logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Menjadi Salah Satu Di Antara Mereka

Jane menarik dan memeluk erat kedua kakinya seraya meletakkan dagu di atasnya. Semua perubahan terasa teramat cepat dan membingungkan. Andai mama dan papa berada disisinya. Di mana mereka sekarang? Oma? Jane menyesal, tahu begini dulu lebih baik menuruti semua, apapun kata mama. Baru terasa sungguh beruntung diperhatikan mama sedemikian. Baru terasa, masa kanaknya yang demikian bahagia berlalu begitu cepat. Jane membuang pandang ke luar, menyembunyikan tangisnya yang kembali mengalir. Rintik hujan yang nampak di kaca mobil makin membuat hati Jane pilu.
“Kamu basah Jane.” Teringat olehnya betapa mama kuatir meski hanya seujung rambut Jane yang terguyur air hujan. Jane terisak.
Pria itu menoleh sekilas.
“Pakai sabuk pengamanmu!” teriak pria itu. Sebentar kemudian mobil menderu, melaju makin cepat, bahkan mulai oleng ke kanan dan ke kiri.
Dor! Dor! Dor! Beberapa kali suara tembakan membuat tubuh Jane menggigil.
“Merunduk!” perintah pria itu.
Reflek Jane melompat turun dari jok dan meringkuk di lantai mobil dengan kedua tangan melindungi kepalanya. Mobil melaju makin cepat. Terdengar suara berdecit beberapa kali sebelum akhirnya tiba-tiba mobil berhenti mendadak dan pintu mobil terbuka dengan suara berdebam keras.
“Cepat keluar!” pria itu langsung menarik dan membopongnya begitu Jane berdiri. Jane memejamkan mata. Terus memejamkan mata meski desingan peluru terdengar begitu gencar tak jauh darinya.
“Ah!” pekik Jane. Tubuhnya terhempas keras di aspal jalan dan berguling, sampai berhenti setelah dua tangan menangkap dan mengangkat tubuhnya kembali. Namun itu tak lama.
“Kamu tidak apa-apa? Ada yang terluka? Coba angkat kedua tanganmu!” seorang perempuan berwajah lembut, mengenakan baju serta penutup kepala serba putih berjongkok tepat di depannya. Jane mengangkat kedua tangannya.
“Syukurlah. Sekarang coba kakimu satu persatu kamu angkat!” perintahnya.
Jane mengangkat kakinya bergantian sesuai instruksi perempuan itu.
“Bagus! Sekarang coba berdiri!” katanya lagi. Jane pun berdiri.
“Berjalanlah! Ayo sekarang ikut aku!” perempuan itu menggandeng Jane, dan Jane menurut saja. Di samping tidak pernah ada pilihan untuknya, perempuan ini berbeda. Dia tampak benar seperti orang baik pada umumnya. Mereka berhenti de depan sebuah gedung dengan pagar tinggi. perempuan itu memencet bel yang menempel di tembok samping pagar. Sebentar kemudian tampak bocah perempuan yang usianya tak jauh berbeda darinya tergopoh keluar untuk membukakan pintu.
“Susber pulang cepat? Suster tidak melewatkan pesananku bukan? Susber membawa teman baru?” tanya bocah perempuan itu bertubi-tubi, dan tak satu pun dijawab oleh perempuan yang dipanggil apa tadi? Susber? Nama yang aneh, batin Jane.
“Carikan baju ganti untuknya dan ajaklah makan!” perintah susber pada si bocah. Bocah perempuan dengan tahi lalat besar di hidungnya itu menoleh ke arahnya dan tersenyum lebar, lalu menarik tangannya.
“Ayo!”
“Ikutlah!” kata susber ini seraya menepuk bahuku.
Bocah perempuan itu mengambilkannya baju juga memberinya sepiring nasi lengkap beserta sayur serta lauknya, persis perintah susber tadi.
“Kamu dari mana?”
“Uhuk!” pertanyaan bocah itu membuat Jane tersedak. Jane menerima uluran segelas air dari tangan si bocah perempuan.
“Namamu siapa?” tanya si bocah perempuan, meski pertanyaan pertama belum sempat Jane jawab.
“Jane,” jawab Jane singkat.
“Mirna,” si bocah memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya. Lantas memberi kode supaya Jane melanjutkan makan, setelah tangan Jane menyambutnya. Jane sebenarnya kurang nyaman makan sambil terus diperhatikan seperti ini, namun di sisi merasa senang juga karena seperti mempunyai seorang kawan. Ini sungguh menentramkan. Terutama setelah semua peristiwa yang dialaminya. Jane hanya bisa berharap ini menjadi perjalanannya yang terakhir, paling tidak untuk hari ini. Apalagi jika sementara waktu boleh tinggal.
“Kak, apa sekarang sudah waktunya belajar?” kepala bocah laki-laki kecil menyembul dari balik pintu.
“Eh maaf.” Bocah itu beringsut mundur.
“Kebiasaan! Bukannya sudah sering kak Mirna bilang, ketuk dulu!” tegur Mirna.
“Apa dia adikmu?” tanya Jane penasaran.
“Ya, tentu saja. Kita semua di sini sudah seperti keluarga. Kamu pun akan segera menjadi kakaknya. Bukan begitu?”
“Mirna!” tegur perempuan yang dipanggil susber tadi. Jane lega tidak harus menjawab pertanyaan Mirna, lantas mengernyit. Dia mengira susber ini juga akan berganti baju setelah menyuruhnya ganti baju.
“Memberinya baju dan makan, Susber,” jawab Mirna salah tingkah.
Jane tersenyum. Mirna ini lucu juga. Sepertinya mereka akan segera akrab. Jane membalas lambaian tangan Mirna yang berlari masuk seraya menggandeng bocah laki-laki kecil yang memanggilnya dengan sebutan kak.
“Dia selalu berlebihan,” gumam perempuan yang dipanggil susber ini. Lantas duduk di kursi tepat di depan Jane. Sehingga Jane bisa mengamati dengan jelas rautnya yang meneduhkan. Susber ini mengamati wajah Jane cukup lama. Entah apa uang diterkanya.
“Siapa namamu?” tanyanya kemudian.
“Jane,” Jane balas menatap susber ini. Rasanya tidak ada yang perlu ditakuti darinya.
“Orang yang bersamamu itu, siapa dia?’
Jane menggeleng. Namun suster itu justru mengangguk, lantas kembali tersenyum. “Sudah kuduga,” katanya.
“Apa kamu korban penculikan?” Namun sebelum Jane menjawab, susber sudah bertanya lagi. “Di mana rumahmu? Kamu ingat kan?”
“Rumahku di Purwa. Tapi aku sedang mengunjungi rumah oma waktu itu.” Cerita Jane berhenti di situ.
Dadanya bagai dihantam palu saat ingin melanjutkan cerita. Jane tidak sanggup. Susber masih menunggu beberapa saat sebelum akhirnya.
“Aku Suster Bernada. Tapi anak-anak suka memanggilku susber. Dasar!” Suster Bernada berusaha mencairkan suasana. “Kamu boleh tinggal di sini kalau mau. Panti asuhan tidak terlalu buruk seperti yang dipikirkan anak rumahan sepertimu. Coba berbaurlah!”
Panti asuhan? Rumah ini sebuah panti asuhan? Batin Jane sedikit ngeri. “Terima kasih,” ucap Jane gugup.
Suster Bernada mengangguk lantas memanggil Mirna kembali. “Siapkan kasurnya!”
“Baik, susber,” Mirna menjawab dengan riang dan segera meraih tangan Jane. “Ayo! Kamu tidur di sebelahku.”
“Jane tidur di sebelah Mona. Siska sebentar lagi pulang,” tegas suster Bernada.
“Iya, susber!” Mirna nyengir.
"Kenapa mereka ada di sini ma? Apa mereka tidak punya rumah?"
"Mereka tidak punya mama atau papa atau keduanya, sayang."
Jane teringat percakapannya dengan mama waktu itu. Waktu Jane merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh di panti asuhan dekat rumah gara-gara Jane berteman dengan Mona, salah seorang anak yang tinggal di sana. Jane tidak percaya kini dia menjadi salah seorang diantara mereka. Ya, Jane memang pantas tinggal di sini. Jane tidak lagi punya mama papa. Sebulir air mata kembali jatuh di pipi. Jane segera mengusapnya sebelum semua orang tahu. Tanpa Jane sadari seorang bocah laki-laki memperhatikannya dari jauh.

Komentar Buku (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru