logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Main Cantik

7
Main Cantik
Akibat dorongan tangan Rara di kepalanya, Wati jatuh berlutut di lantai. Ia meringis menahan sakit sambil memegang ubun-ubun. Rara kembali mengangkat tangan hendak memukul, tapi sebuah tangan kekar mencekal tangan Rara di saat-saat terakhir yang genting.
“Sayang, sudah! Jangan terlalu kasar begitu. Kalau Wati sampai sakit karena ulahmu, kamu sendiri yang repot. Siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah nanti?” Dedy menahan tangan Rara yang hendak memukul Wati lagi.
“Dia sih tidak tahu diri, Mas! Sudah ditampung, masih banyak tingkah. Kalau bukan aku yang memberinya tempat tinggal dan makan, memang dia mau pergi ke mana? Orang nggak punya keluarga itu kan sama seperti orang hilang,” hina Rara lagi.
Sambil berbicara, Rara melepaskan tangannya yang dicekal oleh Dedy. Rara kemudian berkacak pinggang di hadapan Wati yang jatuh berlutut. Sikap Rara sangat angkuh.
“Sudah. Daripada marah-marah terus, lebih baik kamu istirahat. Simpan energimu untuk kita nanti malam,” lerai Dedy seraya mengedipkan sebelah mata kepada Rara.
Melihat kedipan mata Dedy, Rara menurut. Ia tak menolak ketika Dedy meraih tangannya untuk dibimbing menjauh dari Wati yang tertunduk. Sebelum pergi ke kamar, Dedy menoleh ke arah Wati di belakangnya. Dengan kode mata, Dedy menyuruh Wati untuk menyingkir.
Setelah Dedy dan Rara masuk ke dalam kamar, barulah Wati berlari masuk ke dalam kamarnya. Hatinya panas sekali, tapi ia berusaha untuk bersabar.
“Sabar, Wati. Sebentar lagi, Rara akan menerima balasan atas perbuatannya. Tunggu saja kamu, Ra,” desis Wati di dalam kamarnya.
Setelah mengetahui bahwa dia memiliki keluarga dan tak sendirian di dunia ini, Wati merasa lebih kuat. Ia bagaikan mendapat tempat berpegangan yang kokoh. Meskipun keluarga itu belum ditemuinya, tapi pengetahuan bahwa ia memiliki orang tua saja cukup membuat Wati memiliki harga diri yang baru.
Apabila dahulu ia hanya bisa pasrah dijadikan bulan-bulanan oleh Rara, maka sekarang sudah berbeda. Ia tak mau lagi diperlakukan semena-mena karena dia merasa dirinya kini berharga.
Wati memang sengaja tidak melawan saat Rara menjambak rambutnya tadi. Wati bermaksud bermain halus. Ia tak akan terang-terangan memperlihatkan sikap memusuhi dan melawan Rara. Ia akan tetap bersikap sebagai madu yang tidak berdaya, sementara Wati menyusun rencana untuk menghancurkan Rara di belakangnya.
Wati lalu mengunci pintu kamarnya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama tinggal di rumah Rara. Setelah merasa yakin pintu kamarnya terkunci dengan baik, Wati mengeluarkan ponsel yang diberikan Bu Nara kepadanya tadi siang ketika ia berada di panti.
Wati merebahkan diri pada kasur tipis. Ia mengecek ponsel kecil yang kuno itu. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Bu Nara untuknya. Tak sabar, Wati membuka pesan dari Bu Nara dengan hati berdebar-debar.
“Ibu sudah menghubungi keluargamu, Ti. Mereka sangat senang mengetahui kamu sudah ditemukan. Mereka ingin bertemu kamu secepatnya. Mereka ingin menjemputmu besok sore. Kamu mau dijemput di rumah atau di panti?”
Wati berbunga-bunga membaca pesan dari Bu Nara. Harapannya akan kehidupan yang lebih baik bangkit kembali. Tak akan lagi ia diperlakukan seperti sampah di rumah ini. Ia memiliki keluarga sebagai sandaran.
Wati berpikir sejenak. Ia sangat ingin dijemput dari rumah ini. Terbayang di pelupuk mata Wati, pasti Rara dan Dedy akan ternganga apabila ia dijemput oleh keluarga yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ia akan bisa melenggang penuh kemenangan di bawah tatapan tak percaya Dedy dan madunya. Nikmat sekali pasti rasanya.
Akan tetapi, Wati teringat bahwa kedua orang tuanya tidak mengetahui tentang kehidupan buruk yang dialaminya saat ini. Mereka mungkin akan bingung ketika mendapati dirinya yang diperlakukan sebagai babu di rumah Rara. Keadaan itu tidak sesuai dengan harapannya.
Tidak. Wati tidak akan minta dijemput di sini. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Untuk membalas Rara, ia akan menyiapkan pembalasan dendam termanis.
“Biar saya yang datang ke panti besok sore, Bu. Keluargaku belum tahu apa-apa tentang aku dan masalahku. Jangan sampai mereka bingung nantinya. Tunggu aku ya, Bu,” Wati mengirim balasan pesan kepada Bu Nara.
Setelah mengirim pesan, Wati termenung memikirkan rencananya untuk membalas Rara dan Wati. Hal pertama yang dipikirkan oleh Wati adalah mengambil buku nikahnya agar dapat mengurus perceraian.
Di mana Dedy menyimpan buku nikah itu? Setelah menikah, Wati belum pernah lagi melihat bukti pernikahan mereka. Ia harus mengambil buku itu sebelum pergi menemui keluarganya besok.
“Mbak! Mbak Wati, keluar!” teriak Rara dari depan pintu kamar.
Wati terkejut. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponsel yang sedari tadi masih dipegangnya ke balik baju. Wati tak mau meninggalkan ponsel itu di dalam kamarnya. Meskipun Rara tak pernah masuk ke kamarnya, tapi ia tak mau mengambil risiko kehilangan benda paling berharga dalam hidupnya saat ini.
Wati membuka pintu kamar. Ia melihat Rara meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Belikan aku minuman pelancar haid ke warung. Sekarang!” perintah Rara seraya menyerahkan selembar uang ke depan wajah Wati.
Wati menerima lembaran uang dari Rara dengan ekspresi datar. Rara lalu mengerang memegangi perutnya. Ia sempoyongan lalu bersandar pada dinding. Dedy datang menghampiri Rara dengan tergopoh-gopoh. Raut wajahnya terlihat amat khawatir.
“Sayang, lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Kataku juga biar aku saja yang menyuruh Wati ke warung,” marah Dedy.
Rara membiarkan dirinya dibimbing oleh Dedy untuk masuk kembali ke dalam kamar. Langkahnya tertatih-tatih dan goyah. Wati mengamati bahwa Rara dalam kondisi yang lemah.
Saat Wati terbengong, tiba-tiba Rara menoleh ke belakang dan berkata garang,
“Cepat! Disuruh sekarang malah bengong!” bentak Rara. Ternyata meskipun sedang sakit, kegalakan Rara tidak berkurang.
Wati gelagapan. Lekas-lekas ia berjalan menuju pintu keluar. Masih sempat didengarnya suara Dedy sebelum ia melangkah keluar dari pintu.
“Yah, malam ini gagal deh kita main, Sayang.”
Wati mempercepat langkahnya menuju warung. Ia mendadak muak mendengar suara Dedy barusan. Usai membeli barang yang diminta oleh Rara, Wati lekas-lekas pulang. Ia tak mau lagi mendapat kemarahan dari Rara. Sekarang bukan karena takut lagi, tapi telinganya sakit rasanya mendengarkan suara sember seperti radio rusak itu.
Sampai di rumah, Wati langsung mencari Rara untuk memberikan barang pesanannya. Saat Wati bergerak menuju kamar Rara untuk memberikan jamu, ia berpapasan dengan Dedy yang hendak keluar dari kamar.
“Mas, ini jamu yang diminta Rara sudah aku belikan,” lapor Wati.
“Rara sedang tidur. Berikan saja jamu itu kepadaku,” sahut Dedy.
Wati mengulurkan tangan memberikan bungkusan berisi jamu, tapi Dedy tidak mengambil bungkusan itu. Dedy malah menarik tangan Wati hingga Wati terjatuh ke dalam pelukannya.

Komentar Buku (123)

  • avatar
    Andre Varela

    free Fire

    18/07

      0
  • avatar
    Silvi Yati

    bagus

    08/07

      0
  • avatar
    SyadillahAhmad

    sangat baik

    03/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru