logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Mayat Wanita Bercadar itu adalah Istriku

Mayat Wanita Bercadar itu adalah Istriku

Alibnu A.


Bab 1 Tragis

"Gak pulang, Bang?"
"Belum. Dikit lagi, saya pulang."
"Kalau gitu, saya duluan ya. Assalamualaikum." Salah seorang teman kantor menyapaku kemudian pamit.
"Iya. Waalaikumsalam. Silakan, Pak!"
Satu persatu teman kantor mulai pulang. Hari sudah sore, aku juga mulai beranjak. Satpam kantor sudah menunggu di luar, hendak mengunci kantor dan gerbang. 
Jariku seketika berhenti saat hendak menekan tombol power untuk mematikan TV. Mataku memicing, melihat berita yang sedang tayang tersebut. Entah mengapa naluriku merasakan ada sesuatu yang terbesit di sana. Pun menyuruhku untuk menonton dan mendengarkan berita itu hingga usai. 
Kenapa gemuruh di dada ini berguncang hebat. Pertanda apa ini sebenarnya. Aku masih terdiam melihat berita tersebut. 
Mayat seorang wanita ditemukan di dalam mobil. Lokasinya dekat alun-alun kota. Pakaiannya serba hitam hingga ke bawah. Aku tak bisa mengenalinya karena tertutup cadar. 
Tayangannya live di TKP. Berarti kejadiannya sedang terjadi. Sepintas, rasanya aku mengenali wanita itu, tapi ....
Rasa yang aneh di dadaku terbesit lagi. Aku mencoba menghubungi istriku. Taktahu kenapa perasaanku tidak enak hingga berniat untuk meneleponnya.
Nomor yang aku tuju tak kunjung mengangkatnya. Kuulangi berkali-kali menelepon, tetapi tak ada jawaban. Ada apa ini. 
Apa sebaiknya aku pulang ke rumah dan mengeceknya daripada diselimuti praduga yang tidak kunjung berhenti. Gegas, aku keluar dari kantor dan beranjak pergi. 
"Assalamualaikum. Sore, Pak Ayes!" Pak Hasan membukakan pintu untukku dan bersiap akan menguncinya.
"Wa'alaikumsalam. Selamat sore Pak Hasan," jawabku seraya pamit untuk pergi.
Aku memasuki mobil dan menyalakannya. Segera aku melesatkan mobil menuju rumah untuk mengecek Jannah, istriku. Semenjak tadi panggilanku lewat telepon tidak dijawab olehnya. Pikiranku makin tak menentu. Aku benar-benar khawatir.
Kurang lebih dua belas menit, aku tiba di rumah. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor, tempatku bekerja. Jadi, perjalanan tidak memakan waktu terlalu lama.
Aku keluar dari mobil kemudian memasuki rumah. Seketika, kedua anakku, Reza dan Rizki berhamburan menghampiriku.
"Papa pulang ...." teriak mereka kegirangan.
Segera, aku menunduk dan memeluk mereka. "Bagaimana kabar?" Sambil mengecup mereka satu persatu.
"Kami baik, Pa," jawab mereka bersamaan di pelukanku. Posisiku kini telah sejajar dengan mereka karena berjongkok.
Sebelumnya, aku melihat wajah mereka ceria karena kedatanganku, tetapi yang bungsu tiba-tiba terlihat lesu.
"Kalian sudah makan?" 
"Belum, Yah. Umi belum pulang dari tadi," jawab Reza yang tertua. Usianya sekitar enam tahun. Raut wajahnya berubah cemberut. Sedangkan Rizki baru berusia empat tahun.
"Umi, di mana. Kok belum pulang?" tanyaku, mulai merasa ada yang ganjil. Seketika, pikiranku kembali mengingat tentang tayangan di televisi tadi.
"Gak tau, Yah. Tadi, katanya mau ke warung sebentar, tapi belum pulang sampai sore ini. Reza lapar, Yah!" Mendengar penjelasannya, aku jadi terenyuh.
Segera, aku berdiri dan menggandeng mereka berdua ke mobil.
"Kalau gitu, ikut ayah. Kita makan di Warteg aja, ya."
"Baik, Yah." Mereka terlihat senang. Kembali aku menggendong mereka berdua ke mobil. 
Sebelum pergi, aku menyempatkan diri mengecek kamar dan semua isi ruangan dengan berlari kecil. Mungkin saja Jannah sedang tertidur di kamar atau sakit. Semua isi ruangan sudah aku periksa dan tidak menemukannya.
Aku pun memutuskan ke mobil lagi untuk mengantar kedua anakku makan. Aku juga sudah lapar karena waktu hampir malam. Makanan belum ada yang tersedia di atas meja makan.
Setelah mengajak mereka makan, aku langsung menuju alun-alun kota di mana tempat kejadian perkara tersebut berlangsung. Semoga saja belum dipindahkan ke tempat pemeriksaan otopsi mayat. 
Deru jantungku berdegup kencang ketika aku mendekati TKP. 
"Kalian tunggu ayah di sini ya. Jangan keluar dari mobil sampai ayah kembali!" Mereka mengangguk tanda mengerti instruksiku.
Aku pun berlari, tak sabar sampai ke TKP yang sudah dikelilingi oleh orang-orang dan garis polisi. Para pewarta pun tak hentinya mewartakan kabar.  
Samar-samar aku mendengar orang-orang sekeliling berbicara satu sama lain tentang mayat tersebut. Aku tidak mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, bisa kupastikan mereka tak suka dan bahkan mencibir mayat tersebut. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka.
"Mohon minggir, Pak. Tempat ini sudah dikelilingi garis polisi!" Seorang polisi memberi peringatan kepadaku dan warga yang makin ramai untuk menjauh. 
"Boleh, saya melihat mayat di dalam mobil tersebut?" pintaku.
"Anda siapa, Pak? Keluarga korban?"
"Saya hanya memastikan apakah itu istri saya? Soalnya seharian dia tidak pulang ke rumah dan ciri-cirinya sama dengan mayat wanita tersebut. Kalau boleh saya tahu, siapa nama mayat wanita bercadar itu, Pak?"
"Mayat wanita itu bernama Nur Jannah Lahwa berdasarkan kartu identitasnya. Apakah dia keluarga bapak?"
"I-tu nama istri saya, Pak?" ucapku lesu kemudian binar mataku perlahan redup.
"Istri ...! Bapak serius? Jadi mayat lelaki yang bersamanya siapa?" Tatapan mata lelaki itu membulat sempurna ke arahku.
Aku pun tak kalah terkejutnya. Raut merah di wajahku menggurat bahkan urat di dahiku terpahat bak dilukis. 
"Ma-yat lelaki! Di mana, Pak?" Jantungku menderu naik-turun. Beberapa tanda tanya berkelebat di kepala.
"Sudah dibungkus dengan kantong jenazah."
"Kematiannya karena apa, ya, Pak, kalau boleh tau?"
"Maaf, kami belum bisa memastikan kematiannya karena apa. Sebaiknya, bapak ikuti kami ke kantor polisi untuk membantu kami mengumpulkan beberapa informasi."
"Baik, Pak."
***
Bersambung ....

Komentar Buku (228)

  • avatar
    KaeriTu

    lumayan

    7h

      0
  • avatar
    ねえ

    cerita yang menarik

    8d

      0
  • avatar
    Nurul FitriResa

    bagus

    21d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru