logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Keluarga Sultan

“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuaku, Bu?” lanjut Wati.
“Mereka bilang akan terus berusaha mencarimu. Mereka minta fotomu sebagai panduan. Ya, Ibu kasih saja fotomu waktu kamu menikah dengan Dedy,” ungkap Bu Nara.
“Awalnya Ibu berharap bahwa mereka akan bisa segera menemukanmu, katanya mereka mau bayar orang untuk mencarimu. Tapi setelah Ibu melihat kamu datang hari ini, Ibu ragu mereka akan menemukanmu dengan wajah seperti ini,” ceplos Bu Nara seraya mengamati wajah tirus Wati.
“Ehm, wajahku sudah berbeda dengan yang dulu ya, Bu?” tanya Wati.
“Iya. Kamu sangat berubah. Wajahmu yang dulu berseri-seri sekarang kusam. Kamu juga terlihat sangat kurus seperti kurang makan. Dan yang paling penting, sorot matamu tidak lagi ceria seperti dulu,” urai Bu Nara dengan raut wajah prihatin.
Wati tersipu malu. Ternyata, meskipun ia tak menceritakan keadaan dirinya tapi keadaan fisiknya telah mengungkapkan kebenaran. Ada rasa sungkan yang terselip di hati Wati setelah mendengar penuturan Bu Nara tentang dirinya yang blak-blakan.
“Apa kamu hidup menderita bersama Dedy?” cetus Bu Nara spontan, membuat Wati terkejut dan salah tingkah.
Haruskah ia mengaku kepada Bu Nara tentang keadaannya saat ini? Bukankah memang itu tujuannya mampir ke mari? Wati terdiam karena belum dapat mengambil keputusan.
“Tak usah kamu jawab juga Ibu sudah tahu,” ujar Bu Nara lagi.
Wati menyerah. Ia tak dapat menyembunyikan apapun terhadap wanita paruh baya di hadapannya ini. Wati menangis seketika. Air matanya tumpah dengan deras hingga membasahi baju lusuh yang dikenakannya.
“Dari mana Ibu bisa menebak begitu?” tanya Wati di sela-sela isak tangisnya.
“Ibu ini sudah mengenalmu sejak bayi, Wati. Hampir seumur hidup Ibu tahu dirimu dan sifatmu. Dari gelagat dan sorot matamu saja Ibu bisa menebak isi hatimu,” lirih Bu Nara berkata.
Tangisan Wati bertambah keras.
“Sudah, Ti. Coba sekarang kamu jujur kepada Ibu, apa yang membuatmu susah seperti ini,” pinta Bu Nara seraya mengelus-elus kepala Wati di dalam dekapannya.
“Suamiku, Bu ... Suamiku,” kata Wati terbata.
“Iya. Kenapa dengan Dedy? Dia menyakitimu? Memukulmu?” desak Bu Nara.
“Iya, Bu. Dia—kawin lagi,” ungkap Wati pelan.
Seketika mata Bu Nara melotot. Tampaknya, kawin lagi merupakan hal yang tak terpikirkan sama sekali oleh Bu Nara.
“Kawin lagi? Kok bisa? Kayaknya waktu menikah denganmu dia pengangguran, kan?” tanya Bu Nara heran.
“Dari mana biaya menikah lagi kalau uang saja pas-pasan?” lanjut Bu Nara tak habis pikir.
Wati mengusap air mata di pipi, lalu mulai berbicara sungguh-sungguh.
“Hidup kami memang susah, Bu. Tapi dia kawin lagi dengan janda kaya. Semua ongkos pernikahan dibiayai janda itu,” terang Wati.
“Hah? Ya, ampuuun,” Bu Nara geleng-geleng kepala.
“Semua itu belum seberapa, Bu. Dedy mengajakku tinggal di rumah istri barunya,” tambah Wati, membuat Bu Nara semakin terbelalak.
“Kamu mau? Istri barunya juga mau?” cecar Bu Nara.
“Aku nggak punya pilihan, Bu. Aku mau tinggal di mana lagi? Sedangkan istri baru Dedy, mau menerimaku karena—“ ucapan Wati tersendat karena ia tak sanggup menceritakan hal paling menyedihkan di dalam hidupnya saat ini.
“Karena apa dia mau? Cepat bilang saja nggak usah sungkan-sungkan,” desak Bu Nara dengan napas memburu.
“Dia menjadikanku sebagai babu gratis di rumahnya,” kata Wati sedih. Kepalanya tertunduk saat mengungkapkan kenyataan.
“Astagaaa!” Bu Nara mengelus dadanya sendiri untuk meredakan detak jantungnya yang riuh karena merasa geram.
“Sudah berapa lama kamu begini, Ti? Kenapa tidak pergi saja dari sana?” kata Bu Nara prihatin.
“Itulah bodohnya aku, Bu. Aku merasa tak berdaya. Mau keluar dari sana aku nggak punya tempat untuk bernaung,” lirih Wati.
“Aku mau datang ke Ibu tapi sungkan,” tambah Wati lagi.
Bu Nara menarik napas panjang, saking prihatin dengan kondisi Wati.
“Sudah, Ti. Semua sudah berlalu. Kamu sekarang punya keluarga baru. Kalau perlu sekarang juga kamu tinggalkan Dedy,” kata Bu Nara mengompori.
Wati menggeleng.
“Aku nggak bisa, Bu. Aku masih harus di sana dulu,”
“Lho, kenapa?!” tanya Bu Nara tak mengerti. Sorot matanya menuntut jawaban.
“Aku ingin memberi pelajaran dulu kepada Rara dan Mas Dedy, Bu. Mereka sudah memperlakukanku dengan sangat buruk seperti budak. Aku ingin membalas perlakuan mereka,” jelas Wati.
Bu Nara ternganga, kemudian perlahan-lahan raut wajahnya berubah dan bibirnya membentuk senyuman.
“Kamu betul, Ti. Mereka harus menerima balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapmu. Biar tahu rasa,” kata Bu Nara geram.
“Iya, Bu. Aku belum akan keluar dari rumah itu sampai mereka dapat ganjaran. Aku akan pergi dari sana setelah waktunya tepat,” tambah Wati lagi.
“Jadi bagaimana rencanamu, Ti?” tanya Bu Nara.
“Aku akan tetap di sana, sambil pelan-pelan menghancurkan usaha Rara,” ungkap Wati.
“Aku ingin dia merasakan tidak punya apa-apa seperti aku saat diperlakukan buruk olehnya,” lanjut Wati.
Bu Nara mengangguk-angguk setuju.
“Kalau begitu kamu pegang ponsel saja selama di sana, Ti. Biar Ibu bisa menghubungimu kalau ada apa-apa,” saran Bu Nara.
“Betul juga. Tapi aku nggak punya uang buat beli ponsel, Bu,” keluh Wati lagi.
“Ibu punya hape bekas. Masih bisa dipakai buat sms dan menelepon, tapi sudah nggak bisa unduh aplikasi macam-macam. Kalau kamu mau, bisa pakai hape Ibu dulu,” tawar Bu Nara.
“Mau aku, Bu. Aku memang hanya perlu buat menelepon atau sms saja, kok. Aku belum perlu buat yang lain-lain,” angguk Wati setuju.
“Sebentar Ibu ambilkan,” kata Bu Nara seraya beranjak dari duduknya.
Bu Nara masuk ke dalam kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan sebuah ponsel di tangan.
“Ini hapenya, Ti. Memang jadul, tapi masih berfungsi kalau hanya buat sms dan menelepon,” kata Bu Nara lagi.
Wati mengamati ponsel yang baru diberikan Bu Nara kepadanya. Dilihat dari tampilannya, sangat kentara hape itu memang sudah jadul, ketinggalan zaman. Beberapa lapisan catnya sudah mengelupas di sana sini. Modelnya juga terlihat kuno. Hape itu juga lebih kecil daripada hape-hape berotak android yang sekarang sedang marak di pasaran.
“Tidak apalah. Buat sementara saja, Bu,” angguk Wati seraya tersenyum.
“Oya, bagaimana caranya aku bisa menghubungi keluargaku ya, Bu?” tanya Wati lagi.
“Ibu menyimpan nomor ponsel Bu Sultan. Nanti Ibu akan hubungi mereka lagi, mengabarkan bahwa Ibu sudah menemukanmu,” janji Bu Nara dengan senyum lebar di bibir.
“Nanti kita buat janji temu antara kamu dan orang tuamu. Kalau waktunya sudah ada, Ibu akan langsung menghubungimu,” tambah Bu Nara lagi.
Wati tersenyum senang.
“Terima kasih, Bu. Aku tunggu kabar dari Ibu, ya,” harap Wati.

Komentar Buku (123)

  • avatar
    Andre Varela

    free Fire

    18/07

      0
  • avatar
    Silvi Yati

    bagus

    08/07

      0
  • avatar
    SyadillahAhmad

    sangat baik

    03/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru