logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Pertemuan

Mobil Jerry melaju dengan pelan. Membelah keramaian kota di malam hari. Di kota ini, hilir mudik kendaraan masih bisa dijumpai. Bahkan tengah malam sekalipun. Berbeda sekali dengan kampung halamanku. Ketika hari sudah mulai gelap, jarang sekali kendaraan yang lewat. Bahkan di siang hari pun, hanya warga sekitar yang lewat. Mungkin karena akses jalan yang belum diperbaiki. Jalan di kampungku masih belum di aspal.
Setelah adegan adu mulut dengan Jerry tadi, akhirnya aku dan Jerry tetap berangkat ke restoran, memenuhi undangan Tante Hantini. Meskipun sebenarnya hatiku juga masih dongkol dengan sikap Jerry tadi.
Aku memang marah sama Jerry. Tapi aku harus tetap menghormati Mamanya.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tak ada yang buka suara. Aku hanya fokus pada pemandangan di luar dari kaca jendela. Melihat gedung-gedung pencakar langit, kelap-kelip lampu jalan, dan warung-warung tenda pedagang kaki lima.
Sementara Jerry fokus menyetir. Sesekali dia melihat kearahku. Mungkin mau mengobrol. Tapi takut aku marah lagi. Dia paling tidak suka kalau aku sudah bicara panjang lebar memberikan nasehat.
Dalam keheningan, tiba-tiba ponselku berdering. Segera kuambil dari dalam tas. Kulihat sebuah nama tertera disana.
"Daniel?" gumamku, sedikit kaget. Jerry langsung menoleh kearahku. Sepertinya dia juga kaget.
"Ada apa 'Si China' itu menelepon? Padahal aku sudah bilang kalau malam ini aku tidak bisa ke kafe karena mau ketemu Tante Hantini. Dasar bocah. Nggak pengertian banget sih jadi orang" gerutuku dalam hati.
Baru saja aku akan menjawab telepon dari Daniel, tiba-tiba Jerry mengambil paksa ponsel dari tanganku.
"Jerry, kamu apa-apaan sih? Kembaliin. Itu Daniel telepon. Kamu tuh lagi nyetir. Bahaya tahu nggak?" aku berusaha mengambil ponselku dari tangan Jerry. Tapi dengan cepat dia memasukkan ke dalam saku kemejanya.
"Nggak. Nggak akan aku kasih" jawabnya ketus. Lalu kembali fokus menyetir.
"Kamu tuh kenapa sih? Masih marah sama aku? Please, kamu jangan kayak anak kecil gini, deh." Dia diam. Tidak menjawab pertanyaanku.
Sungguh sikap yang membuat darahku naik. Tiba-tiba dia mengambil paksa ponselku. Dan ketika kutanya alasannya, dia cuma diam. Karena sepertinya memang dia masih marah karena kejadian di rumah tadi.
Akhirnya kubiarkan saja dia menyita ponselku. Besok saja aku ngomong sama dia secara baik-baik. Kalau sekarang jangan dulu. Kondisi dia lagi marah. Nanti jadinya malah ribut lagi. Aku malas berdebat sama orang keras kepala seperti dia.
Kupijit kepalaku yang mendadak pusing. Kemudian ku alihkan pandangan keluar jendela. Mencoba menenangkan hati.
* * * * *
Beberapa menit kemudian, kami sampai di sebuah restoran bernuansa klasik. Setelah memarkirkan mobil, kami pun turun dan masuk ke dalam restoran itu. Tak lupa kubawa sekotak kue dan sebuah buket bunga kesukaan Tante Hantini. Sebagai hadiah ulang tahun.
Saat tengah berjalan mencari meja Mamanya, tiba-tiba Jerry menggenggam tanganku. Aku yang kaget pun menoleh kearahnya. Dia hanya tersenyum.
"Cepat sekali dia berubah" kataku dalam hati.
Dalam sekejab dia sudah bisa mengontrol emosinya. Syukurlah. Berarti dia paham dengan situasi saat ini.
Tak lama kemudian kami sampai di depan sebuah meja yang sudah di duduki seorang perempuan yang kutaksir usianya sekitar empat puluh lima tahunan. Terlihat sekali kalau beliau seorang wanita karir.
Dandanannya sederhana tapi terlihat elegan. Dan terlihat cantik walaupun usianya mungkin seusia Ibuku.
Beliau sedang menerima telepon ketika kami datang. Setelah melihat kami, beliau cepat-cepat mengakhiri sambungan telepon itu.
"Eh, kalian sudah datang? Mama udah nunggu lama loh" Tante Hantini berdiri, tersenyum. Menyambut kedatangan kami dengan ramah. Senyumnya manis. Sama, seperti senyum Jerry.
"Maaf ya, Ma. Gara-gara ini nih, nungguin mantu Mama, kalau dandan lama banget. Persis kayak Mama" Jerry menunjuk kearahku dengan wajah santainya. Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu. Bikin malu saja.
"Ish, apaan sih? Malu tahu" bisikku, sengaja kusengol lengannya. Tante Hantini hanya tersenyum.
"Iya, nggak apa-apa. Dan, ternyata Yoora cantik ya? Lebih cantik dari yang di foto. Nggak salah pilih kamu, Jer" Tante Hantini memujiku. Membuatku jadi salah tingkah.
"Tante bisa aja nih. Saya jadi malu. O iya, saya Yoora, Tante" aku mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.
"Saya Hantini" Mamanya Jerry menyalamiku sambil tersenyum, kemudian memelukku. Tak lupa cipika cipiki seperti sudah saling kenal sebelumnya.
"O iya, nak Yoora, ayo, silahkan duduk. Tante sampai lupa. Maaf ya?" Tante Hantini mempersilahkan duduk.
"Iya, Tante. Terima kasih. O iya, ini buat Tante. Selamat ulang tahun ya, Tante. Maaf, Yoora nggak bisa kasih apa-apa buat Tante" Aku memberikan kue dan buket bunga kepada Tante Hantini.
Lalu aku pun duduk disamping Jerry. Sementara Tante Hantini duduk di depan kami. Meletakkan kue dan bunga di atas meja.
"Iya, nggak apa-apa. Lagi pula ulang tahun Tante udah dua hari yang lalu kok. Terima kasih banyak ya, Yoora. Malah repot-repot bawa kue segala."
"Iya, Tante. Sama-sama. Nggak repot kok."
Setelah itu Tante Hantini memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan. Aku yang bingung akhirnya menyamakan menu dengan Jerry dan Tante Hantini.
Beberapa menit kemudian, makanan pun datang. Lalu kami mulai menyantap
hidangan apa Eropa itu. Untunglah aku tinggal di rumah Pak Wira. Jadi sudah tahu bagaimana menggunakan alat makan seperti sendok, garpu dan pisau yang bermacam-macam model.
Sepanjang kami menyantap makan malam, kami saling bertukar cerita. Tante Hantini bercerita tentang bagaimana dulu beliau bersusah payah dan berusaha keras menjadi orang tua tunggal bagi Jerry. Agar Jerry bisa mendapatkan kehidupan yang layak meskipun tanpa seorang Ayah.
Beliau bercerita, dimana dulu beliau menggunakan bagian depan rumahnya untuk tempat berjualan aneka roti dan kue basah. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan lama kelamaan usaha rotinya mulai terkenal. Hingga akhirnya membuka cabang di beberapa tempat. Bahkan membuka usaha lain. Sungguh, Tante Hantini benar-benar orang yang hebat.
Dan Jerry juga selalu memujiku di depan Mamanya. Aku dibuat malu di hadapan Tante Hantini. Memang manis sekali anak itu. Tapi mengingat kejadian tadi hatiku masih sedikit ragu. Dia memang orangnya mudah marah, tidak mau di kekang. Apa karena umurnya yang masih muda? Ah, tidak juga. Dia sudah dewasa. Sebentar lagi lulus kuliah.
"Jadi, Yoora udah tiga tahun ya tinggal di rumah Pak Wira?" tanya Tante Hantini ketika kami selesai menyantap makan malam.
"Iya, Tante. Udah tiga tahunan" jawabku santai.
"Udah betah ya tinggal di kota?" tanya Tante Hantini lagi.
"Bisa dibilang begitu, Tante. Udah nyaman juga kerja disini. Tapi suatu hari nanti pengen pulang juga. Kasihan Bapak sama Ibu" jawabku jujur.
Mendengar jawabanku, Tante Hantini tersenyum. Lalu mengenggam tanganku.
"Yoora" Tante Hantini menatapku lekat.
"Saya tahu, kamu anak yang baik. Selama ini saya nggak pernah denger Jerry cerita tentang seorang gadis yang disukai. Saya nggak pernah tahu anak saya dekat dengan siapa? Tapi setahun belakangan dia sudah berani cerita. Ya, cerita tentang kamu. Gadis yang sudah menjadi semangat hidupnya. Yoora, terima kasih ya? Kamu sudah menjaga anak saya" lanjutnya serius.
Aku terdiam mendengar perkataan Tante Hantini. Beliau bicara sedalam itu. Apa yang sudah diceritakan Jerry tentang aku kepada Mamanya? Sungguh, aku tidak tahu menghadapi situasi seperti ini.

Kemudian aku menatap Jerry. Dia juga diam dan menunduk. Entah ada apa? Kemudian kuberikan senyum tulus pada Tante Hantini.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Tante. Saya hanya memposisikan diri saya sebagai kakak, teman, sahabat bagi Jerry. Saya senang kalau Jerry bahagia dengan kehadiran saya. Saya hanya melakukan apa yang saya bisa untuk Jerry."
"Tapi, kamu sudah membawa perubahan besar pada Jerry. Sekali lagi, terima kasih ya? Saya percaya sama kamu, Yoora" Tante Hantini tersenyum. Melepas genggaman tangan kami. Aku tersenyum kikuk. Ah, kenapa jadi se-mellow ini?
Lalu...semangat hidup? Perubahan besar? Apa maksudnya? Aku semakin bingung.
~💚Pricilla Hwang💚~


Komentar Buku (579)

  • avatar
    Satu Dalam Sejuta

    good

    4d

      0
  • avatar
    FazriAmin

    buku nya bagus

    13d

      0
  • avatar
    SuailyGerard

    ia hanya sebatas cantik tetapi tidak memiliki hati yang sangat menyakiti mungkin hanya bukan dia yang dihati andai saja bumi bisa diputar dan memiliki hati yang terbuka bagi setiap orang yang sangat saling melengkapi dan terus berjuang untuk diri sendiri

    17d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru