logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Tumpahan Anggur di Atas Rasa Kecewa

Sari melihat Sakti sedang berada di dapur. Malam itu sudah cukup larut dan jam dinding menunjukkan pukul 01.25.
Pelayan itu berjalan berjinjit agar tidak ada suara yang ditimbulkan oleh langkahnya. Setelah berada di dapur, ia melihat ke sekitar guna memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya.
Lalu, ia semakin mendekat pada Sakti. Tinggal dua langkah lagi, ia dikejutkan oleh suara pria itu. "Apa aku ini rusa yang bisa kau terkam kapan saja?"
Pria yang sedang menyeduh teh hangat itu tidak menoleh ke belakang sama sekali. Hal itu membuat Sari kesal karena selalu ketahuan saat akan mengagetkannya.
"Astaga … macanku. Bukankah aku yang selalu kau terkam?" Pelayan yang seumuran dengan Zoya itu melingkarkan tangannya ke pinggang Sakti.
Pria itu pun membalikkan tubuh sehingga wajah mereka pun sangat dekat. Sakti memberikan quick kiss di bibir Sari, lalu berkata, "Aku sedang ingin menerkam malam ini. Ayo kita ke kamar," ajaknya dengan tangan kanan menggenggam tangan sari dan tangan kiri menggenggam piring tatakan cangkir.
Akan tetapi, Sari menahannya agar tetap berada di dapur. "Aku ingin bicara sesuatu."
"Apa?"
"Tentang Zoya."
Sakti pun menghela napas setelah mendengar nama adiknya yang menjadi trending topik seharian ini.
"Biar saja. Nanti juga kami berbaikan."
"Tapi … bukankah dia sudah 24 tahun? Apakah tidak sebaiknya kamu memberinya sedikit kelonggaran? Kasihan dia menangis semalaman ini," bujuk Sari berharap pria yang dicintainya itu mampu mecairkan hatinya yang beku.
"Kalau dia ingin membangun hubungan dengan seorang pria, berarti dia harus menikah. Aku tidak ingin adikku digagahi pria hidung belang yang pintar membujuk gadis polos, lalu meninggalkan setelah bosan."
Mereka berbicara sambil berbisik. Ingin sekali rasanya hubungan mereka normal seperti orang-orang. Namun, perbedaan lingkaran pergaulan membuat mereka memilih untuk merahasiakannya.
"Tapi, kita juga awalnya pacaran sebelum kau datang ke kampungku dan berlutut di hadapan bapak dan memintaku menjadi istrimu," ujar Sari mencoba mengingatkan perjalanan cinta mereka.
"Iya, waktu kita pacaran dan hanya sekali aku menciummu. Setelahnya, aku tidak tahan lagi untuk berbuat lebih jauh, makanya aku mendatangi bapak.
Aku mencintaimu, Sari. Makanya aku tidak mau merusakmu. Makanya aku juga tidak mau Zoya dirusak oleh pria manapun. Kalau itu terjadi, lebih baik aku mati saja. Melindungi satu adik perempuan saja tidak becus."
Wanita yang hanya setinggi dada Sakti itu menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi pria itu.
"Suamiku memang hebat, tapi tidak semua orang pacaran itu akan tidur bersama. Ingatkan pada Zoya kalau dia tidak boleh melakukan itu. Aku yakin dia pasti bisa mengerti dan menjalaninya.
Kasihan dia. Dia hanya butuh seseorang untuk memperhatikannya di luar sana."
"Aku dan Papa sudah cukup perhatian dengannya. Apalagi, Mama. Kenapa dia harus mencari perhatian di luar sana?" protes Sakti.
Sari pun menyerah membujuk suaminya dan berniat meninggalkan pria itu di dapur sendirian.
"Lebih baik aku pergi saja. Aku lelah, apalagi berdebat denganmu."
"Ya sudah," jawab Sakti enteng, lalu menyeruput tehnya.
Sari pun semakin kesal karena merasa suaminya sangat tidak peka membiarkannya pergi begitu saja.
"Harusnya dia menahanku. Dasar!" rutuk wanita itu, lalu melangkah menuju kamarnya yang berada di ruangan paling belakang.
Wanita itu membuka pintu kamar dengan kesal dan hendak membanting untuk membuatnya tertutup. Lalu, tiba-tiba pintu itu di tahan oleh seseorang yang membuatnya sangat terkejut karena dari tadi tidak ada orang lain di dekatnya.
***
Zoya duduk bersandar di pinggir ranjangnya. Matanya menatap kosong ke dinding di depannya. Kamar yang sangat girly dengan cat warna merah muda itu terasa hampa baginya.
Sebuah bunyi notifikasi dari ponselnya membuat gadis itu terpaksa membuyarkan lamunannya.
"Ayo ke Simp's Club. Di sini ada Alden."
Zoya segera menelepon Bela yang baru saja mengirim pesan. Namun, telinganya mendadak sakit karena sahabatnya itu berbicara sambil berteriak.
"Apa kau berkata benar?"
"Iya. Ayo cepat. Dia sepertinya menunggumu. Apa kalian ada janji?"
"Tidak ada. Baiklah aku ke sana."
Gadis itu segera bersiap dan memilih pakaian terbaik untuk dikenakan ke tempat hiburan malam itu. Ia hanya sesekali pernah ke sana bersama Bela. Kali ini ia merasa sangat gugup karena untuk pertama kalinya akan menghampiri sang pacar.
Setelah membongkar setengah isi lemarinya, akhirnya pilihan Zoya jatuh pada mini dres yang sangat memperlihatkan bentuk tubuh. Ia pun berdandan dengan make up tipis dan membiarkan rambut panjangnya terurai menutupi punggung yang terbuka.
Dari kamar, gadis itu memesan sebuah taksi online dan keluar dari rumah dengan mengendap-endap. Setelah berhasil pergi, gadis itu merasa sangat bahagia. Karena selama ini belum pernah ia merasa sebebas ini.
Di dalam taksi, Zoya terus memperhatikan kendaraan di belakang taksinya. Ia takut kalau saja Sakti mengetahui kepergiannya dan membuntuti. Namun, setelah ia perhatikan banyak kendaraan, tidak ada satu pun yang mencurigakan.
Zoya akhirnya berhasil memasuki area klub malam itu. Suasana berisik dan gemerlap membuatnya terkagum-kagum. Seperti hendak merayakan kebebasan, Zoya mencari sahabat dan kekasihnya dengan mengedarkan pandangan.
Bela segera bersembunyi saat melihat sahabatnya datang dan meninggalkan kekasihnya sendirian. Karena sebenarnya Alden dan Albert adalah orang yang sama
Gadis bertubuh tinggi semampai itu melihat Alden sedang sendirian di meja. Di hadapannya ada dua gelas piala dengan botol minuman beralkohol warna hitam.
Alden menyadari ada seseorang menghampirinya dan itu adalah sang kekasih. Gegas ia menghampiri dan memeluk seolah-olah terlalu banyak rindu yang harus ditumpahkan.
"Kenapa gelasnya ada dua?"
"Tadi aku ketemu Bela. Katanya, dia menyuruh bidadariku datang. Makanya aku menyiapkan minuman selamat datang," ujarnya dengan suara bariton yang membuat Zoya tersipu.
Pipinya yang memakai perona merah muda, semakin merona karena tersipu. Garis senyumnya tertarik malu-malu dan itu pertama kalinya ia berada di klub malam dengan seseorang yang berstatus kekasih.
"Mau turun?" ajak Alden dengan telapak tangan kanan terbuka menunggu kekasihnya menyambut uluran tangan itu.
"Sebentar." Zoya bersiap menenggak anggur itu dengan perasaan berdebar karena selama ini ia hanya meminum cocktail saat di klub.
Akan tetapi, seorang pria berjaket hitam dan memakai topi tiba-tiba datang menyenggol gelasnya hingga jatuh dan pecah.
Alden yang melihat kejadian itu langsung tanggap memarahi si pria yang teledor.
"Maaf, Nona, aku tidak sengaja," ujar pria itu sambil menunduk sehingga wajahnya tidak bisa terlihat jelas.
Zoya pun ikut merasa kesal karena salah satu momennya menjadi rusak. Percikan anggur itu pun mengenai bajunya di bagian perut.
Pria berjaket hitam itu segera mengelap dress Zoya dengan tangannya. Namun, Alden segera menepis tangan itu.
"Jauhkan tangan kotormu dari gadisku!" serunya berang.
Pria itu segera menghentikan gerakannya dan menatap Alden dengan mata mendelik tajam.
"Apa? Ini gadismu?" tanyanya dengan geraham bergemeretak.
Alden seketika menjadi gugup dengan tatapan yang seolah-olah baru saja mengintimidasinya. "I … iya. Dia kekasihku, Zoya."
Walaupun kesal, Zoya yang mendengar Alden mengakuinya di depan banyak orang pun merasa tersipu.
"Bagaimana mungkin seorang laki-laki mau meracuni gadisnya? Apalagi gadis manis seperti ini." Pria itu meletakkan telunjuknya di dagu Zoya dan mengangkatnya sedikit, membuat gadis itu menengadah.
"Apa?" Alden ternganga mendengar hal itu. Ia seketika semakin gugup dan masih mencoba untuk menampik setiap apa yang diucapkan oleh musuh dadakannya. "Jangan sembarangan kalau bicara. Mana mungkin aku ingin meracuninya. Apa aku ini tipe pria bodoh menurutmu?"
Zoya dan orang lain yang menyaksikan itu tak kalah terkejutnya dan saling bertanya satu sama lain.
Pria itu membungkuk dan mengambil sebuah plastik kecil yang tidak lagi berisi. Ditelisik dari bentuknya, bisa dilihat kalau ada sisa serbuk di dalamnya.
"Nona, aku melihatnya memasukkan ini ke dalam minumanmu."
Zoya meraih plastik itu dan mukanya seketika merah padam menahan amarah.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi pria berjaket hitam, lalu Zoya berlari keluar dari klub dan dikejar oleh Alden.
"Maura?" Pria itu mengusap pipinya yang memanas akibat tamparan. Ia sama sekali tidak mengerti, bagaimana bisa wanita sekurus itu bisa membuat kepalanya pusing dengan satu tamparan.
"Kenapa rasa tamparannya sama seperti Maura?"

Komentar Buku (323)

  • avatar
    ZahiraUlvia

    bagus

    2d

      0
  • avatar
    slayyymira

    bagus aku sangan menyukai cerita inii🤩

    7d

      0
  • avatar
    PnkAura

    aplikasi ini sangat bagus

    12d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru