logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Handuk Yang Pasrah

Bintang sama sekali tidak terlihat malam itu. Langit terlihat terang seperti biasanya karena cahaya lampu dari puluhan gedung bertingkat memenuhi ruang angkasa.
Zoya duduk di depan laptop dengan mengerjakan desain sekolah impiannya. Gadis itu sering bekerja sebagai pengajar sukarela di berbagai sekolah luar biasa.
Berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus adalah kebahagiaan yang ia dapat dari dimensi lain. Saat bersama mereka, seolah-olah hidupnya mengalir deras seperti air, menghujam dan berpisah saat bertemu batu, dan menyusup ke setiap celah. Ringan, begitu gambaran yang tepat untuk perasaannya.
Zoya Foundation adalah proyek impian yang ia simpan sendiri. Ia ingin membangunnya nanti dengan uang hasil kerja kerasnya. Entah akan bekerja sebagai apa, tetapi niatnya sangat kuat untuk itu.
Di saat senggang—sebenarnya Zoya punya banyak waktu senggang—ia akan merancang bangunan dan mengetik apa saja yang ingin ia lakukan di sekolah itu.
Ia tersenyum bahagia walaupun belum tahu kapan sekolah itu akan ia bangun.
Gadis yang duduk di balkon kamarnya itu tidak menyadari kalau tetangganya diam-diam tersenyum melihat wajahnya yang terang karena pantulan lampu laptop. Pria itu mencoba mencari tahu tentang Zoya dari media sosial.
Tidak susah untuk menemukannya karena Alan sudah bertanya pada pelayan di rumah itu tentang gadis yang menjadi tetangganya.
Alan yang sedang memperhatikan Zoya, teralihkan perhatiannya karena sebuah ketukan di pintu. Pria itu beranjak dan bertanya siapa yang mengganggunya.
"Mama!" teriak suara di balik pintu.
Setelah Alan membuka pintu, benar saja sang ibu sudah berdiri dengan menyilangkan tangan di dada.
"Kamu tidak pulang?" tanya ibunya dengan menaikturunkan alis beberapa kali.
"Tidak. Alan mau tinggal di sini mulai sekarang."
Wanita bernama Hana itu masuk ke kamar sang anak yang selama ini tidak pernah ditempati. Pria itu selama ini selalu menolak saat disuruh tinggal di rumah mewah itu dengan alasan terlalu norak tinggal di rumah. Karena baginya, apartemen lebih modern untuk zaman sekarang.
"Tinggal di rumah norak ini?" Hana meletakkan punggung tangannya di kening sang anak. "Tidak panas."
"Ayolah, Ma. Alan sudah berubah pikiran dan besok barang-barang yang penting akan datang."
"Tapi … Mama masih curiga. Ada apa?"
"Ya … semua orang punya masanya sendiri untuk berubah pikiran," jawab pria itu sok bijak.
Hana menghela napas dan mencoba memahami apa yang dikatakan putra sulungnya. Ya, walaupun ia sama sekali tidak mengerti alasan sang anak berubah pikiran.
Wanita keturunan timur tengah itu memeluk Alan yang tubuhnya lebih tinggi darinya. "Mama bahagia sekali kalau kamu tinggal di sini. Sekarang kalau Mama sedang sedih, Mama tau harus memanggil siapa saat di rumah."
Raut bahagia yang tadi mematri wajah wanita paruh baya itu, kini mendadak berubah menjadi muram. Ia teringat akan mendiang suami dan anak bungsunya yang meninggal karena kecelakaan pesawat.
Di rumah itu ia hanya tinggal sendiri sejak membelinya. Alan yang memiliki apartemen di dekat kantornya pun selalu menolak untuk tinggal bersama.
Sifat terlalu mengatur dari ibunya itu pun menjadi alasan untuk Alan seakan-akan tidak ingin bersama ibunya dalam waktu yang lama.
"Mama tenang saja. Sekarang kita bisa bertemu di kantor dan di rumah. Tapi, tolong jangan usik bisnis sampingan Alan. Bagaimana? Deal!"
Alan mengulurkan tangannya dan menunggu sang ibu untuk menyambut. "Deal!" jawab Hana lantang meskipun ia ragu.
***
The Simp's Club selalu ramai seperti biasa. Tempat Alden dan Alan bertengkar itu sudah menjadi tempat nongki favorit anak nakal kelas atas.
Alden duduk di sofa memandangi para penari yang meliuk-liuk di tiang yang hanya menggunakan pakaian dalam seperti tali-temali. Kalau saja kemarin minuman itu tidak tumpah, pasti ia sudah melihat Zoya meliuk-liuk meminta "diobati".
Seorang wanita berjaket kulit hitam dan memakai rok mini menghampirinya dan memberikan kecupan singkat di bibir pria itu.
"Bagaimana kemarin? Sukses? Kau bahkan sampai tidak mengabariku," cecar wanita itu di sela-sela alunan musik.
Alden hanya mendelik ke arahnya sambil tetap menghisap rokok filternya. Matanya kembali memandang wanita malam yang sedang bekerja.
"Sepertinya kau gagal. Aku bisa melihat semua di wajahmu."
"Diamlah, Bela. Kalau kau hanya ingin mempercepatku menua, lebih baik pergi saja!" usirnya.
"Bukan begitu. Aku hanya ingin tas edisi terbatas yang dimiliki Zoya. Aku melihatnya kemarin memakai itu dan kau malah gagal membuatnya masuk ke kamar itu."
"Aku bahkan tidak memperhatikan tas yang kau maksud."
Bela merasa kesal dengan kekasihnya itu dan bersiap hendak pergi. "Kalau kau tidak bisa membelikannya untukku, setidaknya kau berusaha mendapatkannya walaupun dengan cara sedikit kotor."
Akan tetapi, tangan Bela ditarik oleh Alden dan membuatnya terduduk di paha pria itu.
"Aku sudah menemukan apartemen untuk sebulan. Kemasilah pakaianmu dan tinggal bersamaku."
"Dari mana kau dapat uangnya?"
"Aku mendapat fasilitas itu karena memenangkan event dan itu milik bos tempat ini. Tadi ada games kecil di sini. Minggu depan pemilik itu akan mengosongkan tempat. Kita bisa tinggal di sana dengan layak, walaupun cuma sebulan."
"Benarkah?" tanya Bela semringah.
"Tidak ada untungnya berbohong sekarang. Kita hanya perlu memikirkan cara bagaimana bisa menjebak Zoya lagi. Aku muak dengan si lugu itu."
"Tenang saja, Sayang. Aku akan mengaturnya."
***
Sakti baru kembali ke rumah saat tengah malam. Ia yang disambut oleh Sari dengan dingin di pintu masuk dan melewati wanita itu begitu saja.
Melihat sikap Sakti, Sari kembali murung. Ia segera membuat teh hangat dan mengantarnya ke kamar suaminya itu.
"Minumlah!" titahnya pada pria yang tengah merebahkan tubuh di kasur.
Sari memperhatikan wajahnya yang kelelahan, lalu mendekat. Tangannya perlahan mengusap rambut suaminya dengan lembut. Namun, segera tangan itu ditepis oleh pemiliknya.
"Jangan sentuh!"
"Baiklah kalau kau masih marah. Tapi, segeralah mandi. Aku akan menyiapkan makan malam. Setelah itu istirahatlah."
Sari melangkah meninggalkan kamar itu. Ia berharap suaminya menahannya agar tidak pergi, lalu mereka bisa berbincang walau sebentar. Namun, sepertinya itu hanya angan-angan saja baginya saat ini. Ia harus sadari diri, status istri bukan berarti menggeser status pelayan yang disandangnya.
"Apa pedulimu?" tanya Sakti saat ia membuka pintu untuk keluar.
"Karena kau … sudahlah. Itu tidak penting. Tidak ada alasan mendesak untukku harus peduli. Ini hanya dorongan naluri."
"Apa aku tidak dianggap suami lagi saat ini?" Sakti masih dengan matanya yang terpejam bisa menaksir kalau lawan bicaranya sedang berada di dekat pintu.
Sari bergeming. Harusnya ia yang bertanya tentang itu. "Istirahatlah," titahnya lagi, lalu benar-benar pergi meninggalkan kamar sakral itu.
Wanita itu pikir kemarin suaminya hanya bercanda. Namun, setelah mendapat perlakuan sedingin es saat pagi dan malam itu, ia cukup kecewa.
Sari pun tak menampik kesalahannya. Ia menerima dengan lapang hati untuk setiap sikap dingin itu.
Wanita itu segera memasak seporsi spaghetti carbonara dan membangunkan Yuna, teman pelayannya untuk mengantar ke kamar Sakti makanan yang ia buat dengan cinta yang terluka.
"Aku mengantuk sekali, Sari. Kenapa tidak kau antar sendiri?" tolak Yuna sambil mengusap-usap matanya yang dipaksa menyala saat tengah tertidur.
"Aku … juga mengantuk," jawabnya ragu.
"Berarti kita sama. Tidak akan ada bedanya makanan itu diantar olehku atau kau. Sudahlah, pergi sana."
Sari belum siap jika harus diperlakukan lagi dengam dingin. Namun, ia tidak ingin makanan itu menjadi dingin sebelum terhidang.
Dengan berat hati ia pun mendatangi lagi kamar itu. Ia masuk perlahan sambil memanggil. Tidak ada seorang pun didapati di sana.
Klik!
Pintu kamar mandi terbuka dan Sakti muncul dengan handuk melilit bagian bawah tubuhnya. Ia berjalan sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
"Makanlah selagi hangat," ucapnya, lantas bergegas pergi karena tidak kuat melihat pesona Sakti yang benar-benar sakti saat bertelanjang dada.
"Aku tidak lapar. Bawa lagi keluar atau buang saja."
Mendengar itu, amarah di hati Sari pun terpantik.
"Apa salahnya kau makan sedikit? Aku sudah susah payah membuatnya."
"Bukankah itu memang tugasmu?"
Kembali Sari tertampar dengan perkataan itu. Benar, ia harus sadar kalau itu pekerjaan pelayan bukan istri di mata Sakti.
Air mata wanita itu mendadak memenuhi pelupuk matanya. Lekas ia menyeka dengan lengan baju agar tidak jatuh membasahi pipi. Lalu, beranjak mendekati piring itu lagi.
"Aku akan buang ini."
Sari meraih piring itu daan meletakkan lagi ke atas nampan. Namun, tiba-tiba tangannya kaku saat dua lengan kekar merangkul pingganya dari belakang.
Wanita itu semakin terperanjat saat ia melihat handuk yang menutupi tubuh Sakti, kini tergeletak di lantai.

Komentar Buku (323)

  • avatar
    ZahiraUlvia

    bagus

    2d

      0
  • avatar
    slayyymira

    bagus aku sangan menyukai cerita inii🤩

    7d

      0
  • avatar
    PnkAura

    aplikasi ini sangat bagus

    12d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru