logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 The Killing Ground

Beberapa saat menjelang fajar, suasana di kaki lembah perbukitan itu yang tadinya tegang kini kembali berubah lengang. Sesuatu yang mengherankan...., serangan peluru kanon roket kaliber besar yang tadi begitu gencarnya ditembakkan oleh pasukan fretilin kini tiba-tiba saja buyar. Tak ada lagi terdengar suara tembakan yang menghujam setelah itu. Padahal jika mereka ingin mengakhiri pertempuran, dengan beberapa kali serangan mortir lagi dapat dipastikan seluruh prajurit infanteri marinir yang masih bertahan di hutan itu pastilah akan binasa dibuatnya.
Sisa-sisa prajurit yang masih bertahan dalam kerimbunan semak belukar itu kini bertanya-tanya dalam kebisuan......, ada apakah sebenarnya gerangan....? Mengapa pasukan fretilin tiba-tiba saja kembali menghentikan serangan artileri mereka....? Mungkinkah mereka keburu kehabisan amunisi...? Ataukah mereka kini lelah dan frustrasi karena tak sanggup menghabisi sisa-sisa prajurit infanteri marinir yang jumlahnya kini bisa dihitung hanya dengan jari...? Benar-benar ada sesuatu yang tak pasti di balik itu semua dan kini masih menjadi teka-teki.
Tak seorang pun prajurit infanteri marinir yang menyadari...., dibalik itu semua ternyata pasukan infanteri fretilin kini mulai menyelusup dalam kegelapan malam. Puluhan orang kembali diperintahkan turun dari lereng perbukitan yang curam. Mereka mulai bergerak senyap memasuki kerimbunan semak belukar, kemudian mengendap-endap dan merangkak dalam kesunyian malam.
Bom waktu kini bagai menunggu detik-detik akan meledak. Pertempuran frontal dengan kontak senjata secara langsung tak akan mungkin lagi bisa terelakkan. Pertumpahan darah di dalam hutan belantara itu kini menunggu detik-detik akan mencekam...., membunuh ataukah keburu terbunuh, itulah akhir dari segalanya yang akan terjadi.
*****
Dalam kesenyapan malam, kedua bola mata Reihan menangkap adanya suatu tanda-tanda pergerakan lawan. Beberapa sosok bayang-bayang hitam dilihatnya sedang menyelinap senyap di antara semak belukar dan pepohonan yang rindang. Prajurit itu menaikkan sedikit helm tempur yang bertengger di kepalanya agar bisa lebih jelas melihat, kedua bola matanya membulat tanpa kedipan. Sekali lagi dia mencoba kembali mengamati, namun sayang, bayang-bayang hitam itu keburu menghilang dari pandangan. Prajurit infanteri marinir itu pun harus bersiap-siap untuk memulai penyerangan.
“Ssssssssst..., ada fretilin Din, tadi aku lihat mereka muncul dari arah jam dua sebelah kanan, kau lihat juga kan...?” Reihan berbisik tegang.
“Aku tadi juga lihat Han, mereka ada yang berpencar di arah jam sebelas di kiri depan,.” Saharudin juga berbisik, kopral itu terlihat lebih tegang lagi dari pada Reihan, jakunnya bergerak turun naik menelan air liur hingga berkali-kali.
Tanpa berbisik lagi, Reihan buru-buru meninggalkan persembunyian untuk memulai taktik tempur dan bersiap-siap dengan penyerangan dadakan. Juga tanpa diketahui oleh lawan, tamtama dengan pangkat prajurit satu itu merayap pelan. Dengan senyap dia menerobos rerumputan dan ilalang tajam yang tumbuh setinggi pinggang. Saharudin juga mulai berpencar untuk menyiasati penyerangan. Kopral itu merangkak pelan bagai seekor macan, lalu merayap dengan senyap menuju ke sebuah batang pohon yang besar untuk mencari tempat perlindungan dan posisi menembak yang lebih aman. Detik-detik penentuan antara hidup dan mati kini tiba, kedua prajurit itu bersiap-siap untuk memuali penembakan dengan posisi saling berjauhan.
Untuk yang kedua kalinya Reihan kembali melihat bayangan hitam bergerak cepat dari balik pepohonan. Namun yang terlihat kali ini bukan satu atau dua, tetapi belasan orang jumlahnya. Bayangan-bayangan hitam itu mengendap-endap dengan membungkukkan badan agar tak terlihat oleh lawan, beberapa saat kemudian bayangan-bayangan itu kembali menghilang dibalik pepohonan dalam kegelapan malam. Dengan senyap prajurit infanteri marinir itu mengarahkan moncong senjata AK-47 miliknya ke arah bayang-bayang hitam yang tadi menghilang. Jari telunjuknya menempel ketat di pelatuk senjata bersiap-siap untuk melepaskan tembakan.
Sebelum sempat prajurit itu melepaskan tembakan, kesunyian di kaki lembah perbukitan itu mendadak berubah gempar. Suara tembakan dari seseorang tiba-tiba saja terdengar dalam kegelapan malam. “Awaaaaaas....! fretilin....! fretilin.....!” Begitu keras teriakan kepanikan itu terdengar. Reihan sontak tersentak, teriakan itu pastilah teriakan beberapa orang prajurit infanteri marinir yang berada tak jauh darinya.
Suasana berubah tegang setelah tembakan pertama dari seorang prajurit infanteri marinir terdengar. Dalam sekejap mata, tembakan secara sporadis terdengar menggelegar tak berapa jauh dari posisi di mana prajurit satu Reihan tiarap. Hutan belantara di kaki bukit itu seketika berubah pekak hingar-bingar. Desingan peluru dan jeritan kematian terdengar secara bersamaan..., menjadikan area kaki perbukitan itu sebagai arena “....The Killing Ground....” pembantaian gila bagi prajurit-prajurit infanteri marinir yang masih tersisa.
Kejaran peluru-peluru panas secara serempak bermunculan, terlihat melayang simpang siur dalam kegelapan malam, berkejaran bagai cahaya-cahaya kilat menyaingi kecepatan suara. Roket-roket mini ikut melejit gesit memecahkan kesunyian, seiring dengan jeritan kematian yang juga mulai terdengar memecah kesunyian dalam medan pertempuran.
Tak disangka, prajurit satu Reihan, bocah yang pendiam itu tiba-tiba saja berubah jadi garang. Apa yang terucap dari mulut prajurit itu tadi bahwa dirinya tak rela mati sebelum dia sempat menghabisi fretilin-fretilin keparat itu ternyata bukanlah isapan jempol belaka. Kali ini terbukti, tanpa diketahui oleh pasukan lawan, tamtama dengan pangkat prajurit satu itu dengan sigap bangkit dari persembunyiannya untuk memulai serangan kejutan. Dengan sekali hembusan napas panjang, belasan butir peluru kaliber 7,92 x 39 mm langsung dia muntahkan ke arah pasukan fretilin dengan sekali sapuan tembakan.
“....yeaaaaaaah....! kubunuh kalian freitilin keparat..! mati kau....! mati lah kalian...! yeaaaaaah....!” Teriak Reihan seketika terdengar garang, seiring dengan garangnya desingan peluru kaliber 7.92 x 93 mm yang dia muntahkan dari moncong AK-47 miliknya. Dalam sekejap mata, lima orang pasukan fretilin yang tak menyangka Reihan ada di sana langsung terperanjat dibuatnya. Tubuh-tubuh mereka yang tak sempat mengelak telak menggelepar melepas nyawa, peluru-peluru panas menembus lawan mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala mereka.
Namun sayang, pertempuran frontal yang baru saja dimulai sangat tak seimbang, satu kompi pasukan musuh ‘fretilin’ yang berjumlah puluhan orang telah menyebar dalam kegelapan malam dengan membentuk taktik kepungan. Beberapa orang prajurit infanteri marinir kembali terdengar berteriak memberi peringatan, mereka berlarian sembari melepaskan tembakan balasan ke arah lawan. “Mundur......! mundur.....! lari.....! lari..., lari ke arah jalan...! berkumpul di jembatan....!”
Penglihatan Reihan mendadak tersengat setelah dia mendengar suara teriakan. Dalam kegelapan malam, kembali dia menyaksikan kemunculan pasukan fretilin lainnya yang tengah menyelinap dari balik pepohonan dan semak belukar yang rindang. Mengagetkan, jumlah mereka kali ini puluhan, mungkin juga sampai ratusan banyaknya. Begitu jelas terlihat, mereka bergerak dengan garang bagai makhluk siluman yang bersiap-siap menghabiskan sisa-sisa prajurit infanteri marinir yang masih bertahan di dalam hutan.
Saharudin dan beberapa orang prajurit infanteri marinir lainnya yang mendengar teriakan itu langsung mundur lari berhamburan. Namun entah mengapa Reihan tidak. Nekat...., benar-benar nekat, tamtama itu tiba-tiba saja mendadak berbuat gila. Dendam yang membara di dalam dada membuat prajurit itu bukannya lari ketakutan, namun dia malahan bangkit lagi untuk melakukan penyerangan terhadap lawan.
Senjata AK-47 digenggamnya dengan erat, mulut prajurit itu kembali menganga bulat. Bagai seseorang yang kesetanan hebat, Reihan nekat menyongsong kehadiran malaikat. Prajurit itu kemudian memekik dengan kuat, sekuat mungkin yang dia bisa, hingga jin dan setan yang mendengarnya pun ikut berwajah pucat.
“....eaaaaahhh...! keparaaaat...! edaaaan....! kubunuh kaliaaaaan....! mati kaliaaaaaan....!” Pekik prajurit itu benar-benar gila. Bagai singa lapar menerkam mangsa, seorang diri dia bergerak menghadang belasan prajurit fretilin dengan garang. Berondongan tembakan tak henti-hentinya dia lepaskan seiring dengan suara teriakan. Tiga orang pasukan fretilin menggelepar dengan tubuh gosong bolong-bolong. Dada Reihan yang menyaksikannya kini terasa plong.
Prajurit fretilin lainnya yang tak menduga akan adanya serangan itu langsung berhamburan kocar-kacir menuju pepohonan mencari tempat perlindungan. Serangan balasan pasukan fertilin seketika itu juga mengarah pada Reihan. Tembakan secara sporadis dari pasukan fretilin kini berbalik arah menghujam ke dada Reihan.
“.....tetetet..., tetetetet...., tetetet... tetetet...” Peluru-peluru fretilin terdengar berdesingan. Reihan melompat, berguling-guling dan tiarap. Peluru peluru panas kembali mendesis, secara bertubi-tubi menyapu dinding-dinding dan lekukan tanah yang bergelombang di depan Reihan. Tumpukan tanah yang tertembus hantaman peluru pecah berhamburan. Sebahagian peluru itu meleset hanya beberapa senti di atas kepala. Prajurit itu terpaksa menghentikan tembakannya. Reihan merapatkan kepalanya ke tanah. Sedikit saja kepalanya nongol dari lekukan tanah, maka tamatlah riwayatnya.
Kejaran timah-timah panas masih terus mengincar kepala dan dada. Tampaknya kali ini sepertinya bukan lagi sebagai tembakan biasa, melainkan sebagai tembakan terbidik seorang penembak jitu yang gila, yang sanggup mendeteksi keberadaan musuh dalam keadaan gelap gulita. Sebutir peluru fertilin melejit gesit mengincar kepala Reihan. “......teeeeeng.....!” Peluru menyerempet, namun masih meleset, menyenggol sudut sebelah kanan helm tempur yang berada di atas telinga. Telinga langsung mendenging, bukan alang kepalang pekaknya. Kepalanya kemudian dia rapatkan ke lutut, prajurit infanteri marinir itu menutup kedua lobang telinganya dengan jari telunjuk. Lalu dia menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan ke kanan bagai orang kesurupan.
“Aduh..., pekaaaaaaaak....! pekaaaaaaak.....!” Teriak tamtama itu. Daun telinga dia gosok-gosok dengan kedua telapak tangan, namun bunyi dengingan itu tak menghilang jua. Kedua telinganya itu kemudian dia tepuk dengan sekuat-kuatnya saking tak sanggupnya dia menahan dengingan yang merajalela.
*****

Komentar Buku (15)

  • avatar
    firdausmohammad

    saya sangat suka dengan komando dan itulah cita" saya

    04/06

      0
  • avatar
    RadenRido

    mksi

    26/03

      1
  • avatar
    RifkyMuhammad

    bagus

    07/12

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru