logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Berbaur

“Yeah! Selesai!” Mirna menjatuhkan diri di kasur Jane yang baru mereka rapikan berdua. Selagi menata sprei, Mirna banyak bercerita tentang bagaimana dia bisa sampai di sini. Tentang kebaikan hati suster yang dengan telaten merawatnya. Dia dalam kondisi sakit keras saat pertama dibawa ke panti ini. Jika bukan karena kemurahan hati suster dia pasti sudah tiada. Sebenarnya bukan hanya dia, namun juga beberapa anak yang dibawa bersamanya saat beberapa rumah di kampungnya mengalami tanah longsor. Sungguh cerita yang mengenaskan. Ini semua bagian pentingnya. Namun dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah yang jarang menganggapnya teman, sehingga dia pun tak berani menyatakan kata hatinya entah itu sedih, gembira, kesulitan, marah, termasuk saat menyukai seseorang.
Ha? Menyukai seorang laki-laki? Di usia belum genap 10 tahun? Pernyataan terakhirnya ini Jane sungguh tidak mengerti. Ketika di sekolahnya dulu, makhluk yang namanya laki-laki sangat tidak berperasaan, nakal dan bodoh. Mereka suka semena-mena, juga melakukan banyak hal yang tidak masuk akal dengan dalih petualangan. Sungguh konyol! Jane teramat sangat tidak suka.
Mirna juga mengingatkan beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan di panti, segala kegiatan dan beberapa orang yang bisa diandalkan juga beberapa orang yang sebaiknya dihindari. Jane hanya mengangguk-angguk saja, susah baginya untuk menyela bicara Mirna. Bisa jadi dia pun sebenarnya masuk kriteria orang yang harus dihindari. Namun setidaknya bukan saat ini.
“Siapa?” seorang perempuan kurus, tinggi dan terlihat tidak ramah bersidekap di pintu.
“Eh kak Siska sudah pulang?” Mirna menyambut ramah. Sementara orang yang dipanggil kak Mirna hanya menaikkan alis, tak sedikitpun memberi tanggapan.
“Jane, kenalkan ini kak Siska. Kak Siska, ini Jane,” ucap Mirna bermaksud mengenalkanku pada kak Siska.
“Hm.” Hanya itu tanggapan kak Siska sebelum pergi. Melirik Jane pun tidak. Diam-diam Jane merasa bersyukur tidak jadi menempati kasurnya seperti disarankan Mirna semula.
“Hahaha…kenapa?” tanya Mirna saat melihat Jane masih menatap punggung kak Siska yang sudah cukup jauh meninggalkan mereka. “Santai, aslinya baik kok.”
Jane menoleh, menatap Mirna kasihan. Jane tidak bisa membayangkan rasanya tiap hari harus sekamar dengan orang seperti itu.
“Hei! Kamu mengasihaniku ya? Tidak perlu! Percaya deh, kak Siska itu aslinya baik.”
-
“Hei! Anak baru! Jane kan namamu?” seorang bocah laki-laki jangkung menyapa saat mereka keluar dari kamar.
“Bram, sopanlah! Jangan bilang kamu ganti naksir Jane sekarang!” tatap mata menghakimi Mirna menandakan bahwa bocah laki-laki ini punya reputasi kurang bagus.
“Memang kenapa kalau naksir? O aku tau, kamu cemburu?” bocah laki-laki itu mengedipkan mata.
“Hiyy!” Mirna membalas kedipan mata si bocah laki-laki dengan tampang jijik. “Ayo!” Mirna menggapit tangan Jane supaya cepat berlalu dari tempat itu.
Sejauh ini, selain suster Bernada rasanya semua aneh. Tak satupun berpikir dengan benar. Bagaimana mungkin di usia 11 tahun memikirkan begituan, naksir, menyukai lawan jenis. Apa penghuni panti ini sekumpulan orang tidak beres?
Mereka memasuki aula yang hampir semua bangkunya sudah terisi. Wow! Ternyata penghuni panti ini cukup banyak juga. Apa memang banyak anak malang di dunia ini layaknya aku dan Mirna, batin Jane mulai merasa santai. Suster Bernada masuk bersama dua orang pengasuh panti. Suasana yang semula riuh, perlahan berkurang kemudian hening.
“Baik, langsung saja. Beberapa diantara kalian sudah kenal, namun banyak yang belum. Jane, sini!” panggil Suster Bernada.
Jane menatap sekelilingnya. Tiba-tiba dia menjadi sangat gugup saat semua mata menatap ke arahnya.
Jane belum pernah dan tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini.
“Sini!” ulang Suster Bernada.
“Cepetan!” Mirna mendorong pelan punggung Jane.
Jane melangkah maju dengan gemetar.
“Suster yang memanggilmu. Lihat sini saja!” Suster memberi dukungan, seolah tahu apa yang dipikir Jane sekarang.
Jane mendongak menatap suster yang kini tersenyum ke arahnya. Langkahnya menjadi kian mantap.
“Nah, ini Jane. Mulai hari ini Jane akan menjadi teman kalian. Suster mohon kalian bisa membantunya beradaptasi di sini,” jelas Suster Bernada dengan intonasi penuh wibawa.
“Jane?” kini mata suster Bernada lekat menatap ke arahnya. “Ada yang ingin kamu sampaikan?”
Jane menggeleng cepat. Bahkan tak berani menatap mereka.
“Baiklah. Sekarang bereskan kamarmu! Bersihkan dirimu! Kita bertemu setengah jam lagi di meja makan,” kata suster mengakhiri pertemuan singkat sore ini. Sangat singkat. Untung saja.
Baru saja Jane bernapas lega, nyatanya beberapa kasak kusuk yang tertangkap telinganya membuatnya merana.
“Ada ya orang tua yang tega membuang anak secantik dia.”
“Dari tampangnya dia pasti anak orang kaya.”
“Ada yang bilang dia ini korban penculikan.”
“Sudah, tidak perlu didengar. Mereka selalu seperti ini tiap ada warga baru,” bisik Mirna menenangkan. Jane melirik teman barunya ini seraya memaksakan senyumnya.
“Hei! Ngomong-ngomong kamu belum cerita bagaimana sampai ke mari. Kamu masih punya orang tua? Di mana kamu tinggal sebelumnya? Apa suatu saat orang tuamu akan datang berkunjung?” Sambil berjalan menuju kamar Mirna banyak bertanya.
Sebagian Jane tidak tahu harus menjawab apa, sebagian lain tidak ingin menjawab. Sesungguhnya Jane tidak tahu persis apa yang sedang dialaminya sekarang. Juga bagaimana dia akan menjalani hidupnya. Mestikah dia akan tinggal di panti asuhan ini selamanya atau bagaimana masa depannya nanti. Jane hanya bisa berharap semua ini sekedar mimpi, meski mimpi buruk. Juga istirahat. Jane sudah lelah dengan apa yang dialaminya beberapa hari ini.
“Hei! Kok malah melamun? Kamu tidak mendengar pertanyaanku ya? Sepertinya kamu mengalami hari yang buruk,” bukannya diam dan memberi waktu rehat bagi dirinya, Mirna kembali nyerocos dengan banyak pertanyaan dan pernyataannya.
“Sudah sampai. Aku ingin istirahat sebentar, apakah boleh?” tanya Mirna saat sampai di depan pintu kamarnya.
“Emm sebenarnya boleh saja jika cuma sebentar, yang penting tidak telat jam makan. Dan itu 30 menit lagi. Itupun harus sudah mandi. Jadi rasanya tidak bisa,” Mirna terkikik seraya menunjuk kamarnya.
“Ha? Apa?” rasanya kesabaran Mirna mulai habis. Teman barunya ini sungguh mengesalkan.
“Lihat aja sendiri, masuklah!” bisik Mirna misterius. Dan entah bagaimana Jane kembali gugup. Jane memutar kenop pintu, membukanya hati-hati dan byur! Lima orang teman satu kamarnya mengguyurnya bersamaan. Astaga! Jane ingin sekali berteriak marah, namun lagi-lagi tidak bisa. Ya Tuhan, berapa lama aku akan tinggal bersama mereka, keluh Jane dalam hati. Jane menarik napas panjang. Semoga tidak untuk selamanya, harap Jane.

Komentar Buku (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru