logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Dilema Seorang Pria

Tubuh Viskha melunglai dan terhempas secara tiba-tiba ke sandaran sofa.
“Vi? Vikachu! Kamu kenapa?” Talita mengguncang pelan bahu sahabatnya. Namun, Viskha bergeming dengan mata terpejam.
Talita bangkit dengan panik, lekas menyambar bantal sofa yang tergeletak lalu meletakkan di ujung kanan. Digesernya perlahan bagian atas tubuh sahabatnya susah payah. Kepalanya dipindahkan ke atas bantal, lantas beralih ke kaki dan melakukan hal serupa. Hingga Viskha terbaring lurus di sofa.
Talita bangkit lagi mencari tasnya untuk mengambil ponsel, lantas menelepon dokter. Dia mondar-mandir gusar setelahnya. Harap-harap cemas menanti petugas berjas putih itu. Hingga belasan menit berlalu, bel apartemennya terdengar nyaring. Lekas berlari dan menuju ke sumber suara untuk membukakan pintu.
“Silakan, Dok!” katanya saat mendapati sang dokter berdiri usai pintu apartemen terbuka.
Dokter itu pun mengangguk sopan seraya berjalan masuk mendahului. Disusul Talita yang buru-buru mengekorinya selepas menutup kembali pintu.
Langsung meletakkan koper dan mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa pasiennya. Setelah itu lanjut mengeluarkan alat pengecek tensi darah.
“Darahnya rendah, hanya 90/70. Mungkin akibat stres atau kecepekan sampe memburuk kondisinya. Saya sarankan untuk lebih banyak mengonsumsi makanan yang kaya dengan zat besi. Susu, bayam, ikan mas, atau daun singkong. Didampingi suplemen penambah darah dan banyak istirahat juga,” katanya seraya menatap Talita dan Viskha bergantian, kemudian beranjak mempersiapkan obat untuk Viskha.
“Ini harus dikonsumsi teratur sesuai dosis yang tertera. Oya, hindari makanan yang mudah menurunkan darah juga.” Dokter itu menyerahkan keresek putih berisi obat untuk pasiennya.
“Baik, Dok. Tapi enggak ada pemicu parah lainnya?”
“Sejauh ini, sepertinya tidak ada. Tapi kalo terus berlanjut dan makin parah anemianya. Segera tindak lanjuti untuk dirawat di rumah sakit. Pasien juga mesti istirahat yang cukup dan jangan dibiarkan berlarut dengan sesuatu yang membuatnya stres. Tidak baik untuk kesehatannya. Namun, jangan khawatir! Dia akan segera siuman.” Dia bangkut membereskan barang-barangnya, lantas pulang setelah menerima pembayaran.
Talita pun mengucapkan terima kasih atas jasa sang dokter.
Sepeninggal dokter itu. Talita buru-buru memesankan bubur melalui aplikasi online. Mengusap-usap lengan sahabatnya dengan iba.
“Vikachu, rumit sekali kisahmu.” Netranya sendu seiring hati yang diganggu pilu. “Aku enggak nyangka jalanmu bakalan seterjal ini. Aku juga nyesel udah nambahin pikiranmu dengan ngutarain semua itu. Sesuatu yang harusnya tak perlu disuarakan.” Dia menunduk sembari bersimpuh dan menggenggam tangan sahabatnya. Diusap-usap telapak tangan lembut itu seraya merapalkan doa dalam hati.
Belasan menit berlalu, Viskha masih belum juga sadarkan diri. Dia melesat ke dekat kotak P3K, mengeluarkan minyak angin. Dilumurinya telapak tangan dan kaki Viskha, kemudian beralih ke leher gadis itu. Pindah lagi ke hidungnya setelah mengoleskan ke telunjuk dan jari tengahnya.
“Vikachu, aku mohon kamu cepet siuman. Aku enggak tenang banget liat kondisimu seperti ini.”
Suara Viskha terdengar setelah belasan menit berlalu begitu saja.
“Ta?” tanyanya seraya memegangi kepala yang masih berdenyut.
“Kamu tadi pingsan, Vi. Tapi tenang aja, ya. Kata dokter kamu Cuma kecapean dan mungkin lagi tertekan.” Talita buru-buru membantu Viskha yang bergerak memaksa duduk.
“Hati-hati!” Talita memegangi bahu sang sahabat, hingga Viskha benar-benar telah duduk tegak dengan bantal sebagai penopang. Setelahnya, dia melesat memeriksa gawai. Melihat titik lokasi sang driver yang dipesannya untuk membeli makanan. Mondar-mandir di sana, hingga Viskha terheran dibuatnya.
“Kamu kenapa, sih?”
“Itu nunggu pesenan makananku dateng.” Dia beranjak ke dekat Viskha lagi seraya mengambil air mineral. “Minum dulu, oke.” Membantu sang sahabat meneguknya. Setelah itu, bel pun terdengar. Talita langsung memburu ke arah suara.
Orang yang ditunggu-tunggu telah tiba dengan cup dalam keresek putih. Diterima Talita seraya memberikan uang pembayaran.
Setelah mengucap terima kasih dan menunggu kurir makan itu pergi, Talita pun kembali masuk.
“Vi, makan dulu, oke. Kamu harus minum obat.” Talita mengambil sebuah cup. Membukanya dan menyodorkan sesendok ke dekat mulut sahabatnya.
Viskha pun menurut dan mengunyahnya perlahan. Hingga bubur ayam habis separuh.
“Udah, Ta.”
“Tapi baru dikit, loh, ini.”
Viskha menggeleng kukuh.
“Baiklah, minum obat dulu, oke.” Talita menyobek bungkusan obat satu persatu, lantas memberikan kepada Viskha untuk diminum sambil menyodorkan gelas.
Usai itu mereka pun berjalan menuju kamar, dengan Talita membimbing Viskha berjalan.
“Kamu istirahat dulu, oke! Jangan mikirin apa pun dulu.”
Viskha mengangguk dan membaringkan tubuhnya di kasur.
Talita menyelimutinya hingga sebatas perut, kemudian kembali ke ruang tamu untuk melahap makanan bagiannya.
-¤¤¤-
Di tempat lain, terpisah jarak dan waktu. Seorang pria tengah mondar-mandir gusar di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai. Banyak sekali orang-orang menikmati weekend dengan berbelanja. Riuh musik khas berbahasa melayu mengalun memanjakan telinga.
Dia mengenakan setelan cassual dipadukan sepatu kets yang serasi. Menanti kedatangan seseorang yang membuat bara amarah menyala-nyala dalam dadanya.
“Kenapa semua ini bisa terjadi?” tanyanya ketika insan yang dinantikan tiba. Dia menyugar rambut kasar seraya meremas-remas jemari.
“Ini di luar kendaliku!” Amarah turut berkilat di wajah orang yang baru datang.
“Kita-” Dia menjauh, lantas membelakangi lawan bicaranya. “Itu kesalahan! Aku sama sekali enggak-”
“Enggak apa? Setelah akibatnya terjadi kenapa kamu enggak mengakui segala yang terjadi, hah! Pengecut!”
“Tapi aku-”
“Aku-aku. Cuma keakuan yang kamu pikirkan. Egois. Ini kesalahan kita. Risikonya juga harus ditanggung berdua! Apa kamu mau lari?”
Si pria berteriak, membuat orang sekitar menoleh ke arahnya.
“Stop! Jangan bikin kita malu! Terserah padamu! Aku yakin kamu enggak sepengecut itu. Kalo pun emang tetep bakal lari! Aku pastiin kamu bakal kembali dan menyesalinya!” Orang itu pergi meninggalkan lawan bicaranya dengan netra tajam dan amarah yang membuncah.
Tinggallah si pria berpakaian cassual yang mengempaskan terduduk di sebuah kursi berbahan logam. Tatapan tajamnya seakan menghunjam lantai. Pikirannya kalut seiring perasaan yang berkecamuk. Memikirkan waktu seminggu ke depan. Bagaimana dia bisa menghadapi keluarganya? Ibunya dan seseorang yang telah sangat dirindukannya.
Penyesalan. Hanya itu memenuhi relung hati. Dengan segala dilema yang merasuk jiwa. Tak menduga saat-saat yang dulu sangat dinantikan, kini setelah akan tiba pada masanya malah berbalik paling tidak diinginkan. Dia bangkit dan berjalan keluar, memilih pulang ke flat kecil yang disewanya.
Merasa semua yang diperjuangkan sekian lama telah sia-sia ketika hampir menggapainya. Dia mengempaskan tubuh di kasur, setelah beberapa menit tiba di kediamannya.
“Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa!” Dia menatap nanar langit-langit ruangan.
“Bodoh! Sangat bodoh diriku ini, Ya Allah ....”
Dia terpejam, seketika kelebatan bayangan orang-orang yang sangat dicintainya menghantui pikirannya. Segala rencana yang telah direka, tak tahun akan bagaimana akhirnya.
Dia bangkit duduk, lantas menggemeretukkan gigi. Meremas rambut dan merasakan sembilu yang merasuki hati.
-¤¤¤-

Komentar Buku (72)

  • avatar
    Mass Bondoll

    50.000

    13d

      0
  • avatar
    FridayantiSiska

    kak ini cerita nya sudah tamat ya

    11/08

      0
  • avatar
    SrAndrian

    biyasasaja

    11/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru