logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Empat

"Ka-u ... kau ... apa maksudmu? Bukankah kau bilang Cio akan mencari ibunya?" tukas Vania sambil menudingkan jemari pada Kyle.
"Itu benar. Dia akan pergi mencarimu."
"Dasar pembohong. Kau bukan hanya berbohong padaku, tapi juga pada anakmu."
Kyle terbahak.
"Ibu yang ingin ditemui Cio itu adalah dirimu."
Vania menatap kesal pada pria itu dan segera bangkit berdiri.
"Aku tidak peduli lagi. Ini juga bukan urusanku. Kau yang telah berbohong, kau juga yang harus mengatakan yang sebenarnya pada Cio."
Ia kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun Kyle segera menyusul dan berjalan mendahului. Pria itu kemudian menghalanginya.
"Kau benar-benar .... Biarkan aku pergi dari sini. Aku sudah mengatakan aku tidak mau. Kau tidak akan bisa memaksaku!" geram Vania.
"Katakan saja yang kauinginkan. Aku akan memberikan semua padamu asal kau ikut denganku."
"Aku tidak mau. Aku hanya ingin pergi dari sini. Itu saja yang kuinginkan."
"Keras kepala!" tukas Kyle sambil melangkah mendekat. Sontak Vania melangkah mundur untuk menjauh dari pria tersebut. Namun Kyle dengan segera menarik Vania dalam pelukan.
"Kau harus ikut denganku!" tukas Kyle sambil mendongakkan wajah Vania dengan telunjuknya.
"Aku tidak mau!"
"Kalau kau tetap saja menolak, aku tidak punya cara lain. Aku akan menculikmu."
"Kau tidak akan berani melakukannya."
"Berani bertaruh?"
Vania diam sejenak kemudian menggeleng.
"Kau tidak akan melakukannya."
Kyle tersenyum tipis. Tepat pada saat itu pintu ruangan tersebut dibuka dari luar.
"Maaf mengganggu kalian, tapi Kyle, aku sudah melakukan yang kausuruh," ucap Ronan. Senyum di wajah Kyle makin lebar.
"Siapkan mobil, dia akan ikut dengan kita."
***
'Memangnya dia pikir dia itu siapa? Beraninya dia berbuat macam-macam. Apa dia pikir dengan begitu aku akan ikut dengannya?' ucap Vania sambil menepuk-nepuk pipinya yang masih sedikit merah. Ini semua karena Ronan yang tiba-tiba saja datang. Hal itu sungguh membuat Vania merasa canggung. Kyle melirik pada gadis yang kini berdiri di sampingnya tersebut sambil tersenyum.
"Cio tahu kau akan datang bersamaku. Dia sangat senang. Apa kau ingin mengecewakan dia dan membuatnya sedih?"
Vania balas melirik dengan geram. Kyle memang tidak menculik dia dengan paksa, tetapi ini sama saja dengan mengancam dia. Kyle tahu dia tidak akan menolak jika menggunakan Cio. Vania kemudian melihat pada pria itu sambil bersidekap.
"Menggunakan anak sendiri untuk mengancam. Apa kau tidak merasa malu?"
"Aku tidak mengancam. Aku hanya mengatakan Cio pasti akan sedih jika kau tidak datang bersamaku. Dia akan menangis berhari-hari dan matanya akan menjadi sembab. Dia mungkin juga akan mogok makan dan tidak mau keluar dari kamar, tapi ya, kalau semua itu bukan masalah bagimu, tidak apa. Aku tidak akan memaksamu untuk ikut."
"Bukankah ini sama saja?" desis Vania kesal.
Kyle kembali tersenyum lebar.
"Jadi kau mau, bukan? Ayo kita pergi sekarang!"
Vania menghela napas perlahan. Ia merasa yang sulit dihadapi bukanlah Cio, tetapi ayah dari bocah itu. Ia kemudian pamit untuk membereskan mejanya. Kyle hanya mengangguk. Vania berjalan menuju pintu. Saat tangannya memegang handel pintu, ia mendengar Kyle berkata,
"Kau pasti mau untuk ikut karena kau adalah ibu Cio. Seorang ibu tidak akan membuat sedih anaknya, benar bukan?"
Vania tidak menjawab. Ia segera keluar dari ruangan tersebut.
***
"Kau mau pergi ke mana? Kenapa berkemas?" tanya Cynthia yang melihat Vania tengah membereskan barang-barang di meja kerjanya.
"Ada hal penting yang harus kulakukan," jawab Vania.
"Hal penting apa?" tukas Kezia sambil tersenyum mengejek.
"Kau baru kembali dari ruangan Tuan Kyle dan langsung membereskan barang. Bilang saja kalau dia memecatmu."
Cynthia tertegun sambil melihat Vania dengan tatapan sedih. Vania melihat kedua rekan kerjanya tersebut bergantian.
"Aku tidak dipecat. Aku hanya harus pergi untuk melakukan hal lain yang juga penting."
"Tidak perlu berbohong. Apa kau malu karena telah dipecat?" sahut Kezia.
"Dia tidak berbohong," sahut Kyle yang telah datang ke sana. Pria itu tampak begitu menawan dengan setelan jas abu-abu yang dikenakan. Kedua tangan dia berada di dalam celana kain berwarna senada. Kyle kemudian melangkah menghampiri dengan tenang.
"Ada hal penting yang harus diurus dan aku membutuhkan bantuannya. Karena itu aku mengajaknya."
Kezia berdiri termangu saat Kyle menatap tajam padanya.
"Aku tidak akan mengajak orang yang suka cari muka dan menjelekkan orang lain."
Wajah Kezia seketika berubah pasi. Vania usai membereskan mejanya dan ia segera mencangklong tas kerja yang selalu ia bawa. Gadis itu terkejut saat Kyle meraih tangannya sambil tersenyum dan menarik ia pergi dari sana.
***
"Lepaskan aku, lepaskan!" tukas Vania berulangkali sambil berusaha menarik tangannya. Namun Kyle tetap saja memegang erat sambil berjalan menuju lift. Vania benar-benar kesal apalagi para pegawai perusahaan tersebut melihat pada mereka.
'Mana bisa aku bekerja lagi di tempat ini? Pasti akan menjadi sasaran pertanyaan mereka.'
Kyle yang berjalan di depannya tidak terlihat peduli. Pria itu menekan tombol lift dan menarik dia masuk ke dalam.
"Kau ini benar-benar keterlaluan. Aku tidak akan bisa bekerja di sini lagi," ucap Vania saat mereka berada di dalam.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau menjadi bahan gunjingan."
Kyle tersenyum menanggapi itu. Vania sendiri memasang wajah cemberut dan kembali menarik tangannya. Kali ini Kyle melepaskan begitu saja.
"Tenanglah, tidak akan ada yang berani bicara buruk tentangmu," ucapnya.
"Kau tidak tahu, kau adalah atasan, mereka tidak akan berani bicara buruk, tapi aku sama seperti mereka. Mereka pasti akan mengatakan yang bukan-bukan tentang aku."
"Yang bukan-bukan? Karena kau pergi denganku?"
Vania hanya mengangguk.
"Tenanglah, mereka tidak akan melakukannya," ucap Kyle sambil tersenyum.
"Kau ini tidak akan paham."
Lift yang membawa mereka berguncang sejenak. Hal itu membuat Vania ketakutan. Ia memegang tiang besi yang melintang pada bagian belakang lift dengan erat. Lampu kemudian juga menyusul padam. Vania makin ketakutan. Tubuh gadis itu bahkan kini gemetar dengan mata terpejam rapat.
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja," bujuk Kyle sambil menepuk bahu Vania. Vania berteriak ketakutan dan langsung memeluk Kyle dengan erat. Air mata tampak mengalir pada wajah manisnya.
"Tenanglah," bujuk Kyle lagi. Lift kemudian kembali normal dan pintu lift terbuka. Beberapa pegawai yang berdiri di depan lift melihat keduanya dengan mulut terbuka lebar. Vania yang baru sesaat menyadari itu segera menarik diri dari Kyle dengan wajah merah seperti kepiting rebus. Tanpa mengatakan apa pun, Kyle kembali meraih tangan Vania dan menarik gadis itu keluar dari lift. Mereka berjalan pergi diikuti tatapan tidak percaya dari orang-orang yang berada di sana.



Komentar Buku (160)

  • avatar
    91Eycha

    cerita yg menyentuh hati dan perasaan.tidak bosan untuk di baca

    02/07

      0
  • avatar
    BasukiDeni Irawati

    seru ! menarik !

    23/05

      0
  • avatar
    QueenWitchy

    sukses bikin emosi pembaca naik turun.

    16/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru