamunan. Alina berjalan menuju ruang tengah dengan wajah ditekuk.
"Kenapa?" tegur Alex.
"Sialan Ros gembel itu! Berani-beraninya dia pamer pacar dan mempermalukan aku di depan pacarnya!" sungut Alina kesal. "Aku adukan sama Mama, baru tahu rasa dia! Biar sekalian diusir dari sini!"
Alex menatap adiknya. "Kalau kau memang punya niat mengusir Ros dari rumah ini, jangan cuma omong doang!"
Alina terperangah. "Kak Alex mendukungku? Mau bantuin aku?"
"No! Itu rencanamu, resikomu, dan tanggungjawabmu. Aku capek selalu jadi orang yang bertanggungjawab atas semua kesalahanmu. Laksanakan sendiri. Aku nggak mau tahu!" Alex mendadak muak dengan isi otak Alina. Kebencian rupanya sudah mengakar di hati gadis itu. Alex pun tidak menyukai Ros, tapi tidak lantas membenarkan perilaku yang buruk kepada Ros.
Alex kembali menuju kamarnya, tidak jadi mengambil makan siang. Pemuda itu melangkah menuju lemari, dan mengeluarkan sesuatu dari tumpukan terbawah baju-bajunya. Dipandanginya benda itu. Sebuah boneka cantik bertudung merah yang masih nampak terawat.
Ya, Alex menyimpannya setelah kejadian pertengkaran Alina dan Ros. Tujuannya supaya boneka itu tak lagi menjadi rebutan. Alex mendesah pelan. Saat menatap kedua mata boneka yang besar itu, terbayang lagi sorot mata Ros yang terluka. Entah kenapa, tatapan gadis itu terasa amat menghantui dirinya ...

Komentar Buku (167)

  • avatar
    Diansw50

    novelnya bagus sat set and happy end. trims author., Krn bacaan mu yg tak membosankan telah menemaniku sepanjang hari😘😘😘😘😘

    26d

    Β Β 0
  • avatar
    SusantiSiti

    aku

    28d

    Β Β 0
  • avatar
    RaniaZahra

    bagus

    28d

    Β Β 0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru