logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Permintaan Maaf

Risa memutar bola matanya bosan, lima menit sudah ia menunggu di meja pak Kus, si pemilik meja bahkan belum kembali. Risa masih mendengarkan gadis bernama Rindi itu di ceramahi bu Merlin. Bel masuk kelas bahkan sudah berbunyi, itu artinya ia dan Rindi akan terlambat masuk ke kelas masing-masing.
"Kamu bengong?" pak Kus tiba-tiba datang.
"Tidak, Pak."
"Aduh Risa, bapak sampai pusing kamu itu ada aja kelakuan yang bikin saya jantungan." Pak Kus duduk di kursinya.
"Maaf, Pak. Tadi itu, saya salah sasaran."
"Coba kamu lihat itu yang sama bu Merlin, dia mau ikut olimpiade Matematika, kamu itu tiru yang begitu, biar berprestasi juga," nasihat pak Kus.
"Lah, saya kan juga pinter, Pak. Bapak tahu sendiri."
"Iya, kamu pinter, tapi pinter bikin saya pusing juga, jangan sok-sok an berkelahi, kamu tuh anak gadis yang kalem gitu." Pak Kus menasehati Risa sambil membereskan berkas-berkas di mejanya.
"Saya juga kalem kok, Pak." Risa membela dirinya sendiri.
"lya kamu kalem tapi Kalem ... par kau ke jurang."
"Duuh bapak jahat sekali, hiks hiks," canda Risa membuat gurunya itu tertawa.
Nyatanya obrolan antara murid dan wali kelas yang terlihat aneh ini bisa membuat keduanya tertawa. Risa sudah terbiasa masuk ke ruang guru dan mengobrol dengan wali kelasnya itu. Tentu saja karena kebiasaan-kebiasaan Risa yang membuat pak Kus pusing. Meskipun Risa sering membuat masalah dan dihukum, nyatanya gadis itu juga berprestasi di kelasnya. Selain itu Risa juga pernah mengikuti olimpiade Geografi dan mendapatkan juara.
"Bapak ngelawak, ya?" tanya Risa
"Kamu itu selalu mengalihkan fokus saya. Saya sedang marah tadi ya, Ris. Kok jadi ngelawak, saya mau hukum kamu, nih buku! kamu baca, kalau sudah tahu isinya kamu kesini cerita sama saya!" Pak Kus memberikan sebuah buku pada Risa.
Risa menerima buku itu dan membaca judulnya.
"Menjadi Wanita yang Sesungguhnya. Apaan sih, Pak. Saya kan memang wanita pak, wanita." Risa menunjuk dirinya sendiri.
"Tidak usah protes, kamu mau saya suruh membersihkan semua ruang di sekolah ini?" Pak Kus menatap tajam Risa.
"Ampun pak, saya terima hukuman baca buku ini." Risa pasrah, daripada ia harus membersihkan semua ruangan di sekolah.
Risa meninggalkan ruang Guru dan kembali ke kelasnya. Rindi menoleh melihat kepergian Risa. Gadis itu tersenyum.
Andai saja gue bisa seperti lo, tidak takut mengatakan apapun, bisa terbuka dengan siapapun, sayangnya itu semua mustahil. Batin Rindi
***
Bel pulang berbunyi, para murid berhamburan keluar kelas. Risa tetap bertahan di kursinya dan meletakkan kepalanya di meja. Vanya yang sejak tadi merapikan perlengkapan sekolahnya, kini menghadap ke sahabatnya itu.
"Lo kenapa, sih?" Vanya memegang dahi Risa.
"Nggak sakit tuh, apa lo kesambet, ya?" Vanya tampak berpikir keras.
"Iya, gue kesambet jin penunggu toilet belakang sekolah," jawab Risa asal.
"Astaga, lo tadi ke toilet situ? ih angker lo, Ris. Kenapa gak ke toilet deket aja, sih! tumben lo gak takut."
"Penuh. Gue akhirnya kesana karena udah kebelet. Gue terpaksa."
Risa mengingat saat di toilet tadi. Ia sebenarnya takut, tapi ia berusaha membuang semua pikiran negatifnya karena memang sudah tidak tahan. Ya, Risa memang tidak dengan hantu dan sejenisnya.
Vanya mengangguk, "Lo tadi di hukum apa? Terus kenapa dihukum?"
"Gue kesel sama Revan. Berangkat sekolah gue diturunin di tengah jalan, udah gitu dia gak merasa bersalah sama sekali. Jadi, pas gue ngelihat dia lagi jalan, gue lempar pake sepatu, eh malah kena pak Kus." Risa menggaruk kepalanya.
Vanya tertawa keras mendengar cerita sahabatnya itu. Entah kenapa baginya itu sangat lucu, padahal Risa sudah melotot padanya dengan muka kesal.
"Maaf, aduh sakit perut gue, sial amat lo hari ini." Vanya berusaha berhenti tertawa tapi justru tertawa lebih keras membuat Risa mendengkus kesal.
"Di hukum apa, Lo?"
Risa melempar buku ke arah Vanya, "Tuh suruh dibaca terus nanti gue suruh cerita ke pak Kus."
Vanya membaca judul itu lalu tertawa lagi. "Ya ampun Ris pak Kus memang pengertian banget."
"Serah lo dah, ayo pulang, bengek gue lama-lama denger lo ketawa." Risa mengambil tas nya dan keluar kelas.
"Tunggu Ris, gitu aja ngambek." Vanya berlari mengejar Risa.
***
Di kelas, Revan dari tadi duduk diam sambil memikirkan sesuatu memikirkan Rindi. Revan memang dekat dengan Rindi sejak tiga bulan yang lalu. Sebelum itu Revan hanya sebatas tahu saja, karena mereka beda jurusan.
Flashback tiga bulan lalu,
Revan keluar dari minimarket yang agak jauh dari rumahnya. Ia melihat seseorang sedang berjalan sendirian membawa tas belanjaan. Revan tahu gadis itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Revan hendak pergi namun melihat ada seseorang yang sepertinya membuntuti gadis itu.
Gadis itu bahkan tidak tahu kalau sedang dibuntuti seseorang, sampai di jalan yang sepi, gadis itu merasa ada yang aneh, ia membalikkan tubuhnya, dan benar saja, ada laki-laki berperawakan besar mirip preman di hadapannya.
"Mau apa, kamu?" tanya gadis itu gemetar.
"Membawamu ke markas, papa mu sudah menunggu."
"Tidak mau, mama tidak membolehkanku ke markas papa, jadi pergilah." Gadis itu merasa takut.
"Terserah saja, kalau tidak mau, aku akan memaksamu ikut." Laki-laki itu mendekati gadis di depannya. Gadis itu mundur hendak berlari namun kalah cepat dengan laki-laki itu.
"Tolooong, Tolo---" laki-laki itu membekap mulut si gadis, lalu meraih handphone nya memberitahu kalau gadis itu sudah di tangannya.
"Laki-laki jangan kasar dong. Mau nyulik anak orang ya?" Revan sudah berdiri di belakang laki-laki itu.
"Apa urusanmu bocah. Sana, jangan ganggu!" bentak laki-laki itu.
"Saya gak mau ganggu om, saya mau ketemu teman saya." Revan tersenyum smirk dan maju menghajar laki-laki itu.
Meskipun laki-laki itu bertubuh besar tapi kekuatannya tidak sebanding dengan Revan. Revan dengan mudah mudah mengalahkannya. Saat laki-laki itu sudah tersungkur, Revan segera menarik tangan gadis itu dan membawanya pergi menjauh.
"Lo gak apa-apa?" tanya Revan saat mereka berhenti berlari dan merasa sudah aman.
"Iya, gak apa-apa, makasih." Gadis itu menunduk malu.
"Gue Revan, lo satu sekolah kan sama gue?"
"Gue Rindi, iya kita satu sekolah." Rindi masih menunduk.
"Gak usah menunduk gitu, gue gak gigit, kok." Revan tersenyum.
Rindi mengangkat wajahnya memandang Revan. "Maaf, harusnya tadi lo gak usah nolongin gue."
"Kenapa? Lo kenal orang itu?" tanya Revan.
Rindi mengangguk. Rindi takut Revan akan terseret ke dalam masalahnya.
"Mana Handphone lo! sini gue catat nomer gue, kalau ada apa-apa bilang aja. Lo pendiam, kayaknya lo butuh teman cerita."
Rindi memberikan handphone nya. Entah kenapa Rindi mulai nyaman dan percaya dengan Revan. Jantung Rindi berdebar sangat kencang saat seorang Revan perhatian padanya.
"Nih, handphone lo, gue antar pulang, ayo!"
Rindi mengikuti langkah Revan. Sejak saat itu mereka semakin dekat. Mereka sering bertemu diam-diam di belakang sekolah atau di luar sekolah. Rindi juga menceritakan semua masalah hidupnya pada Revan. Sementara Revan memiliki keinginan untuk melindungi gadis itu.
Flashback end.
***
Risa dan Vanya berjalan keluar kelas menuju gerbang sekolah. Seperti biasanya, mereka menunggu kedatangan bus. Risa mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok Revan, namun tidak ada tanda-tanda cowok itu.
Mungkin udah pulang, atau di belakang sekolah bersama Rindi? Kenapa gue peduli? Bukankah dia gak mikirin gue sama sekali? Minta maaf saja tidak. Batin Risa.
"Lo nyariin siapa, Ris?" tanya Vanya yang kebingungan melihat tingkah Risa.
"Enggak, kok," jawab Risa.
"Lo nyari Arsen? Lo suka, ya? Mau di tebengin lagi?" goda Vanya.
"Nggak, apaan sih, Nya." Risa menatap tajam sahabatnya.
"Iya,Iya, itu udah datang busnya." Vanya menunjuk bus yang melaju mendekat.
Risa dan Vanya naik ke dalam bus itu. Vanya berhenti lebih dulu karena rumahnya yang lebih dekat dibanding rumah Revan. Risa berhenti di pinggir jalan utama dan harus berjalan sekitar 300 meter untuk sampai di rumah Revan. Risa melangkahkan kakinya dan melihat Revan duduk di atas motor sport nya tampak sedang menunggu seseorang. Ia terus saja berjalan dan mengacuhkan Revan. Mengetahui dirinya di acuhkan, Revan langsung memanggil Risa.
"Risa, tunggu!"
Risa berhenti dan menoleh, "Ada apa? Gue sibuk!" Risa membalikkan badannya lagi.
"Gue mau ngomong sama lo," jawab Revan.
"Tapi gue males ngomong sama lo." Risa masih kesal dengan sikap Revan hari ini. Dari berangkat, di sekolah hingga pulang sekolah ia harus bertemu berhadapan dengan Revan.
Risa hendak berjalan namun Revan segera menarik tangannya. Risa yang mendadak di tarik tanpa aba-aba langsung terhuyung ke belakang dan menabrak tubuh Revan. Pandangan mereka bertemu, Risa dapat melihat dari dekat mata, hidung dan bibir Revan, begitu pula sebaliknya. Mengetahui posisi mereka bisa menimbulkan tanda tanya bagi orang lain, Risa dan Revan menarik diri menjauh. Mereka tampak canggung untuk beberapa saat.
"Lo mau ngomong apa? Gue mau pulang." Risa mulai berbicara.
"Pulang bareng gue, ayo naik!" ajak Revan.
"Pulang aja sendiri," ucap Risa sewot.
"Lo marah? Karena tadi pagi gue tinggal di jalan?"
"Menurut, Lo?" Risa tidak habis pikir dengan pertanyaan Revan.
"Iya deh, sorry, gue gak akan ninggal lo di jalan lagi, tapi kita harus pulang bareng, kalau tidak ibu pasti marah." Revan menurunkan nada bicaranya, sedikit lembut, tidak seperti biasanya.
Jadi cuma karena biar gak di marahi tante? Hih kok kesel sih gue, batin Risa.
"Bilang aja, gue emang mau naik Bus, udah pulang sana!" hardik Risa yang semakin kesal.
Risa membalikkan badannya dan hendak pergi, namun tiba-tiba Revan menarik kerah belakang bajunya.
"Revan... apaan, sih. Jangan tarik-tarik dong." Risa ingin melawan, tapi ia tidak mau berkelahi di tempat ramai.
"Diem! ikut gue." Revan menarik kerah Risa seperti membawa anak kucing, ia berjalan masuk ke sebuah minimarket terdekat.
"Lepasin! gue udah sabar banget loh, gue tonjok loh kalau lo gak lepasin!" Risa mengepalkan tangannya, kemudian Revan melepaskan tangannya dari kerah Risa.
"Salah sendiri di bilangin ngeyel, udah sana lo beli apa aja deh, permintaan maaf gue, tapi lo harus pulang sama gue."
"Mau nyogok, gitu?" ucap Risa.
"Terserah lo nganggepnya apa, gue lagi baik sama lo!" tegas Revan.
Risa tertawa. Ia segera mengambil keranjang dan memasukkan semua cemilan dan makanan kesukaannya.
Risa selesai belanja dan memakan es krim di kursi depan Endomaret, suasana hatinya sudah berubah.
Es krim emang mood booster banget, batin Risa.
Sementara cowok di depannya memandang jengkel ke arahnya.
"Kenapa? mau jajan?" Risa tersenyum meledek.
"Nggak. Nyesel gue nyuruh lo ambil makanan sendiri." Revan menghela napas berat, ia memperhatikan kantong kresek besar berisi makanan dan minuman ringan di depannya.
"Gue suka ngemil dan makannya banyak, gue juga gak minta kok, ada yang ikhlas bayarin." Risa tidak peduli dengan ekspresi muka cowok di depannya itu karena masih fokus memakan es krimnya.
"Ris, bibir lo." Revan nunjuk bibir Risa.
"Haah, kenapa bibir gue?" Risa memegang bibirnya.
"Bukan di situ, sebelah kanan bibir lo, sini gue ilangin."
Tumben baik, batin Risa.
Revan mengulurkan tangannya berniat membersihkan es krim di bibir Risa.
Deg
Deg
Deg
Aduh jantung gue, batin Risa lagi. Tangan Revan mendekat, saat hampir menyentuh bibir Risa, Revan justru merampas es krim dari tangan gadis itu dan mengoleskannya di pipi kanan Risa.
"Ih apaan sih," protes Risa.
Revan tertawa puas. Risa justru tersenyum karena baru kali ini ia melihat Revan tertawa seperti itu.
"Kak Nadia ... " Risa melambai. Revan reflek menoleh ke belakang mencari keberadaan Nadia.
Sudah terkecoh, Risa langsung merebut lagi es krim dari tangan Revan dan mengoleskan ke pipi cowok itu.
"Pembalasan, Hahahaha." Gantian Risa tertawa puas.
"Sial." Revan hendak merebut es krim itu, tapi Risa langsung membuangnya. Setelah itu Risa membersihkan es krim yang menempel di pipinya, begitu juga Revan.
"Ayo pulang, cepet naik!" pinta Revan.
"Iya, iya, bawel." Risa naik ke motor sport Revan.
Revan melajukan motor sport nya menuju Rumah. Dan benar saja Rani sudah menunggu di ruang keluarga mereka. Rani banyak menghabiskan waktunya di rumah. Semenjak kematian suaminya, Rani memilih berbisnis dari rumah, menjual barang kebutuhan sehari-hari, yang sekarang marak di jual secara online. Dia Memiliki kantor di belakang rumahnya dan beberapa karyawan.
"Kalian sudah pulang," sapanya dengan hangat.
"Iya, Tante." Risa mencium tangan Rani, begitu pula Revan.
"Nah gitu dong berangkat bareng, pulang bareng, kan ibu jadi tenang, Van. Besok dan seterusnya berangkat pulang bareng lagi, ya?" ucap Rani.
Risa tersenyum kaku, sementara Revan hanya mengangguk. Risa menoleh ke arah Revan, cowok itu memegang handphone nya. Dia tampak gusar setelah melihat sesuatu dari handphone miliknya.
Dia kenapa? Apa Rindi? Batin Risa.
"Bu, aku ke atas dulu ya, mau mandi," ucap Revan.
"Iya sayang," balas Rani.
"Risa ikut ke atas juga ya, Te." Risa juga pamit ke atas kemudian dibalas anggukan oleh Rani.
Rani tersenyum melihat kedekatan Risa dan Revan. Ada doa yang diselipkan dalam diamnya untuk mereka.
Risa menyusul Revan, ia menghentikan langkah Revan memasuki kamarnya.
"Revan, ada yang ingin gue tanyain ke lo." Risa menatap Revan.
"Gue sibuk." Revan masuk dan membanting pintu kamarnya.
"Dasar! Balik lagi ke sifat dinginnya!" Risa mengomel. Ia mendengar Handphone nya berbunyi. Risa mengambil benda pipih itu dari dalam tasnya dan melihat siapa yang menelepon, yang ternyata adalah ibunya. Risa mengangkat telepon ibunya dan masuk ke dalam kamar.
Risa
[Halo Bu…]
Risa
[Iya Risa baik-baik saja. Risa gak ngelakuin yang aneh-aneh.]
Risa
[Ibu tenang aja, ibu ayah baik-baik di sana, cepat pulang ya]
Risa menutup teleponnya, kemudian membaringkan tubuhnya ke kasur.
"Perasaan apa ini? Kenapa dari tadi berdebar. Gue sakit apa? Gue harus tanya Vanya. Besok gue harus tanya Vanya," monolog Risa.

Komentar Buku (638)

  • avatar
    FransiskaAde

    ditunggu kelanjutan ceritanya kak, jangan lama lama munculin bab baru nya😁

    18/06/2022

      5
  • avatar
    AimanArif

    good

    1d

      0
  • avatar
    BR PANEMUTIARA

    aku sih blm tau benar bisa di tukar apaa enggak tapi ,klo bisa keren sih

    7d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru