logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Arranged Marriage

Arranged Marriage

Novita Kartika


1. Old and Odd

Dani tidak benci menjadi anak bungsu. Dani tidak benci kenyataan di mana dia mempunyai kakak perempuan feminim yang selalu memanjakannya. Atau orangtua yang tidak pernah berhenti memperhatikannya. Yah …, mungkin sedikit.
Daniela D’Angelo, dua puluh tiga tahun, memiliki pekerjaan di samping kesibukannya sebagai seorang mahasiswa yang sedang mengejar gelar Magister. Dani sangat sadar bahwa dia adalah perempuan dewasa yang bisa menjaga dirinya sendiri.
Jika seseorang berani meragukan itu, perempuan dengan tinggi 5.7 kaki itu tidak akan segan menempeleng kepala mereka dengan piala runer up karate-nya.
Namun, ironisnya, satu-satunya, atau bisa dibilang, tiga-tiganya, orang yang meragukannya adalah keluarga perempuan itu sendiri.
Pertama, kakaknya, Giana D’Angelo, enam tahun lebih tua dari Dani. Dia adalah tipikal perempuan keibuan yang siap menikah kapanpun, maka dia telah menikah dan bahagia dengan suaminya yang mapan dan tampan dan dikarunia .... kehidupan rumah tangga yang menyenangkan tanpa seorang anak. Sebuah ironi di mana Gia sebenarnya adalah seorang wanita yang baik, istri yang baik dan tentunya akan menjadi ibu yang baik jika dia bisa memiliki seorang anak. Dani yakin itu. Sayangnya, kenyataan mengatakan hal sebaliknya dengan ekspektasi. Meskipun begitu, keberuntungan tidak pernah berada terlalu jauh dari sosok Gia. Di samping kenyataan menyakitkan itu, Gia memiliki suami yang lebih dari sekedar sempurna, dengan cinta yang melimpah untuknya, namun karena kenyataan pahit itu juga membuat Gia tidak hanya menganggap Dani sebagai adiknya, namun juga putrinya.
Lalu ada Ibunya, Yolanda Adam yang segera saja berubah menjadi Yolanda D’Angelo setelah menikah dengan ayahnya. Dia adalah ibu kebanyakan yang mendidik anak mereka dengan penuh pelajaran moral dan hal-hal penting untuk membangun masa depan, lantas di kemudian hari dia hanya perlu duduk di depan perapian dengan jarum pintal, dan yang perlu dia lakukan hanya menyulam, menyulam, menyulam, dan memandangi deretan prestasi anaknya yang terpampang di setiap sudut ruangan, dibingkai dengan frame terbaik untuk melengkapi segenap kisah hidupnya yang sempurna. Dalam hal ini, Dani lah anak itu, anak yang selalu diemaskan, prestasi yang selalu dipamerkan. Dani yang baik dalam bidang akademik apapun, karir modelingnya yang mulai menapaki tangga menuju kesuksesan. Tak berlebihan jika ibunya masih saja memanjakannya. Menyuapi Dani dari sendok emas dengan tangannya sendiri.
Kemudian ada Damian D’Angelo, pria Italy-Amerika yang menjadi kepala rumah tangga yang mengayomi dari keluarga kecil nan bahagia ini. Dia adalah pria bertanggung jawab yang masuk ke dalam kriteria bertaraf internasional suami idaman.
Gia sebenarnya adalah putri kesayangannya, putri kecil yang sedari dulu digadang menjadi versi perempuan dari ayahnya: dengan hidung tinggi, bibir tipis, alis penuh, rambut hitam bergelombang, mata kecoklatan dan dagu yang terbelah, Gia begitu mirip sang ayah dengan sentuhan elegan ibunya. Versi perempuan dari Damian yang sempurna. Damian begitu menyayangi putrinya yang itu.
Setelah Gia memiliki keluarga kecilnya sendiri, Damian masih saja ingin bernostalgia memiliki gadis kecil manis yang selalu menempel di sisinya dan mengandalkannya dalam segala hal, bahkan saat yang dia miliki hanya lah seorang gadis berusia 23 tahun yang keras kepala setinggi 5.7 kaki. Sama sekali tidak kecil atau manis. Namun, sejak Gia menikah, pria berusia 55 tahun itu selalu memperlakukan Dani sebagaimana Gia kecil dulu diperlakukan.
Rutinitas Dani selalu diatur oleh ayahnya, 24/7; tidak boleh pulang kuliah terlalu larut, tidak ada pemotretan di atas jam makan malam, dan yang paling penting, tidak boleh keluar dengan teman yang tidak dikenal. Larangan semacam itu mungkin lumrah bagi sebagian gadis remaja, tapi tidak bagi Dani.
Aneh bagaimana saat remaja, ayahnya tidak pernah mempermasalahkan berapa banyak teman pria yang Dani miliki, teman mana yang mengantarnya pulang, atau pergi kemana saat tengah malam berada di luar rumah.
Sebenarnya Dani paham kenapa ayahnya tidak terlalu khawatir, sebab dia pada dasarnya tidak pernah keluar rumah, dan hanya memiliki segelintir teman. Segelintir bahkan terdengar terlalu banyak. Namun, jika pun Dani melakukan hal-hal yang(dianggap) mengkhawatirkan, dia yakin ayahnya tidak akan peduli juga.
Bukan karena Damian terlalu pilih kasih. Pria itu mencintai kedua putrinya tanpa terkecuali. Dia percaya sepenuhnya bahwa Dani mampu menjaga dirinya sendiri, itu yang selalu Dani tahu. Namun, setelah Damian tahu bahwa putri yang selalu dia jaga pun bisa direnggut dari dirinya, kepercayaan tersebut agaknya terwolak-walik.
Selain Damian, adapun kakak Dani. Gia selalu menyiapkan pakaiannya tanpa pamrih, itu karena dia lebih memaksa Dani untuk memakai apa yang dia suka. Dani tahu betul gaya kakaknya dalam mendandaninya; blouse dengan lengan balon, dan rok berenda, semua berwarna cerah untuk membangun mood yang baik, ditambah begitu banyak aksesoris mutiara. Maka sebisa mungkin Dani menghindarkan semua hal itu dari lemarinya.
Sedangkan pagi, siang, malam, jadwal makan Dani selalu terorganisir oleh ibunya. Gizi baik membuat tulangmu bagus, membuat badan dan kesehatanmu terjaga, membuatmu terlihat lebih baik di depan kamera—bla bla bla—kau cantik, kau putriku.
Intinya, Dani selalu hidup dengan mengikuti keinginan mereka. Tapi itu belum cukup banyak. Tidak. Tidak.
Hidup Dani bisa diibaratkan seperti mendaki sebuah gunung tertinggi. Merasa antusias di awal, sedikit kewalahan, lelah, sangat lelah, hampir mati rasanya, namun semua itu akan terbalas saat dia mencapai puncak. Dalam hal ini, Dani hanya ingin bebas. Dia hanya harus menyakinkan keluarganya bahwa dia bisa melakukan semua sendiri, memutuskan sesuatu sendiri, menjaga dirinya sendiri, dan Dani percaya hari menuju puncak itu akan datang. Hari kebebasannya. Hari di mana pertama kalinya Dani akan belajar mengepakkan sayap mungilnya sendiri, keluar dari sangkar dadakan yang dibuat keluarganya, menatap dunia.
Itu yang Dani percaya seumur hidupnya, namun sekarang—haha Dani tidak yakin.
Semua angan-angan itu hancur begitu saja pagi ini. Di hari Minggu ter-absurd sepanjang sejarah hidup Dani.
Mari kita ulas sedikit kejadian tadi pagi di mana Dani mengawali hari baiknya—atau setidaknya dia pikir begitu karena dia memakai kaos kuning, celana putih gading dan baru saja mengecat rambutnya menjadi ash-brown—dengan membiarkan tubuhnya melekat dengan kasur. Berleha-leha di tengah waktu senggang yang jarang-jarang dia miliki tanpa melakukan apapun.
Kemudian 'sesuatu' itu tiba, dibawa langsung oleh ibunya yang seperti biasa selalu datang ke kamar Dani tanpa aba-aba.
Tiba-tiba kasur berderit, ibunya duduk di samping Dani, meletakan album foto berdebu yang tampak begitu usang dan tua yang dia bawa di antara mereka.
Dani sebenarnya tidak mau tahu, ibunya memang kerap datang ke kamarnya tanpa tangan kosong. Tapi, dia terlanjur terkejut dan menoleh.
"Lihat apa yang aku temukan di gudang."
Dari satu pernyataan itu Dani sudah merasakan hal-hal ganjil dari maksud kedatangan ibunya.
"Kenapa Mom pergi ke gudang?"
Dani tahu ibunya tidak pernah pergi ke tempat itu. Apalagi saat gudang mereka jauh dari rumah induk, dan tentu saja, jika ibunya benar pergi ke gudang pasti alasannya bukan untuk sebuah album foto lawas yang bahkan sebagian dari isinya tak mau Dani ingat.
Dan pertanyaan itu terjawab dengan:
"Memang aku tidak boleh pergi ke sana?"
Semakin mencurigakan.
Dani memutar mata berwarna kelabunya. "Tentu, tentu. Mom boleh pergi kemanapun, ini kan rumah Mom."
"Apakah kita harus membahas ini, Dani? Atau kau akan membiarkan aku membuka ini tanpa komentar?"
Dani mengedikan bahu, mencoba acuh dan menenggelamkan wajahnya dalam bantal, berharap dengan itu waktu akan cepat berlalu dan Dani tidak perlu mendengarkan ibunya yang berceloteh, mengomentari setiap momen-momen absurd masa kecilnya yang terabadikan oleh jepretan kamera dengan heboh.
Ah, sayang lubang telinganya tidak tersumbat.
"Oh lihat! Daniela kecil yang polos. Lihat lah, kau benar-benar polos di sini," Ujar ibunya. "Bayangkan berapa media akan membayar untuk foto bugil pantat bayimu yang mulus ini."
"Mom tidak akan melakukannya," Dani berujar di balik bantal.
"Lihat ini sayang! Ini foto ulang tahun Gia yang kesebelas!"
Dengan itu Dani berhasil menoleh, ikut memperhatikan dan kembali larut dalam nostalgia masa kecil.
"Rotinya terbakar," Dani berkomentar.
Ibunya terkekeh. "Ya, rotinya terbakar saat itu. Aku sudah memperingatkan kalian untuk tidak menyalakan lilinnya sebelum pestanya dimulai, tapi kalian tidak mau mendengarkan. Kalian menyalakannya, lilinnya habis begitu cepat, rotinya terbakar lima menit sebelum pesta dimulai. Aku ingat seharian Gia tidak mau makan dan bicara," Sahut ibunya, lantas mereka tertawa mengenang memori itu.
Saat lembar berikutnya dibuka, Dani tidak lagi bersama Gia, ibunya, ayahnya, atau salah satu sepupunya. Namun bersama—
"Oh, Theo!" Telunjuk ibunya menunjuk bocah laki-laki berambut coklat yang agak cerah, mata biru bersepuh hijau, dan memiliki senyum menawan yang merangkul Dani dalam foto, mengenakan seragam polisi, sedangkan Dani memakai seragam marinir, lengkap dengan baret, tidak peduli meskipun kostum itu diperuntukan bagi anak laki-laki. "Aku ingat kalian senang sekali bermain peran," Lanjut ibunya. Kemudian dia membuka lembar berikutnya, kali ini wajah Dani tak ubahnya seperti udang rebus. "Astaga aku hampir lupa dengan yang satu ini!"
Di foto itu bocah bernama Theo masih bersama Dani, masih merangkul Dani. Di situ, waktu belum berlalu begitu lama dari foto mereka yang sebelumnya. Masih 15 tahun yang lalu. Masih terlalu muda, terlalu naif, terlalu polos dan ... Konyol.
Di sana, Theo berpakaian seperti bocah kebanyakan, sedangkan Dani tenggelam dalam kain putih yang dililitkan sedemikian rupa ke tubuhnya, membawa bunga putih liar dalam genggaman, tersenyum sumringah pada kamera.
"Kau merusak tirai di kamar, memakainya dengan begitu aneh, kemudian mengatakan pada semua orang bahwa itu adalah gaun pernikahanmu dengan Theo dan kalian akan menikah. Aku bahkan tidak bisa marah. Astaga, kalian begitu manis."
"Itu hanya gurauan anak kecil," Dani berdalih, namun matanya menatap sekeliling, apapun kecuali foto itu dan ibunya.
Ada jeda beberapa saat dan Dani tidak tahu apa yang ibunya pikirkan atau lakukan sampai wanita itu berujar, "kau ingat Theo?"
Bagaimana Dani bisa lupa jika ibunya baru saja membicarakan masa kecilnya yang dibumbui penuh dengan nama itu. Theo yang ini, Theo yang itu. Theo begini, Theo begitu.
Theodore Patton, biasa dipanggil Theo untuk versi singkatnya. Dani tidak akan pernah lupa bocah itu meskipun dia sudah tidak pernah lagi bertemu atau mendengar kabar tentangnya.
"Tentu. Mom baru saja membicarakannya."
"Bagus, karena kalian akan menikah."
"APA?!" Tanpa sadar Dani berteriak, namun tak selang beberapa lama Dani kembali tenang dan hampir saja mengolok gurauan ibunya yang sama sekali tidak lucu.
Hampir.
Sebelum ibunya kembali berujar, "keluarga Patton akan tiba saat makan malam nanti."()
***

Komentar Buku (13)

  • avatar
    InaGinawati

    sangat cocok

    15/08

      0
  • avatar
    Agus Surono

    wabagus

    04/07

      0
  • avatar
    Azzam Al Zafran

    🤩🤩

    19/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru