logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Bertemu Bocah Tengil

Risa melahap telur mata sapi di depannya. Saat ini, ia sedang sarapan bersama Rani, Nadia, dan Revan. Seperti biasa suasana hening, tidak ada satupun yang bersuara, hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar.
"Aku sudah selesai, Bu. Aku berangkat dulu." Revan mencium tangan Rani.
"Ayo, Ris," ajak Revan.
"Hah?" Risa yang baru selesai sarapan tidak fokus dengan perkataan Revan.
"Oh … iya." Risa mencium tangan Rani dan mengikuti Revan keluar rumah. Sementara Rani dan Nadia tersenyum melihat Revan dan Risa sudah semakin akrab.
Revan melempar helm ke arah Risa. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat Risa kaget, namun, ia sigap menangkapnya.
"Kalem dong, untung gue refleksnya bagus." Risa mendengkus kesal.
"Bawel, cepetan naik!" perintah Revan
"Lo mau nurunin gue di jalan lagi, ya? tumbenan ngajak berangkat bareng?" Tanya Risa.
"Gue kan udah bilang gak akan nurunin lo di jalan lagi, lupa? bisa langsung naik gak, gue males debat sama lo," jelas Revan.
Risa menurut, ia tidak mau berdebat dengan manusia satu ini. Mood nya bisa berantakan.
"Dih, aneh banget, kesambet apaan, sih?" Risa berbicara pelan saat naik ke motor Revan.
"Gue dengar, Ris."
"Apaan? gue gak bilang apa-apa."
"Ck." Revan berdecak kesal, kemudian melajukan motornya dengan cepat tanpa aba-aba terlebih dahulu.
"Revaaaan …!
***
Bel istirahat pertama berbunyi, Guru Sejarah, Pak Kus, keluar dari kelas dan di ikuti beberapa murid keluar untuk istirahat dan beberapa tinggal di dalam kelas. Vanya memutar tubuhnya menghadap Risa,
"Buruan cerita, gue udah banget nih soal cerita lo yang tertunda kemarin, sama gimana kencan lo sama Arsen," gerutu Vanya.
Risa langsung membungkam mulut Vanya, "Jangan kenceng dong ngomongnya, bisa salah paham kalau orang lain dengar, parah lo." Risa melepas tangannya dari mulut Vanya.
"Maaf keceplosan, Ris." Vanya nyengir.
"Gue nggak kencan ya, gue cuma ngajak minum di kafe sebagai ucapan terimakasih," bela Risa dengan memelankan suaranya.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Ngobrol biasa, Nya," jawab Risa sambil merapikan bukunya.
Vanya mengangguk, "Kalau yang kemarin yang belum jadi cerita, apaan?"
Risa menengok ke seluruh ruangan, hanya ada mereka di dalam kelas, lalu ia menerawang ke atas dan menceritakan semuanya pada Vanya. Tentang sikap Revan yang membuat Risa merasa aneh akhir-akhir ini dan tentang ciuman singkat mereka kemarin.
Vanya menutup mulutnya dengan kedua tangan, "Hah, lo sadar gak sih, Ris, lo itu udah jatuh cinta sama Revan."
Risa melotot pada Vanya, perkataan Vanya benar-benar tidak bisa Risa terima. Jatuh cinta? Ia jatuh cinta pada Revan?
"Lo gila ya, mana mungkin gue jatuh cinta padanya."
"Mulut lo bisa berkata tidak, tapi pikiran sama hati lo gak bisa bohong, Ris. Yang lo rasain itu tanda-tanda lo emang sedang jatuh cinta," ucap Vanya.
Risa berpikir keras. Apa benar ia jatuh cinta? Tapi jika di ingat lagi, Risa memang sangat berdebar saat bersama Revan. Apalagi insiden ciuman singkat kemarin, entah kenapa Risa merasa senang. Hah? Senang? Risa menggelengkan kepalanya.
"Lo gila ya?" Risa mendengkus kesal.
Vanya bingung dengan tingkah aneh sahabatnya. "Emang bener ya, kalau terlalu benci bisa jadi terlalu cinta, sumpah aneh banget lo, tapi gue seneng akhirnya lo jatuh cinta juga." Vanya tertawa.
Risa menjitak kepala Vanya, "Apaan sih, ah pusing gue."
"Sakit tahu, Ris. " Vanya memegang kepalanya.
"Dia udah punya pacar, Nya." Risa tidak bisa menutupi perasaanya sekarang dari Vanya.
"Hah? Revan?" Tanya Vanya dan dibalas anggukan oleh Risa.
"Tahu dari mana?"
Risa akhirnya menceritakan semuanya kepada Vanya tentang Rindi. Vanya hanya manggut-manggut, ia masih terlalu shock dengan pengakuan sahabatnya ini.
"Setahu gue gadis itu pendiam, Revan ternyata sukanya cewek kalem dan pendiam. Lo kayaknya bakalan susah deh, saingan lo berat," ucap Vanya.
"Hih, apaan sih, gue gak mau ganggu hubungan orang yang udah punya pacar." Risa mengerucutkan bibirnya.
Vanya tertawa, "Iya,iya, eh tugas sejarah kita gimana? hari sabtu di kumpulkan, loh?" Vanya teringat tugas yang diberikan pak Kus.
"Yaudah, mulai besok sampai jumat kita fokus ngerjain tugas dulu," jawab Risa.
"Oke, asal lo gak aneh-aneh aja, orang lagi jatuh cinta kadang sulit dipahami tingkahnya." Vanya tertawa, Risa langsung melotot ke arahnya.
Risa bersyukur, tadi pagi ia minta Revan untuk menurunkannya agak jauh dari sekolah. Jika Risa dan Revan ke sekolah bersama pasti akan terjadi kehebohan luar biasa, dan pastinya akan menyakiti hati seseorang juga, Risa tidak mau melakukan itu. Beberapa saat kemudian, bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing.
***
Revan duduk di dalam kelasnya, ia membuka handphone nya dan melihat chat dari seseorang.
Yasmin
online
Bisa ketemu sepulang sekolah?
Oke, di tempat biasa.
Revan menutup handphone nya. Kevin dari tadi memperhatikan Revan, sementara dua sahabatnya yang lain pergi ke kantin untuk membeli minum.
"Lo kenapa?" tanya Kevin.
"Gue bingung sama diri gue sendiri."
Kevin memperhatikan Revan lebih dekat, "Masalah hati?" Tanya Kevin dan dibalas anggukan oleh Revan.
"Lo jatuh cinta dengan orang lain?" tanya Kevin.
"Apa maksud, Lo?" Revan terkejut dengan pertanyaan Kevin.
"Ya gue nanya, lo jatuh cinta sama orang lain?" Kevin mengulang pertanyaannya.
"Enggak," jawab Revan.
"Terserah lo, tapi gue yakin lo gak akan bisa terus-terusan memendam perasaan lo," Ucap Kevin sambil tersenyum.
"Maksud, Lo?" Revan mengerutkan dahinya.
"Udah ah, gue mau ke toilet." Kevin berjalan keluar kelas meninggalkan Revan yang penuh tanda tanya dalam otaknya.
Lo belum berubah juga Van. Sekuat apa lo bakal menyembunyikan perasaan lo yang sebenarnya. Gue yakin sayang lo ke Rindi bukan apa-apa lagi dibanding sayang lo ke dia. Batin Kevin.
***
Bel pulang sudah berbunyi, Revan menunggu sekolah sepi, kemudian menuju tempat ia dan Rindi biasanya bertemu, di halaman belakang sekolah. Revan harus bergegas bertemu Rindi sebelum ke ruang guru. Guru bahasa Inggris meminta Revan untuk menemuinya.
Revan melihat Rindi duduk di tempat biasa mereka bertemu.
"Rindi, udah lama nunggu?" ucap Revan, lalu duduk di sebelah Rindi.
Rindi menggeleng lalu tersenyum pada Revan.
"Kenapa? Ada yang sakit lagi?" Revan memeriksa tangan wajah dan kaki gadis itu.
"Nggak,Van,. Gue baik-baik aja, gue Cuma pengen ketemu aja."
Revan tersenyum, kemudian mengelus rambut Rindi, "Tumben, kangen sama gue?"
Rindi tersenyum dan mengangguk, "Van, makasih ya, lo selalu ada buat gue dalam keadaan apapun, gue…" Rindi tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena air matanya tiba-tiba terjatuh.
"Jangan nangis, Rin. Gue akan selalu ada buat lo, gue janji." Revan menempelkan kepala gadis itu di dadanya dan mengelus rambutnya pelan.
Setelah Revan memenangkan Rindi, ia meminta gadis itu pulang. Revan tidak bisa mengantar Rindi pulang karena harus ke ruang guru.
***
Risa berdiri sendiri menunggu bus di depan gerbang sekolah. Vanya pulang duluan karena ada urusan mendadak. Risa mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari sosok Revan, siapa tahu dia mengajaknya pulang lagi. Harapannya sia-sia karena tidak ada tanda-tanda keberadaan Revan.
"Bareng gue gratis."
Risa menoleh, mendapati Arsen sudah berada di sampingnya.
"Tahu aja gue lagi nunggu bus,” ucap Risa.
"Yaudah naik mumpung gratis." Arsen tersenyum. Risa mengangguk, kemudian mereka pulang bersama.
Hari-hari berikutnya, Risa dan Vanya disibukkan dengan tugas Sejarah. Mencari buku di perpustakaan dan mengerjakan tugas di kafe terdekat menjadi rutinas mereka setelah pulang sekolah.
Saat ini mereka sedang di Albana coffee. Risa membuka lembar demi lembar buku yang baru saja di pinjamnya dari perpustakaan pagi tadi, sementara Vanya menggerakkan jarinya di tombol-tombol berderet huruf abjad pada laptopnya.
"Hasil sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945---"
"Berhenti dulu ya, Ris. Gue haus, tangan gue juga udah keriting, nih." Vanya mengibaskan tangannya karena sudah satu jam di kafe mengerjakan tugas.
"Oke, minum dulu, istirahat, lanjut besok gak apa-apa, deh." Risa menutup bukunya dan mengambil minumnya yang tinggal setengah gelas.
"Seger mata gue ya ampun, capek banget di depan layar mulu, butuh vitamin see nih, Ris. Coba ada cowok-cowok ganteng kesini." Vanya menutup laptopnya dan mulai berkhayal.
"Tuh ada cowok." Risa menunjuk ke salah satu meja yang agak jauh dari meja mereka.
Vanya mendengkus kesal, yang ditunjuk Risa adalah om-om berumur sekitar 45 tahun dan sedang duduk sendiri menikmati secangkir kopi. Risa tertawa melihat ekspresi kesal Vanya.
Tidak lama kemudian pintu kafe terbuka, ada beberapa orang yang akan masuk ke dalam kafe membuat Vanya semangat.
"Vitamin see, Ris," ucap Vanya semangat.
Risa menoleh memperhatikan siapa yang masuk ke kafe.
"Sialan." Vanya mendengkus kesal mengetahui Blue Devil yang masuk ke dalam kafe.
Risa memperhatikan Revan, padangan mereka bertemu, namun Risa segera memalingkan muka. 4 orang itu duduk tidak jauh dari meja Risa dan Vanya.
"Hah, kenapa mereka lagi, jengah gue." Vanya mencebikkan bibirnya.
"Yaudah gak usah pedulikan mereka." Risa memandang ke arah lain.
"Psssttt.. Ada Risa dan Vanya." Deo sedikit berbisik.
"Ngapain coba bisik-bisik." Daffa menghela napas kasar.
"Gak apa-apa sih, ada mereka jadi pengen gue gangguin, udah lama kayaknya gak lihat muka juteknya si Vanya." Deo tersenyum miring.
"Udah biarin aja, De. Gak usah bikin ricuh," ucap Revan dengan ekspresi datarnya. Deo mengangguk.
"Eh De, lo kemarin jadi deketin anak kelas 10 itu?" Daffa tiba-tiba teringat Deo yang mengincar anak kelas 10.
"Jadi, cantik sih cuma agak jutek, gue suka kok." Deo meringis, memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Jangan aneh-aneh lo, De. Anak kelas 10, masa depannya masih panjang jangan lo rusak, kasihan." Kevin tertawa mengejek.
"Gue apain dah, gue gak ngapa-ngapain, orang kenalan doang, mana berani gue melakukan hal yang aneh-aneh." Deo mengambil minum yang baru saja di antar pelayan kafe dan meminumnya dengan kasar.
"Noh, pikirannya kemana-mana." Daffa memukul pundak Deo.
"Gue masih polos kale, gue kan anak baik, manis, gak sombong, pintar menabung, rajin berdoa pula. Ya Tuhan ampuni dosa-dosa sahabat gue yang suka bully gue tapi gue saying, Aamiin." Deo meniru gerakan berdoa dengan wajah polosnya membuat ketiga temannya ingin muntah.
"Najis!" Vanya yang dari tadi mendengar percakapan mereka, reflek ikut berkomentar.
Deo menoleh dan melotot pada Vanya, "Eh lo, nguping, ya? Bukan urusan lo, gak usah ikut komentar!"
"Eh, gue gak ngomong sama lo ya, percaya diri banget situ." Vanya ikut melotot.
Deo berdiri, "Gak usah ngeles, gue tahu lo barusan ngejek gue."
Vanya ikut berdiri, "Males banget gue, ngapain coba." Vanya melipat tangannya di dada.
Risa menghela napas panjang, sementara Daffa, Kevin dan Revan hanya melihat pertengkaran Deo dan Vanya. Pemandangan yang sudah biasa mereka lihat. Sementara pelanggan dan pelayan kafe ikut memperhatikan pertengkaran dua remaja itu.
"Kalian ini bertengkar terus, gue yakin kalian jodoh." Daffa menatap keduanya bergantian.
"Ogah!"
"Ogah!" Vanya dan Deo mengucap bersamaan.
"Nah tu kan kompak, jodoh emang." Kevin tertawa, yang lainnya ikut tertawa juga.
"Males banget!"
"Gue juga males, Ris gue mau ke toilet, sebelum otak gue terbakar." Vanya melangkahkan kakinya menuju toilet.
Pertengkaran selesai, Deo kembali duduk dan mengobrol dengan sahabat-sahabatnya. Risa kembali membuka handphone nya sembari menunggu Vanya. Revan melirik ke arah Risa, kemudian menggeleng dan kembali memperhatikan ketiga sahabatnya.
"Hai cantik." Seseorang duduk di meja Risa. Risa mendongak melihat laki-laki di depannya. Wajahnya asing, dia juga memakai seragam berbeda dengannya.
"Maaf, ada apa, ya?"ucap Risa berusaha seramah mungkin.
"Gue Alfa dari SMA Gemilang, gue dari tadi ngelihat lo."
"Lo cantik, Risa," ucap Alfa melihat name tag pada seragam Risa.
"Makasih." Risa terpaksa tersenyum.
Revan dan ketiga sahabatnya memperhatikan meja Risa.
"Siapa yang di meja Risa?" tanya Kevin.
"Gak tahu, dari SMA lain, lagi menggoda Risa sepertinya." Daffa masih memperhatikan meja Risa.
"Kalau di pikir-pikir Risa emang cantik, cuma sedikit tomboy aja dan gak mau dandan," ucap Deo.
Revan melirik kembali ke arah Risa, ia melihat ekspresi tidak nyaman Risa.
"Salah orang tuh bocah, ditonjok Risa baru tahu rasa." Daffa merinding membayangkan kena pukulan dari Risa.
"Tapi Risa masih diam aja." Kevin kembali memandang ke meja Risa.
Di meja Risa.
"Minta nomer handphone nya dong cantik." Alfa masih bertengger di meja Risa.
Risa melirik jengah ke arah Alfa, ia berusaha menahan dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan.
"Maaf, gue gak bisa."
"Sombong amat lo, gak usah sok jual mahal, gue tahu lo pasti sama murahannya kayak cewek-cewek lainnya." Alfa memandang marah ke arah Risa.
"Jaga bicara lo, ya!" Risa berdiri menggebrak meja, emosinya tersulut.
"Galak juga, menarik sih."
Alfa berdiri dan mendekat ke arah Risa, namun Risa tetap bertahan di tempatnya, tidak ada takut sama sekali di raut wajahnya. Alfa tersenyum miring melihat ekspresi Risa, saat tubuhnya sangat dekat dengan Risa, tiba-tiba badannya ditarik ke belakang oleh seseorang. Alfa hampir terjatuh, ia mendongak melihat siapa yang menariknya ke belakang. Revan sudah berdiri dengan tatapan marah,
"Kurang ajar, siapa lo?"
"Gak penting, jangan buat keributan di tempat umum!"
"Cih, sok jagoan." Alfa tersenyum mengejek.
"Pergi, atau lo berurusan sama banyak orang." 3 sahabat Revan berdiri menatap marah pada Alfa.
"Ck!" Alfa melirik ke arah Risa kemudian pergi meninggalkan kafe.
Revan menoleh ke arah Risa. Gadis itu tidak berkata apapun,
"Lain kali jangan diam aja, udah tahu dia kurang ajar," ujar Revan menatap intens kepada Risa.
"Bukan urusan lo, gue juga gak butuh bantuan lo." Risa mendengkus kesal kemudian kembali duduk di kursinya.
"Makasih sama gue!"
"Dih males."
"Jangan seenak jidat lo."
"Gue gak dengar!"
"Lo ya.. " Revan meredam amarahnya.
"Terserah lo!" ucap Revan sembari kembali ke tempat duduknya. Kevin sudah berada di resepsionis kafe untuk meminta maaf atas keributan yang dilakukan sahabatnya.
Vanya yang baru kembali dari toilet menatap heran kepada Risa dan Blue Devil. Vanya memang mendengar ada keributan di luar saat berada di toilet, namun ia tidak bisa keluar karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.
"Pssst..ada apa?"
"Keributan kecil."
"Oh, ayo pulang, gue bayar dulu ya."
Risa mengangguk. Risa melirik ke arah Revan, ia bersyukur hubungannya dengan Revan kembali seperti semula. Hubungan mereka ya begini, seperti air dan minyak, tidak bisa berdamai dan bersatu.
Revan juga melirik ke arah Risa. Ia harus tetap mempertahankan hubungan yang seperti ini, seperti dulu. Ia tidak boleh memiliki perasaan lain kepada Risa. Ia hanya boleh fokus pada Rindi. Revan menghela napas panjang.
Sejak tadi Kevin terus memperhatikan Revan. Kevin mengerutkan keningnya, ia benar-benar ingin bertanya banyak hal pada Revan.

Komentar Buku (638)

  • avatar
    FransiskaAde

    ditunggu kelanjutan ceritanya kak, jangan lama lama munculin bab baru nya😁

    18/06/2022

      5
  • avatar
    AimanArif

    good

    1d

      0
  • avatar
    BR PANEMUTIARA

    aku sih blm tau benar bisa di tukar apaa enggak tapi ,klo bisa keren sih

    6d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru