logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Dua

Vania menghela napas panjang. Ia melihat sejenak bayang dirinya di cermin.Baju terusan tersebut terlihat indah membalut tubuhnya dan nyaman dikenakan.
'Aku menarik ucapanku, pria yang suka main perintah sungguh tidak menyenangkan,' ucapnya dalam hati. Vania tidak memiliki pilihan, selain menuruti permintaan pria tersebut. Setelah menyuruhnya keluar, barulah Vania berganti pakaian.
"Apa kau sudah selesai?" tanya pria yang menunggunya di luar tersebut. Vania mendengkus keras.
'Kalau begitu tidak bersabar, mengapa memaksanya mencoba pakaian-pakaian itu?'
Vania berjalan keluar dan memperlihatkan pakaian yang dikenakan tersebut.
"Bagus," gumam pria itu sambil menopang dagu. Matanya tidak lepas melihat Vania dari atas ke bawah. Meski begitu, raut wajahnya terlihat datar, sehingga pujian yang dilontarkan tidak terlihat tulus.
"Baiklah, kita ...."
"Coba yang lain!" potong pria itu cepat. Vania mengerutkan kening, tetapi ia tahu dirinya tidak mungkin menentang pria tersebut. Vania menghela napas perlahan dan kembali masuk ke ruang ganti.
***
"Bagus." Ucapan singkat dan datar itu kembali terlontar dari bibir pria tersebut. Ini adalah telah kesekian kali Vania memperlihatkan pakaian yang ia coba dan hanya kata-kata itu yang terucap.
'Sabar, Vania, sabar,' gumam Vania dalam hati. Vania kembali masuk ke kamar ganti. Ia melihat pakaian yang akan ia coba tinggal dua helai lagi, iapun tersenyum kecil. Masalah akan segera usai. Namun, tepat setelah ia memikirkan itu, setumpuk pakaian kembali diantar padanya. Vania tidak lagi bisa menahan diri. Ia bergegas keluar dan menghampiri pria yang masih menunggunya tersebut.
"Apa sih yang sebenarnya kauinginkan?" tanya Vania sambil menatap tajam dan tangan bertolak pinggang.
"Aku hanya ingin membayarmu karena menemani Cio," jawab pria tersebut tenang.
"Baiklah, meski sebenarnya tidak perlu, aku masih bisa menerima alasanmu itu, tapi tidak dengan pakaian yang begitu banyak. Kau mau aku mencoba semua pakaian di toko ini."
"Tidak perlu khawatir, mereka juga senang karena aku akan membeli semua pakaian itu."
"Apa katamu?" tukas Vania dengan mata membeliak lebar.
"Apa kau sudah tidak waras? Kenapa ...?"
"Kau terlihat bagus memakai semua pakaian itu, jadi aku putuskan untuk membeli semua."
"Kau ...!" geram Vania sambil menudingkan jemari.
"Apa yang sebenarnya kauinginkan? Kau pasti berniat tidak baik."
"Aku sudah mengatakan semua ini adalah untuk membayarmu."
"Aku tidak mau menerima," tukas Vania sambil bergegas. Namun pria tersebut mencekal erat pergelangan tangannya.
"Lepaskan aku!" desis Vania geram. Ia tidak ingin membuat keributan karenanya ia tidak bersuara dengan keras. Itu saja telah membuat semua orang kini melihat pada mereka.
"Kau harus menerimanya!" sahut pria tersebut.
"Aku bukan pelayanmu. Kau tidak berhak memerintahku!" gusar Vania tidak mau mengalah. Ia berusaha melepaskan tangannya dari cekalan, tetapi pria tersebut justru menarik dia. Vania kini berada dalam rengkuhan pria tersebut. Lengan kokoh pria itu melingkari pinggang rampingnya. Wajah Vania sontak kembali memerah.
"Kau ... Dasar kurang ajar! Lepaskan aku sekarang!" desis Vania. Jantungnya berdegup keras karena wajah pria tersebut kini begitu dekat dengannya.
'Kendalikan dirimu, Nia. Dia memang suka bersikap seperti itu. Mau sampai kapan kau akan terus seperti ini saat berada di dekatnya?' tegur suara hatinya.
"MOM, DAD!" panggil sebuah suara. Vania dan pria yang masih memeluknya tersebut sontak menoleh. Mereka melihat Cio yang berlari menghampiri.
"Kalian sudah berbaikan? Aku senang sekali," ucapnya sambil menghambur memeluk pinggang keduanya.
Orang-orang yang melihat kemudian berlalu pergi. Ternyata hanya pertengkaran biasa suami istri, itulah yang terbersit dalam benak mereka.
***
"Mom, kenapa pulang ke sini? Kau tidak pulang dengan kami?" tanya Cio pada Vania. Mobil yang mengantar kini berhenti di depan rumah Vania. Cio pula yang memaksa mengantar, meski sebelumnya Vania sempat ingin pulang dengan taksi. Ia tidak ingin lagi berlama-lama dengan ayah bocah lelaki tersebut.
"Mommy-mu masih marah pada Daddy. Ia tidak mau pulang," sahut pria yang duduk di balik kemudi tersebut.
"Tapi nanti Mommy akan pulang, kan?" tanya Cio dengan suara terdengar kecewa.
"Tentu saja, saat dia tidak marah lagi, dia pasti pulang."
"Ini semua salah Daddy," tukas Cio sambil melipat tangan dengan wajah cemberut.
"Kalau tidak, Mom pasti masih tinggal dengan kita."
"Daddy telah minta maaf, tapi ...." Mata pria tersebut melirik ke arah Vani melalui spion depan mobil. Vania berdehem sejenak sambil tersenyum kecil. Ia kemudian membelai rambut Cio.
"Mom masih merasa sedikit kesal, jadi Mom tinggal di sini dulu," bujuknya.
"Jadi kalau Mom sudah tidak kesal, apa Mom akan tinggal lagi dengan kita?" tanya Cio dengan mata kembali berbinar. Hanya ingin menyenangkan bocah tersebut, jadi Vania mengangguk saja. Vania kemudian pamit dan segera keluar dari mobil. Cio berniat ikut dengannya, tetapi sang ayah segera melarang.
"Mom masih kesal sekarang. Kita tinggalkan sendiri dulu. Kau tahu dia sangat buruk saat marah. Saat tidak marah lagi, ia pasti kembali tinggal dengan kita."
Cio terlihat tidak senang, tetapi karena ayahnya terus melarang, ia hanya bisa setuju saja. Setelah beberapa saat, mobil berwarna hitam tersebut kemudian melaju pergi. Vania menghela napas perlahan. Ia tidak berharap akan bertemu mereka lagi.
***
Baju yang dibeli telah diantar ke rumah Vania. Gadis itu hanya bisa menggeleng melihat tumpukan pakaian yang kini memenuhi tempat tidurnya. Ia bahkan tidak akan pernah mengenakan, tetapi pria tersebut tetap saja membeli. Vania berpikir sejenak, ia mungkin akan mengembalikan pakaian-pakaian itu ke toko.
Vania menggeleng. Ia akan mengurus itu nanti. Sekarang telah waktunya ia untuk segera bersiap jika tidak ingin terlambat bekerja.
Pagi tersebut hari tampak begitu cerah. Tanpa ragu, Vania bergegas menuju ke tempat ia bekerja. Itu adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Mereka membuat iklan dari produk-produk yang diluncurkan pelanggan. Vania bertugas untuk merancang ide dan konsep dari iklan yang akan dibuat. Ini adalah hal baru bagi Vania, tetapi ia sangat bersemangat dengan pekerjaan tersebut.
"Permisi, permisi," ucap Vania yang setengah berlari. Ia baru saja tiba di gedung perusahaan yang besar dan mewah tersebut. Waktunya telah mendesak. Ia bergegas menuju lift untuk segera sampai di lantai lima, tempat kerjanya.
"Apa kau tidak tahu aturan?" tegur seorang pria yang segera menghadang Vania di pintu masuk lift. Vania mengerutkan kening tidak mengerti. Lift tersebut tampak kosong. Hanya ada pria di depannya itu dan orang satu lagi di dalam lift.
"Maaf, tapi aku ...."
"Biarkan dia masuk," ucap orang di dalam lift. Vania tertegun, suara itu terdengar cukup familiar. Segera ia berusaha melihat dan mulutnya menganga dengan mata membeliak lebar. Pria di dalam lift melepas kaca mata hitamnya dan tersenyum. Dia adalah ayah Cio, pria yang paling tidak ingin ditemui lagi oleh Vania.




Komentar Buku (160)

  • avatar
    91Eycha

    cerita yg menyentuh hati dan perasaan.tidak bosan untuk di baca

    02/07

      0
  • avatar
    BasukiDeni Irawati

    seru ! menarik !

    23/05

      0
  • avatar
    QueenWitchy

    sukses bikin emosi pembaca naik turun.

    16/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru