logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4

Istri Cacat CEO
Bab 4
Chris terbangun di pagi harinya dengan kepala yang berat disertai pusing. Ia membuka matanya perlahan lalu duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri.
Chris baru saja akan berdiri ketika matanya tak sengaja melihat cadar hitam yang teronggok di atas kasur tempatnya berbaring tadi. Keningnya berkerut.
"Siapa orang yang berani-beraninya meninggalkan benda miliknya di kamarku?" Dengan kepala yang masih terasa berat, Christ terus berbicara. Selama ini dirinya selalu menjaga privasinya dengan baik. Tak ada siapapun yang berani memasuki kawasan terlarang miliknya kecuali beberapa pengawal pribadi dan tentu saja Bram, asisten sekaligus sahabat baiknya. Bukan hal yang buruk, Christ bersikap demikian. Alasannya tentu saja agar tak ada orang yang berani memanfaatkannya di kemudian hari. Misalnya wanita penghibur, tak akan berani mengakui dirinya pernah berada bersama Christian, mengingat tak ada siapapun yang boleh masuk ke tempatnya saat ini. Dan itu terus berlaku sesuai arahan dari James, ayahnya.
Tentu saja lelaki tua itu takut jika suatu saat nanti terjadi skandal besar, dan James menemukan Olivia. Bagaimana dia harus bertanggung jawab pada sahabatnya yang telah memberikan kepercayaan padanya.
Christ berusaha menormalkan pikirannya. Ia berdiri lalu berpikir sesuatu.
'Pemilik cadar ini pasti dia.' Dengan sedikit marah di hatinya, Chris mengambil cadar itu kasar lalu berjalan cepat menuju ke kamar asistennya, Via.
Saat itu Via tengah menyisir rambutnya yang basah. Ia terkejut ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan sedikit kencang. Menampilkan sosok tinggi besar yang dipapahnya semalam. Si tuan pemabuk yang tak sengaja membuatnya jatuh ke pelukan.
"Tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Via takut-takut melihat ekspresi wajah Christ yang melotot ke arahnya. Untunglah separuh wajah Via yang cacat tertutupi oleh rambutnya yang panjang sehingga luka itu tidak terlihat oleh Christ. Saat ini pula, Christ bisa dengan jelas menatap wajah Via tanpa ditutupi oleh cadar meski hanya dari samping.
"Bisakah kau jelaskan kenapa ada cadarmu di atas tempat tidurku?" tanya Chris marah.
"Maaf tuan. I-itu tidak disengaja. Semalam Anda ada mabuk jadi saya--"
"Ok, cukup, hentikan. Aku akan terlambat ke kantor pagi ini jadi tolong buatkan aku sarapan." perintahnya dingin sambil berlalu. Via langsung mengangguk tanda mengerti.Christ berpikir sejenak, merutuki kebodohannya yang membuat asistennya ketakutan. Christ merasa sudah gila sekarang.
Sekembalinya dari kamar Via, Chris tersenyum simpul. Sesaat setelah melihat wajah Via, hatinya berdetak tidak karuan, bahkan dirinya seperti pernah melihat gadis itu di suatu tempat namun entah dimana. Chris masih menggenggam cadar Via ditangannya. Entah mengapa hatinya jadi menghangat.
*****
Christ sudah siap dengan pakaian kantor yang dikenakannya. Buru-buru ia pergi ke arah dapur untuk menikmati sarapan paginya. Christ tertegun melihat Via menggunakan cadarnya sambil mencuci piring. Via sedikit mengangguk tanda hormat. Diatas meja makan sebuah sandwich dan kopi hitam yang masih mengepul menanti Christ untuk menyantapnya.
"Kenapa kau memakai cadar di sini? Ini bukan negara Arab, jadi kamu bebas memakai baju apapun yang menurutmu nyaman."
Via tertegun. Ia sendiri bingung harus mengatakan apa. Haruskah ia berkata bahwa cadar itu untuk menutupi luka cacat di wajahnya. Via menggeleng. Jika Christ mengetahui cacatnya dia pasti akan merasa jijik dan langsung mengusirnya pergi. Lalu bagaimana dengan pengobatan sang ayah yang membutuhkan banyak biaya pengobatan. Tidak, itu tidak boleh terjadi.
"Saya nyaman menggunakan ini, Tuan."
"Tapi sekarang musim panas. Apa kamu tidak merasa kepanasan?" tanya Christ heran.
Via hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Tidak," balasnya pelan.
"Terserah lah!" tukas Christ sambil menikmati sarapannya.
"Kopinya enak. Terima kasih." Christ berlalu tanpa mendengar komentar dari Via. Via sendiri merasa lebih baik, saat bosnya itu tidak rewel bahkan perangainya terkesan cukup baik meskipun terkesan agak dingin..
*****
Mobil mewah yang membawanya ke tempatnya bekerja. Christ turun dari kendaraan mewah miliknya lalu berjalan dengan gagah tanpa melihat ke berbagai arah. Tiap orang yang berpapasan dengannya, menunduk hormat tanda bahwa si lelaki di depannya mempunyai pengaruh yang sangat tinggi di tempat itu. Christ langsung saja mendudukkan pantatnya di kantor ketika Bram memberitahu ada sebuah panggilan masuk berasal dari anak buahnya di Indonesia.
"Apakah ada informasi terbaru?" tanyanya dingin.
"Yah, Tuan. Kami telah menemukan alamat Nona Olivia beserta ibunya, namun ada seseorang yang menjemput mereka dengan mobil mewah dan hingga saat ini mereka tidak kembali lagi ke rumahnya. Dan saat ini kami sedang mencari pemilik mobil itu," ujar anak buah Christ dari seberang.
"Bagus, cari terus informasi sampai kamu bisa menemukan Olivia."
"Baik, Tuan."
Christ tersenyum simpul, ia merasa senang atas informasi yang diberikan oleh anak buahnya. Ia berpikir tak lama lagi Ia akan menemukan Olivia. Meski kelak Olivia tak ingin bersamanya, setidaknya janji sang ayah kepada sahabatnya akan terpenuhi dan dirinya bebas untuk menentukan pilihan, bersama siapa ia akan melanjutkan hidupnya kedepannya.
"Sepertinya anda sedang senang, Tuan?" tanya Bram saat melihat ekspresi bos sekaligus sahabatnya itu sedikit tersenyum.
"Hei, sudah berapa kali aku bilang, berhenti memanggilku tuan saat nggak ada orang lain." Chris mendelik.
"Mana berani aku, Tuan," canda Bram sambil menaik turunkan alisnya.
"Kau ingin aku pecat rupanya," balas Christ dingin.
"Kau selalu menyeramkan saat sedang marah, Tuan." Bram terkikik sambil berlalu dari hadapan bosnya.

Komentar Buku (536)

  • avatar
    nr.syhiraa

    Really No

    2d

      0
  • avatar
    Ismuliadi

    semoga lebih baik

    5d

      0
  • avatar
    Wiwi Ivan

    bgus

    5d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru