logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

3 - Rencana Violetta

Val kembali memutar musik dari gawainya. Perlahan, teriakan Yolanda tergantikan dengan suara lagu-lagu merdu yang ia dengar.
Kalau dipikir-pikir, untuk apa Yolanda memanggil Val tengah malam begini? Terlebih, Yolanda tidak sendiri. Ada sosok laki-laki yang menemani perempuan itu. Jadi Val pikir, tidak ada gunanya dia keluar. Val sama sekali tidak ingin terjerumus ke dalam lingkaran hitam seperti Yolanda.
Meski terasa sulit untuk tidur, Val tetap memaksakan diri. Dia menutup matanya rapat-rapat. Berharap ketika matanya terbuka, matahari yang menyambutnya. Bukan lagi tentang Yolanda dengan dunia malamnya yang begitu kejam.
***
"What? Are you serious, Mam? Yang bener aja, kenapa harus secepet ini?"
Letta terkejut ketika Siska, ibu tirinya, memberi tahu tentang rencana ayahnya yang mendadak berubah untuk menjemput Val lebih cepat.
"That's it," ujar Siska seraya meletakkan kembali majalah fashion yang telah selesai dibaca. "As you know, kamu harus bersikap baik sama Val supaya Papa kamu enggak curiga kalau sebenarnya kita enggak suka anak itu tinggal di sini," lanjutnya dengan gaya bicaranya yang terdengar santai.
Letta mendengkus kesal. Ia takut kasih sayang papanya akan sepenuhnya tercurahkan kepada Val, bukan dirinya. Selama Val hidup dengan ibunya, ayahnya sama sekali tidak pernah sekalipun melupakan Val. Dia selalu saja memenuhi kebutuhan Val, memberikan apa pun yang gadis itu minta. Berbeda jika Letta yang meminta sesuatu dari ayahnya, maka sang Ayah akan menanyakan terlebih dahulu tentang bagaimana prestasinya di sekolah. Dan itu sangat membuat Letta kesal.
Sebagai pelarian, Letta selalu menceritakan kekesalannya kepada Siska. Tentu saja, dengan senang hati wanita paruh baya itu menanggapi keluh kesah Letta. Karena memang tujuan wanita itu ingin membuat dua saudara kembar menjadi berbeda, menjadi bertolak-belakang dan saling membenci. Siska sengaja memanas-manasi Letta supaya gadis itu tetap berada di pihaknya.
Letta mendecak kesal. "How come, Mam?" Gadis itu mondar-mandir sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Langkahnya terhenti ketika melihat ayahnya yang sudah rapi meski matahari belum sepenuhnya menampakkan diri.
"Kamu kenapa, Letta? Pagi-pagi begini sudah mondar-mandir seperti setrika?" sapa Leo, ayahnya, seraya menduduki bangku yang melingkari meja makan.
Tanpa menjawab, Letta mengikuti ayahnya duduk. Dia bingung harus berkata apa.
Siska bangkit dari duduknya di sofa, menyambangi Letta dan suaminya yang sudah duduk lebih dulu mengelilingi meja makan, kemudian menduduki bangku di sebelah suaminya.
"Letta enggak sabar mau ketemu Val," ucap Siska seraya mengambil sepotong roti tawar dan mengolesinya dengan selai cokelat. Setelah itu, ia meletakkan roti tawar tersebut di piring Leo.
Leo meraih susu yang sudah disiapkan Siska, lalu meneguknya hingga tak tersisa. "Oh, begitu. Kamu mau ikut Papa jemput Val? Saudara kamu itu pasti akan senang sekali," ucap Leo menawarkan.
Letta dan Siska saling bertatapan. Siska memberi isyarat supaya Letta tetap memberi tanggapan yang baik atas ajakan papanya.
"Eng ... enggak deh, Pa. Hari ini aku ada ulangan. Enggak mungkin dong, kalau bolos sekolah," tolaknya. "Lagian Papa jemputnya mendadak banget!" protes Letta tanpa disadari. Membuat dahi sang ayah mengerut sembari menatapnya.
"Coba kalau jemputnya hari libur, sudah ada planning dulu sebelumnya. Letta pasti bisa ikut kan, Pa?" Siska menambahkan. Wanita itu selalu saja pandai dalam berbicara. Hal itulah yang diam-diam Letta pelajari.
Letta manggut-manggut. "Betul banget. Mama the best, deh!" Gadis itu mengacungkan jempolnya ke depan Siska yang disambut dengan senyuman. "Mama selalu tahu apa yang pengen aku ucapin," lanjutnya.
"Ya, ya, ya. Papa tahu, kalian memang selalu kompak." Leo memuji.
Letta memakan sepotong roti yang telah disiapkan Siska untuknya. "Harus dong, Pa!" ucapnya dengan pipi menggembung, penuh dengan roti.
"Ya sudah, kalau gitu papa berangkat dulu. Perjalanan cukup jauh, dan papa enggak mau Val menunggu terlalu lama." Leo beranjak dari kursi setelah menghabiskan sarapan paginya.
"Kabari aja kalau udah sampe sana, Pa." Siska turut berdiri, hendak mengantar suaminya sampai di depan.
"Take care ya, Pa!" teriak Letta yang hanya dibalas lambaian tangan. Bahkan ayahnya sama sekali tidak menoleh. Hal itu membuat Letta kesal. "Gue tunggu kedatangan lo, Val. Gue udah siapin sedikit kejutan manis buat lo. Semoga lo suka," gumamnya sembari tertawa sinis.
Pandangan Letta tertuju pada Siska yang berjalan mendekat ke arahnya. Ia heran, hanya untuk menjemput Val saja papanya bangun dan berangkat pagi sekali. Adakah yang spesial dari seorang Val? Adakah sisi baik Val yang membuat sang ayah lebih tertarik untuk memerhatikan anak itu seorang? Batin Vio semakin bergemuruh.
"Cepetan dikit, sarapannya. Keburu teman kamu jemput, loh." Siska mengingatkan.
Letta mencebik. "Jadi enggak semangat buat sekolah!" gerutunya.
"Enggak semangat gimana? Kamu lupa, papa selalu aja sebut-sebut prestasi Val di sekolahnya? Kamu harus bisa kalahkan dia, supaya papa itu lebih perhatian, lebih fokus ke kamu, Violetta," saran Siska.
Lagi-lagi Letta manggut-manggut. Ia membenarkan perkataan Siska. Dirinya memang harus lebih menonjol daripada Val. Tapi yang membuat Letta bingung, bagaimana caranya untuk menonjolkan prestasinya? Sementara, seorang siswi yang biasanya mengerjakan tugas sekolahnya, kini mulai berani menolak permintaan Letta untuk mengerjakan tugas sekolahnya.
Dalam diamnya, Letta berpikir keras. Dia harus bisa mencari siswi lain yang lebih pandai untuk bisa membantunya mengerjakan tugas. Tapi dia masih saja belum menemukan orang yang tepat.
"Letta, Sayang, kok ngelamun sih?" tegur Siska.
Selama ini, dia sama sekali tidak tahu bahwa kepandaian Letta hanya gimik semata. Siska tidak pernah tahu, ada sosok lain di balik kertas ulangan Letta yang selalu saja mendapat nilai lebih dari rata-rata kelas.
Letta mengembangkan bibirnya dengan paksa. "Enggak apa-apa kok, Mam," sergahnya.
"Oya, pulang sekolah nanti mama mau ajak kamu ke rumah Tante Andaru. Bisa, kan?"
Siska beranjak dan membereskan meja makan, membawa piring dan gelas kotor ke wastafel. Betapa repot dirinya karena asisten rumah tangganya sedang cuti beberapa hari.
"Siapa tuh Tante Andaru? Kayaknya aku baru denger nama itu," tanya Letta dengan alis saling bertaut.
"Dia teman arisan Mama yang baru. Keluarga pengusaha, Letta. Kamu harus kenalan sama anaknya. Siapa tahu kalian berjodoh."
Letta benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Siska. Yang ada di kepalanya hanya melulu soal harta. Pikirannya menjadi tidak fokus. Terbagi antara siapa yang akan dia jadikan tameng untuk memperbaiki nilainya, juga siapa anak teman Siska yang akan dikenalkan padanya.
"Letta, kok ngelamun lagi, sih? Masih pagi begini, loh," protes Siska.
Bagaimana bisa Letta menerima ajakan ibu sambungnya itu? Sementara Letta telah lama menaruh hati pada Jordi, kakak Sabira yang sudah menginjakkan kaki di bangku kuliah. Letta menyukainya bukan tanpa alasan. Baginya, Jordi adalah sosok yang baik. Tampangnya yang cool dan ganteng adalah bonus. Hal itu membuat Jordi disukai banyak teman perempuannya. Namun, Letta belum menceritakan hal itu kepada teman-temannya. Termasuk Sabira yang notabenenya adalah adik kandung Jordi.
"Emang masih jamannya perjodohan gitu, Mam?" celetuk Letta. Berusaha menyampaikan penolakan yang sulit diutarakan. Karena dia tahu, Siska pasti akan memaksa hingga menyetujui kemauannya.
"Mama bukan mau menjodohkan. Mama cuma mau kenalin kamu aja sama anak teman mama, siapa tahu kalian berjodoh. Cuma itu, Sayang." Siska menyanggah.
Tiba-tiba saja Letta teringat ayahnya yang sedang menjemput Val. Terlintas akal busuk dalam benaknya mengenai rencana Siska.
Diam-diam Letta membuat rencananya sendiri. Ia akan meminta saudara kembarnya menggantikan dirinya untuk memenuhi keinginan Siska, bertemu dengan anak teman arisannya.
Letta pernah melihat gambar diri Val sekilas. Dia tidak melihat perbedaan dirinya dengan saudara kembarnya, melainkan rambut yang membedakan mereka. Hanya itu. Val berambut panjang lurus, sedang Letta berambut ikal dengan panjang yang sama dengan rambut Val. Itu karena Letta hobby pergi ke salon dan menata rambutnya dengan gaya curly.
"Kenapa diam? Apa yang kamu pikirkan? Jangan bilang, kamu menolak permintaan mama," ujar Siska seraya menata peralatan makan ke dalam laci.
Letta menggeleng cepat. "Aku mau, Mam. Tapi jangan hari ini, dong. Aku ada janji sama temen-temen. Kalo lain kali gimana? Besok, mungkin?" ucapnya meyakinkan.
"Are you sure?" Siska menatap Letta dalam-dalam. Wanita itu menyandarkan diri pada sisi meja wastafel.
"Sure," jawab Letta dengan mantap.
Siska tersenyum lega. Tanpa ia tahu rencana dadakan yang telah dibuat Letta.
'I'm so sorry, Mam,' gumam Letta dalam hati.

Komentar Buku (635)

  • avatar
    cantikayang

    menarik aplikasi ini banyak cerita yang di dalam buku ini

    1d

      0
  • avatar
    intanfebiola07

    bagus

    1d

      0
  • avatar
    RamadhanGustian

    lipayan lahhhh

    2d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru