logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Tiga

"Kau ini mau masuk atau tidak? Sudah disuruh masuk, malah bengong saja," tegur pria yang berdiri di depan Vania. Vania tersadar seketika dan menggeleng.
"Masuklah," suruh pria yang berada di dalam lift.
"Kau bisa terlambat kalau tidak ikut dengan lift ini sekarang."
"Tidak usah, kalian pergi lebih dulu saja," ucap Vania sambil menggeleng.
"Kau ini benar-benar tidak tahu diri, ya? Tuan Kyle telah menyuruhmu masuk, tapi kau berani menolak. Pekerja sepertimu sebaiknya dikeluarkan saja," tegur pria di depan Vania. Vania kembali tertegun. Tuan Kyle? Dia pernah mendengar nama pemilik perusahaan adalah Kyle Allister. Jadi apakah pria di dalam lift adalah ...?
"Ronan, kau jangan menakuti dia," tegur pria di dalam lift ke pria yang berdiri di depan Vania.
"Kalau memang tidak mau, kita tidak perlu memaksa. Tutup saja pintunya."
Pria bernama Ronan mengangguk dan segera menekan tombol lift. Pintu perlahan mulai menutup. Vania tersadar dan segera menahan pintu dengan tangan kanannya.
"Tunggu sebentar, aku ikut dengan kalian."
***
'Aku tidak peduli lagi. Aku tahu ini memalukan. Aku juga begitu berharap tidak bertemu lagi dengannya, tapi aku juga tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Jika terlambat, aku mungkin akan dapat peringatan. Catatanku akan menjadi buruk, poinku akan berkurang, dan terakhir aku akan dikeluarkan,' gumam Vania dalam hati. Ia sedikit terkejut saat Kyle menjentikkan jari di depannya.
"Kita sudah sampai di lantaimu," ucapnya. Vania melihat pada angka lima yang menyala merah pada dinding samping lift dan pintu yang terbuka lebar. Dengan terburu, ia bergegas keluar. Vania berbalik dan pintu lift telah menutup. Angka lift telah bertambah. Vania menghela napas lega. Ia berharap tidak lagi bertemu Kyle.
***
"Gimana? Tuan Kyle cakep banget, kan?" tanya seorang gadis yang meja kerjanya bersebelahan dengan tempat Vania. Gadis berambut hitam lurus tersebut bernama Cynthia Asako. Seperti penampilan dan namanya, Cynthia memiliki darah Jepang dalam dirinya. Vania hanya diam saja menanggapi pertanyaan itu. Jika ditanggapi, ia mungkin malah menjadi bahan gosip dari rekan-rekan kerjanya.
"Sebenarnya aku betah kerja di sini juga karena dia. Jika bisa melihatnya, aku merasa hari-hariku sungguh sangat indah," ucap Cynthia dengan tatapan menerawang dan bibir tersenyum manis. Ia kemudian melihat lagi pada Vania.
"Tapi aku tidak seberuntung dirimu, kau bahkan bisa berada satu lift dengannya. Pasti sangat menyenangkan bisa melihat dia dari dekat."
"Aku tidak merasa ada yang luar biasa satu lift dengannya, kau terlalu berlebihan menanggapi," sahut Vania.
"Kau ini, kau pasti belum tahu. Tuan Kyle adalah pemilik perusahaan. Selama ini, tidak ada yang dibolehkan berada satu lift dengannya. Kau adalah satu-satunya yang bisa melakukannya. Jangan-jangan dia memang tertarik padamu?"
"Jangan bicara sembarangan, tidak ada hal seperti itu. Aku bahkan tidak mengenal dia. Sudahlah, jangan bergosip lagi."
"Lagipula yang kaukatakan juga tidak masuk akal. Tuan Kyle telah memiliki kekasih dan dia sangat cantik. Mana mungkin dia tertarik pada gadis seperti Vania?" sahut seorang gadis lain yang berambut pirang kecoklatan. Gadis itu bernama Kezia, sifatnya agak angkuh dan suka bermanis-manis di depan atasan. Karena itu banyak yang tidak menyukainya. Kezia sendiri juga tidak suka dekat dengan yang lain. Vania menduga mungkin bagi Kezia, para pekerja lain adalah saingan dia dalam pekerjaan.
"Tidak ada yang tidak masuk akal. Tuan Kyle juga memiliki hati dan perasaan, ia bisa saja tertarik pada Vania," kilah Cynthia. Kezia tertawa mengejek sambil melihat sekilas pada Vania.
"Gadis tidak menarik sepertinya bisa menarik perhatian Tuan Kyle? Jangan mimpi ketinggian!"
Baru saja ia selesai mengatakannya, Ronan datang ke tempat kerja mereka dan menyuruh Vania untuk menemui Kyle. Kini ganti Cynthia yang tertawa sambil meleletkan lidah pada Kezia yang seketika memasang wajah cemberut.
***
Vania kini berdiri di depan Kyle. Kyle sendiri tengah duduk di balik meja kerjanya. Sebuah laptop terbuka di depannya dan ia sibuk bekerja dengan itu. Sekian menit berlalu dan Kyle masih belum juga mengatakan apa pun pada Vania. Pria itu juga tidak melihat sedikitpun pada Vania.
"Apa kau sedang mengawasiku?" tanya Kyle yang masih tetap menatap lurus pada layar di depannya.
"Apa maksudmu? Bukankah kau yang memanggilku, ... Tuan?" Vania balas bertanya. Sempat terjeda karena ia lupa bahwa Kyle adalah pemilik perusahaan.
"Aku memang memanggilmu, tapi tidak menyuruhmu berdiri di depanku."
"Lalu? Apa maksudmu kau menyuruhku menunggu di luar?" tanya Vania sambil menunjuk pada pintu. Kyle menggeleng sambil tertawa. Tawa itu terdengar bahkan begitu merdu sehingga membuat perasaan Vania kembali gundah. Ia tidak ingin bertemu Kyle, ia tidak ingin merasa tertarik pada pria angkuh dan tukang perintah, tetapi semua keinginannya itu tidak terkabul. Kyle bahkan adalah pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Itu artinya mau tidak mau Vania pasti akan bertemu dengan pria itu.
Kyle mengendikkan kepala ke arah kursi di depannya mengisyaratkan agar Vania duduk. Gadis itu segera menurut. Kyle menghentikan yang ia kerjakan dan melihat pada Vania sambil bersandar pada kursi.
"Pakaian yang kubelikan kemarin, kenapa kau tidak memakainya?" tanya Kyle setelah beberapa saat.
"Pakaian itu terlalu bagus dan mahal. Aku merasa tidak enak memakainya. Kurasa aku akan mengembalikan ke toko."
"Aku telah membelikan untukmu."
"Aku berterima kasih untuk itu, tapi aku sudah mengatakan aku tidak memerlukannya."
Vania berdehem sejenak.
"Pakaian itu adalah milikku sekarang. Apa yang kulakukan padanya, itu semua terserah padaku, bukan?"
"Kau tetap saja tidak berubah," gumam Kyle nyaris tidak terdengar. Namun hal itu cukup membuat Vania terkejut. Ia melihat seksama pada Kyle untuk beberapa saat. Pertanyaan apakah ia mengenal Kyle sebelumnya berkecamuk dalam benaknya, tetapi ia kemudian menggeleng.
'Tidak, aku tidak pernah mengenal dia, tapi mengapa ia bersikap seperti telah mengenalku? Apakah hanya dari pertemuan kami kemarin?'
"Cio terus saja bertanya tentang ibunya. Ia berkata jika aku tidak mau mencari, dia akan mencari sendiri," ucap Kyle mengalihkan kembali pikiran Vania pada pria itu.
"Kalau begitu, kau harus segera menemukan ibunya. Cio begitu merindukan dia. Mungkin Cio benar-benar akan mencari sendiri."
Kyle tersenyum tipis.
"Aku tidak melakukannya, meski begitu aku telah berhasil menemukan dia."
"Baguslah jika seperti itu."
"Bahkan jika dia berencana kabur, dia tidak akan bisa melakukannya. Aku tahu alamat rumah dan tempat dia bekerja."
Vania hanya mengangguk. Ia membayangkan ibu Cio mungkin telah pergi dengan susah-payah dari pria itu, tetapi kini malah ditemukan dengan mudah.
'Sudahlah, mungkin nasib dia memang tidak beruntung,' gumam Vania dalam hati.
"Jadi apa kau mau ikut denganku untuk bertemu Cio?" tanya Kyle.
"Untuk apa? Cio pasti ingin segera bertemu ibunya."
Kyle menyeringai.
"Karena itu kau harus ikut. Karena kau adalah ibunya Cio."











Komentar Buku (160)

  • avatar
    91Eycha

    cerita yg menyentuh hati dan perasaan.tidak bosan untuk di baca

    02/07

      0
  • avatar
    BasukiDeni Irawati

    seru ! menarik !

    23/05

      0
  • avatar
    QueenWitchy

    sukses bikin emosi pembaca naik turun.

    16/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru