logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Apa Yang Terjadi?

Tubuh Jane masih menggigil saat satu tangan perempuan itu terulur meraihnya. Jane tak sanggup berontak meski ingin. Saat mestinya dia melakukan itu sekedar untuk membela diri sekalipun. Jane kecil kecewa pada dirinya sendiri. Jane terbiasa bersikap sopan dan hati-hati. Entah dari mana datangnya segala pemikiran dan pertimbangan yang masuk ke otaknya, tapi Jane selalu begitu. Terlalu dewasa bagi anak kecil seusianya atau barangkali memang sudah bakat menjadi seorang pemikir sejak awalnya.
“Tenanglah, aku tidak bermaksud buruk. Kau akan aman bersamaku,” tutur perempuan itu bermaksud menenangkan. Meski dengan tatap dingin.
Menyelamatkan? Menyelamatkan dari apa? Siapa? Batin Jane tidak mengerti. Apakah menjauhkan Jane dari oma dan kedua orang tuanya akan membuatnya aman? Jane benar-benar tidak paham.
“Anak malang. Aku tidak bisa menjelaskan apapun sekarang. Kau akan mengerti suatu saat nanti,” jelas perempuan itu seolah mengerti apa yang tengah dipikirkan Jane.
“Mama, papa…,” desah Jane. Hanya itu yang mampu keluar dari bibir mungilnya.
“Aku satu-satunya keluargamu sekarang,” bisik lembut perempuan itu. Meski itu tampak sangat kontras dengan perawakannya yang mirip pria.
Perempuan itu menggendongnya cukup lama, dan sudah pasti cukup jauh. Jane tidak tahu persis sekarang ini mereka berada di mana. Jane hanya mampu mengingat bahwa jalan yang mereka lalui makin lama makin sempit dan sepi. Bisa jadi mereka sekarang berada jauh dari kota. Anehnya Jane sama sekali tidak takut. Tubuhnya pun perlahan berhenti menggigil. Percaya perempuan ini bermaksud baik, pasrah pada nasib atau apa?
Sebuah pondok kecil tampak di depan mereka sekarang. Perempuan itu merogoh kunci dari saku bajunya lantas membawanya masuk. Jane terperangah dengan isi pondok yang meskipun sederhana tapi tampak bersih dan terawat juga terlihat sangat elegan sekaligus modern. Dapur yang dilengkapi dengan kulkas, microwave dan exhaust fan berwarna gelap jadi hal pertama yang menarik minat Jane.
“Bersihkan dirimu!” kata perempuan itu seraya menaruh Jane di kursi yang baru saja disibakkan penutupnya. Lantas beranjak masuk salah satu kamar, lalu sebentar keluar lagi dengan handuk di tangannya.
“Aku tidak terbiasa mandi air dingin,” keluh Jane.
“Kau harus membiasakannya mulai sekarang. Itu di sudut sana, pintu biru,” tangan perempuan itu menunjuk sebuah ruang yang Jane yakin adalah kamar mandi.
“Aku tidak mem-“
Belum selesai Jane bicara, perempuan itu melemparnya dengan sebuah baju. Akhirnya Jane beringsut turun dari kursi dan melangkah menuju kamar mandi tanpa membantah lagi.
“Duduk dan makanlah!” suruh perempuan itu saat melihat Jane baru keluar dari pintu kamar mandi. Jane duduk dengan patuh. Sudah sejak kemarin perutnya belum terisi apapun.
“Ibu ini siapa?” Jane bertanya seraya menyuapkan makannya pelan.
“Ibu?” perempuan itu menyeringai. Lantas kembali dingin menatap tajam Jane. “Aku teman ayahmu.” Wajah perempuan itu berubah merana. “Apapun kata orang, ayahmu itu orang baik bagiku. Bukan cuma aku tapi juga keluargaku sangat berhutang budi pada ayahmu. Ah sudahlah, lanjutkan makanmu! Habiskan! Kau perlu banyak energi untuk besok.”
“Untuk besok?” jane menelengkan kepala.
“Memangnya kamu suka tempat ini?” perempuan yang tak mau menyebutkan namanya itu bertanya jenaka.
Jane menggeleng pelan. “Ibu?”
“Ibu?” perempuan itu terbahak. “Kenapa?”
“Aku tidak berani tidur sendiri,” ragu Jane menyuarakan kata hatinya. Tapi perempuan itu justru kembali terbahak.
“Memang sebaiknya kau selalu di dekatku. Ayo!”
Jane mengekor perempuan itu. Mereka masuk dalam sebuah kamar berukuran medium namun cukup luas dan nyaman untuk ditempati berdua pun lengkap dengan AC. Meski menurut Jane tempat ini berhawa sejuk cenderung dingin jadi AC tidak begitu dibutuhkan.
“Kenapa? Tidurlah!” perempuan itu menegur Jane setelah sekian lama masih menatapnya heran.
“Ibu tidak tidur?”
“Nanti,” tukas perempuan itu.
Jane merebahkan tubuhnya, tidur meringkuk, lantas menyelimuti tubuhnya.
“Ibu punya keluarga?” Jane sebenarnya ingin tahu apa yang sedang dikerjakan perempuan itu karena dia berdiri membelakanginya, namun kuatir akan membuatnya tersinggung.
“Kau tidak memperhatikan ceritaku? Bukannya waktu itu sudah aku bilang,” perempuan itu menoleh.
“Maksudku di mana mereka? Apa kau juga punya anak seusiaku?” Jane bertanya seraya memiringkan kepalanya, berusaha mencuri lihat kesibukan yang dilakukan perempuan itu.
“Sudah. Tidurlah! Kau cerewet juga rupanya,” hardiknya.
Rasa ngantuk mulai menguasai tubuh Jane yang teramat lelah. Antara sadar dan tidak, Jane terkesiap. Pistol? Perempuan itu memegang pistol? Untuk apa? Apa yang akan dilakukannya? Apa dia yang sudah menyakiti kedua orang tuanya? Apa dia juga akan menyakiti Jane? Tapi jika ingin berbuat jahat, seharusnya dia sudah bisa melakukannya sejak semula. Tidak perlu membawa Jane sejauh ini. Lantas? Apa memang dia bermaksud menyelamatkan? Tapi dari apa? Siapa?
Dalam segala pemikirannya, Jane terlelap, kalah oleh rasa kantuk dan lelahnya.
-
Jane mengerjap seraya mengusap kepalanya. Matanya masih teramat susah untuk terbuka, namun kepalanya seperti terantuk benda keras, dan ini bukan kali pertama. Hanya tadi Jane masih tak kuasa membuka mata.
“Kau, sudah bangun rupanya.” Suara berat seorang pria yang menegurnya sontak membuat matanya terbuka lebar. Jane memandangi sekelilingnya. Apa ini mimpi? Bagaimana bisa aku berada dalam sebuah mobil? Heran Jane. Lantas? Di mana perempuan itu? Siapa pula orang ini?
“Di mana dia?” lirih Jane bertanya. Bukan karena dia kehilangan sosok perempuan itu. Jane hanya berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi padanya.
“Dia siapa?” pria itu kembali menoleh.
“Perempuan itu.”
“Sudahlah. Tenanglah. Aku akan membawamu ke tempat yang aman,” pria itu berusaha meyakinkan Jane dengan tatapan mengintimidasinya.
“Perempuan itu-“
“Brenda maksudmu? Dia yang memintaku membawamu, jadi tenanglah. Kau aman bersamaku.”
Brenda. Ternyata perempuan itu bernama Brenda. Apa yang terjadi dengannya? Kau aman bersamaku. Kenapa semua orang mengatakan itu? Sebetulnya apa yang terjadi? Kenapa Brenda menitipkannya pada pria ini?
“Memang sebaiknya kau selalu di dekatku.” Kata-kata Brenda, perempuan itu terlintas, membuat Jane makin bingung. Bayangan kedua orang tuanya kembali melintas.
“Mama, papa,” desah Jane. Air matanya kembali meleleh. Jane menangis dalam diam. Jane merasa bingung dan tersesat. Tubuhnya kembali bergetar. Teramat takut memikirkan akan ada apa lagi yang terjadi setelah ini. "Mama, papa," gumam Jane berulang kali.

Komentar Buku (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru