logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Part 5

Clara berjalan menuju kedua adiknya dengan menenteng kresek putih berisi makanan padang. Mereka menyambut Clara dengan senang hati.
“Kak Clara kok baru pulang. Nana capek harus nunggu bareng kak Gibran. Dia cerewet. Nyuruh Nana buat belajar terus.”
Clara tersenyum lembut. Kemudian dia menyentuh pipi Nana pelan. Mengelus pipi adiknya yang masih terlihat mulus. Belum berjerawat sama sekali.
“Lho, memangnya kenapa? Bagus dong, kalau kak Gibran mengingatkanmu untuk belajar. Daripada tidak sama sekali kan? Itu tandanya kak Gibran sayang sekali denganmu. Dia tak mau, jika adiknya yang cantik ini mendapatkan nilai yang jelek.”
Gibran memeletkan lidahnya mengejek sang adik. Ia menang telak saat sang kakak membelanya, tak menyalahkan dirinya sama sekali. Nana hanya memanyunkan bibirnya tak terima.
“Tuh dengerin kata Kak Clara. Harusnya kau senang karena aku masih mengingatkanmu. Aku hanya menyuruhmu belajar. Bukan untuk memanjat pohon kelapa.”
Clara mulai merasa jengah mendengar celotehan kedua adiknya. Ia bertambah pusing. Kemudian ia memutuskan untuk masuk. Meninggalkan kedua adiknya yang masih berdebat ria. Ia harus segera membersihkan diri agar tak terserang demam. Pasalnya, tubuhnya begitu menggigil sekarang.
.........
Clara melamun. Ia bahkan tak menyentuh makanannya sama sekali. Biasanya, ia akan menanggapi celotehan kedua adiknya saat makan malam seperti ini. Namun tak tahu mengapa. Clara seakan tak ingin menyentuh makanannya yang sudah dingin itu.
Gibran yang melihatnya, merasa khawatir. Kakaknya itu tampak tak bertenaga. Ia terlihat sering sekali melamun akhir-akhir ini. Apa bebannya semakin berat? Entahlah. Gibran hanya berharap, beban sang kakak akan segera terangkat. Dengan ragu, Gibran membuka suara.
“Kakak kenapa?”
“Aku tak apa-apa. Hanya merasa lelah saja. Kau jangan khawatir. Kalian bergegaslah tidur. Ini sudah malam. Kakak takut kalian akan bangun terlambat.”
Nana memberi gestur hormat.
“Siap! Kak Clara juga. Aku duluan ya kak. Aku sudah merindukan kekasihku di kamar.”
“Hey, kau belum mengerjakan PRmu!” timpal Gibran.
“Aku tak perduli. Aku bisa melihat milik Cyntia besok.”
Nana menguap lebar. Merasa sangat mengantuk. Ia memilih untuk segera merebahkan dirinya ke kasur empuknya. Malas sekali kalau mengerjakan PR. Ia benci dengan buku-buku itu.
.......
Clara meringkuk bak bayi. Tubuhnya menggigil hebat. Peluh dingin menghiasi wajah cantiknya. Gemuruh petir semakin membuatnya takut. Suhu tubuhnya sangat panas. Demam.
Clara merutuki dirinya sendiri karena tak memikirkan apa yang akan terjadi jika dirinya nekat menerobos hujan. Tubuhnya memang sangat payah jika terkena air hujan. Seharusnya, ia sedikit bersabar menunggu hujan reda.
Clara melirik jam beker kamarnya. Pukul dua belas lebih tujuh belas menit. Kedua adiknya pasti sudah terlelap. Ia tak tega membangunkan salah satu dari mereka.
Clara semakin menggigil saat hujan kembali begitu deras. Ia bahkan sampai memakai jaket dan dua selimut tebal guna meredam rasa dingin. Tapi tetap saja, rasa dingin itu masih menembus menusuk kulitnya.
Clara memejamkan matanya. Pandangannya nampak berputar jika ia membuka mata.
Clara berharap, jika ia masuh bisa bangun esok hari. Ia harus mendapatkan uang lebih guna membayar hutang-hutangnya. Huft, mungkin jika sang ayah meninggal tanpa meninggalkan hutang, mungkin hidupnya akan lebih baik.
Flashback
Clara kecil sangat bahagia ketika tangan mungilnya digandeng oleh sang bibi (pengasuh) menuju sebuah rumah mewah. Rumah di depannya tampak seperti istana impian di buku yang ia baca.
Clara memasuki rumah dengan sangat ceria. Ruangan rumah ini tak kalah bagus dengan pemandangan di luar sana.
Clara melirik kedua adiknya. Gibran terlihat sangat bahagia. Ia terus berceloteh riang dengan bahasa balitanya. Sedangkan Nana, ia masih tidur di gendongan ibunya. Bayi empat bulan itu begitu lelap di pelukan sang ibu.
Clara tersenyum. Ia pasti pernah dipeluk Ibu sewaktu bayi. Tapi, yang dibayangkan Clara berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Bahkan Clara tak tersentuh sama sekali oleh sang Ibu. Clara tersenyum getir. Ia berusaha menerima segala hal yang dialaminya.
Clara selalu bertanya kepada Ana, pengasuhnya. Mengapa kedua orang tuanya memperlakukan dia secara berbeda. Namun sang pengasuh hanya menjawab bahwa orang tuanya harus memberikan perhatian kepada kedia adiknya karena mereka masih sangat kecil.
Clara mencoba memahami segala perkataan sang pengasuh. Akan tetapi otak kecilnya tak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
“Ayah, Ibu, Clara juga ingin diperhatikan seperti adik-adik.”
Ana hanya bisa menatap nyonya kecilnya sendu. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak berani mengakatan kepada sang majikan bahwa sang anak sulung membutuhkan mereka. Jika Clara tengah bersedih, Ana selalu berusaha menghiburnuya. Mengatakan kata-kata penenang yang membuat rona wajah Clara kembali.
6 years later
Clara baru saja masuk ke dalam rumah mewahnya. Ia terpaku. Melihat sang ayah sudah tersungkur di lantai dengan wajah babak belur. Ia melihat, tiga orang berbadan kekar bersedekap di depan ayahnya yang sudah terkulai lemas. Nafas sang ayah terlihat memberat. Mungkin, ia sedangn merasakan sakit yang teramat sangat.
“Saya kasih waktu kau satu bulan! Kalau kau tak memberikan uang itu, jangan harap kau masih bisa bernafas setelah itu!”
“Ba-baik. Saya akan segera melunasinya.” Ucap Ayah lemah.
Clara tak mampu berkata-kata. Nafas Clara tercekat. Ia tak habis fikir bahwa sang ayah memiliki hutang yang sepertinya sangat banyak. Pantas saja, dulu sang ayah mendadak menjadi sosok orang kaya yang sangat disegani. Padahal, sebelumnya sang ayah hanya pegawai biasa yang gajinya tak seberapa.
Setelah orang-orang itu pergi, Clara menghampiri sang ayah. Ia begitu cemas saat melihat sang ayah telah memejamkan mata sepenuhnya.
“Ayah... Bangun...”
Clara mulai terisak menyadari sang ayah tak kunjung membuka matanya. Clara menepuk pipi ayahnya pelan. Berharap agar sang ayah segera membuka matanya.
“Eunghh...”
Ayah mulai membuka matanya pelan. Ia langsung bangkit. Beranjak pergi tanpa memperdulikan Clara yang mengkhawatirkannya sedari tadi.
Clara menatap ayahnya yang melenggang pergi tanpa mengatakan apapun. Sebegitu tak terlihatkah, kehadirannya di benak sang ayah?
......

Komentar Buku (177)

  • avatar
    Ghe Thonbesy

    ceritanya seru

    18d

      1
  • avatar
    ່༺K꙰I꙰T꙰S꙰U꙰N꙰E꙰E꙰༻

    bagus

    23d

      0
  • avatar
    Ryan Garcia

    sangat bgus

    26d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru