logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 RAJA #1

"Kak Elang mana, Mam?" Raja menarik kursi makan dan menghempaskan badannya. "Papa belum pulang sejak kapan?"
Tante Mira, Mami Raja, menoleh sekilas ke arah putranya. "Elang lagi di rumah sebelah. Makan malam di sana. Papimu lusa baru pulang."
Tangan Raja yang hendak menyendok nasi, terhenti di udara. "Sejak kapan Kak Elang makan di rumah sebelah? Mami kasih dia untuk diadopsi ya?"
Tante Mira tertawa. "Tentu saja tidak. Lagian, apa yang salah, kalau Elang makan di sana? Sama saja seperti kalau Indi makan di sini. Kita kan sudah seperti keluarga," sahut Tante Mira ringan. "Mana adikmu?"
Raja menoleh sekilas ke arah ruang keluarga. "Kayaknya Camar lagi mandi."
"Raja ... mami senang sekali, tiap akhir pekan kau mau pulang ke rumah dan makan di sini, " Tante Mira menatap putranya dengan sayang.
Raja tersenyum. "Tentu saja Mam. Akan Raja usahakan untuk bisa pulang tiap minggunya."
"Siapa yang pulang tiap minggu?" Camar datang dan menarik kursi di samping kakaknya. "Mana Kak Elang?"
"Diadopsi Tante Retno, " jawab Raja sekenanya.
"Apaa??"
"Rajawali!" tegur maminya.
Raja cengengesan. "Sori. Kak El lagi makan di rumah sebelah."
"Sejak kapan dia pindah rumah?" Camar mengerutkan kening.
Raja mengangkat bahu. "Nggak tahu. Sejak jadi duda, makin centil saja tuh orang."
"Rajawali!" tegur maminya lagi.
"Sori, Mam. Eh Mam, mumpung Kak Elang lagi di rumah sebelah, aku juga mau pindah makan ya, di sana? Boleh kan?" Raja pura-pura mengangkat piringnya dan bersiap untuk bangkit berdiri.
"R-a-j-a-w-a-l-i! Stop! Duduk dan habiskan nasimu, " titah Maminya.
Raja meletakkan kembali piringnya di meja sambil meringis. "Maaf mam, hanya bercanda ..."
Camar melempar kakaknya dengan sebiji kerupuk. "Dasar ganjen!"
Lama setelah acara makan malam itu, yang nyaris nggak bisa dinikmatinya, Raja masih terjaga di balkon. Kamarnya berseberangan dengan kamar Elang, ia tahu bahwa kakaknya baru saja pulang dari rumah Indi dan itu baru sepuluh menit yang lalu! Padahal sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Astaga, apa yang dilakukan kakaknya dirumah Indi sampai ia pulang jauh malam? Dan sekarang sepertinya kakaknya itu sedang ngobrol dengan maminya diruang tengah. Menuruti rasa penasarannya, laki-laki muda itu turun dan menuju dapur untuk membuat secangkir coklat panas. Bik Mus tergopoh-gopoh hendak membantu, tapi Raja mencegahnya dan menyuruh wanita tua itu untuk kembali beristirahat.
Kembali ke kamarnya, ia sengaja melewati Mama dan Kakaknya yang sedang berbincang.
"Aku nggak melihatmu saat makan malam tadi. Kemana saja?" Raja menghampiri kakaknya. Elang berdiri dan menyambut Raja. Mereka berpelukan sesaat dan Elang menepuk bahu adiknya.
"Indi mengundangku makan di rumahnya."
Raja mengangkat sebelah alisnya. "Mengundangmu?"
Elang tertawa. "Aku hanya mampir sebentar ke rumahnya. Lalu aku bantuin dia masak dan yah, dia mengajakku untuk ikut makan malam sekalian bareng keluarganya."
"Aku senang, Kak. Sepertinya kau sudah mulai terbuka lagi dengan kehidupan sosialmu, " ujar Raja, melihat reaksi kakaknya.
"Kalau yang kau maksud adalah makan malam bareng keluarga Om Handoko yang sudah seperti keluarga sendiri dan Indi yang sudah seperti adikku sendiri ... wah, tragis juga ya kehidupan sosialku," sahut Elang ringan, tak menyadari maksud perkataan Raja.
"Mungkin minggu depan aku juga akan ke rumah Indi, Mam ... bawain dia seikat bunga atau apalah, dan bantuin dia di dapur, supaya aku diundang makan juga di rumahnya," Raja memainkan cangkirnya. Nada suaranya terdengar ketus di setiap kata.
"Raj? Ada apa denganmu, Nak?" tanya maminya. Wanita itu merasakan perubahan sikap Raja yang mulai kumat temperamennya.
Tapi Elang hanya menanggapinya dengan santai. "Coba saja Raj, bawain dia sekeranjang bunga mawar atau apa ..."
Raja bangkit berdiri. "Raja pergi dulu, Mam. Ngantuk."
Maminya menoleh ke arah Elang. "Ada apa sama adikmu?"
Elang mengangkat bahu. "Capek sama kerjaan kali, Mam ...
Sembari menatap pemandangan kota di kejauhan dan suasana jalanan depan rumah yang lengang, ingatan Raja mengembara di beberapa minggu yang lalu, saat ia mengunjungi rumah Maminya seperti biasa.
**
Sabtu pagi itu ia sengaja pulang ke rumah Maminya, setelah lima hari kerja yang melelahkan. Begitu banyak pekerjaan yang menuntut perhatiannya. Belum lagi rencana kunjungan ke Singapura dua minggu lagi, untuk menghadiri pertemuan pengusaha muda dan dia adalah salah satu perwakilan yang ditunjuk oleh Bos untuk ikut. Seharusnya kepulangannya ini menjadi salah satu cara untuk refresh, kembali berkumpul dengan keluarganya dan meninggalkan begitu saja apartemennya di daerah Pakuwon City.
Sore itu ia ingin menyegarkan diri, air biru jernih di kolam samping rumah begitu menggiurkan hingga setelah istirahat siang ia langsung menyeburkan diri. Pada saat hari beranjak senja, Raja memutuskan untuk menyudahi acara berenangnya. Dengan hanya mengenakan jubah mandi, ia menuju dapur, hendak mengambil jus melon yang sudah ia pesan pada Bik Mus. Tapi saat ia hendak melewati pintu, kelihatanlah olehnya, kakak sulungnya sedang bercanda dan tertawa-tawa dengan Indi ...
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi antara mereka berdua, tapi melihat kakaknya bertingkah seperti remaja tujuh belas tahun yang sedang mengalami puber pertama dan senyum manis Indi, menatap kakaknya dengan pandangan memuja ...
Bukan ini yang ia harapkan. Maksudnya, demi Tuhan, Indi itu bukan orang lain. Ia pulang ke rumah karena ingin menyegarkan pikirannya. Tapi saat pulang dan didapatinya kakaknya sedang centil begitu dengan gadis yang sudah mereka anggap adik sendiri. Bah! Umpat Raja dalam hati. Adik apa ... saat Indi masih kecil, mungkin. Tapi kalau waktu sepuluh tahun bisa mengubah Indi, gadis kecil yang tomboi menjadi seorang gadis remaja cantik menawan dengan postur tinggi ramping dan rambut hitam panjang hingga sepinggang, mata cowok manapun pasti nggak akan melewatkan kesempatan untuk memandang.
Otak Raja mulai panas. Nggak. Indi nggak boleh jatuh cinta pada kakaknya. Nggak sepadan. Usia mereka terpaut jauh, batin Raja. Lagipula, kakaknya itu sudah duda.
Akhirnya ia kembali ke kolam renang, memasukkan kepalanya ke dalam air dan mulai berenang lagi. Ia ingat beberapa bulan yang lalu saat ia mengajak Indi mendaki Rinjani. Hampir seminggu mereka melakukan ekspedisi. Waktu itu ia bersama teman-temannya. Enam orang termasuk Indi dan dirinya. Selama pendakian Indi sama sekali nggak rewel. Bukan tipe cewek manja yang gampang mengeluh.
Raja tidak ingat persis bagaimana awalnya, tapi saat mereka mencapai puncak Rinjani di pagi hari, dengan latar belakang matahari yang bersinar dan air danau tiga warna yang berkilau, Raja baru benar-benar menyadari kalau Indi amat cantik. Saat itu ia mencaci dirinya sendiri, manakala disadarinya ia telah jatuh cinta ...
Sial! Bahkan perasaan itupun Raja nggak tahu kapan datangnya, atau bahkan diharapkannya. Merasa pusing karena kebanyakan menyelam, Raja menyerah.
Akhirnya ia keluar dari kolam dan memakai jubah mandinya. Ia harus menghadapi pemandangan itu secara jantan. Tapi ia masuk lewat pintu samping, menolak untuk lewat dapur. Masih terlalu egois untuk mengakui bahwa ia sedikit shock melihat kakaknya bercanda dengan Indi.
Raja juga ingat saat makan malam sesudah insiden pemandangan itu. Ia mengingat lagi saat maminya menawarkan liburan ke Bali, yang akhirnya batal.
"Camaaaar ... turuuuun, makan duluuu," teriak Maminya lantang. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sedang menata meja makan.
"Mam, nggak usah teriak-teriak begitu. Kasihan urat leher Mami, " kalem suara Elang terdengar. Laki-laki itu sedang sibuk mengupas jeruk. "Eh, Mam ... bisa nggak bikin kue dari jeruk ya?"
"Mami nggak bisa, El. Indi yang bisa. Tiga minggu yang lalu dia mengacak-acak dapur dan eksperimen membuat cake orange," ujar Maminya sambil tertawa. "Eh, berhasil. Kuenya enak banget. Papimu tuh yang ngabisin."
"Papi kemana, Mam?" Raja membuka tutup toples tempat kerupuk dan mengambil isinya.
"Tadi siang sih telepon, masih di Manado. Mengurus pabrik barunya yang disana. Camar, ayo duduk. Kita segera makan. Duduk di sana," tunjuk Maminya ke arah kursi yang berseberangan dengan Elang. "Raj, duduk."
"Siap!" Raja cengengesan. "Mami ini lupa ya, kalau kita sudah bukan anak kelas lima esde lagi."
"Gimana kerjaan, Raj? Urusan sama Bos, lancar?" tanya Maminya.
"Beres Mam. Minggu depan mau ke Singapura nih, mungkin seminggu disana, " Raja mengambil nasi untuk yang kedua kalinya. "Ayam kecapnya enak nih, Mam."
"Oh ya? Kebetulan tadi siang Indi yang bikin tuh ayam kecap," jawab Maminya santai.
Raja langsung tersedak. Sementara Elang pura-pura mengambil minum dan Camar yang mendadak perlu pergi untuk mencuci tangan di wastafel, meski ia makan memakai sendok.
"Kamu gimana, El? Kerjaan oke?" tanya Maminya.
"Baik-baik saja, Mam," Elang mendorong piringnya yang kosong ke tengah. Menata sendok dan garpunya dengan rapi, lalu meneguk air putih.
"Memangnya sejak kapan Mami minta Indi buat bantu-bantu Mami di dapur? Bik Mus kemana?" Camar bertanya dengan cemberut.
"Saya, Den Bagus ... memanggil saya?" mendadak seorang wanita lima puluhan muncul dari pintu dapur.
Elang dan Raja meledak tertawa, sementara Camar semakin merengut. Maminya memalingkan muka dengan senyum tertahan.
"Mami senang kalian semua ngumpul di rumah, terutama saat Papimu sedang keluar untuk mengurus pabriknya. Kamu, El," tunjuk Maminya. "Nggak melulu menghabiskan dua puluh empat dalam seminggu di pesawat. Kamu, Raj ...nggak selalu menghabiskan waktu di kantor dan melototi komputer dan kamu, Cam ... sibuk melulu di kampus. Entah berapa kegiatan mahasiswa yang kamu ikuti."
Ketiganya menatap Mami mereka dengan tercengang. Sesaat hening. Kemudian Camar angkat bicara.
"Maksudnya apa, Mam? Kami semua selalu ingat Mami. Buktinya kami selalu pulang tiap akhir pekan. Ya kan?"
"Maafin kami, Mam. Kami nggak bermaksud sok sibuk dengan urusan dan pekerjaan kami," tambah Raja. "Kami akan pulang sesering kami bisa."
Elang mengerutkan kening. "Sebentar. Ada yang Mami inginkan dari kami?"
Mami tersenyum. "Ah, rupanya Elang sudah bisa membaca kemauan Mami. Rencananya, minggu depan Mami mau ngajak kalian refreshing. Sudah lama kita nggak mengunjungi villa keluarga di Nusa Dua."
"Kalau yang Mami maksud soal tiket, gampang Mam," ujar Elang. Tangannya kembali sibuk mengupas jeruk.
"Ide bagus, Mam," Raja menyambut dengan bersemangat. "Akan kuagendakan cuti minggu depan."
"Kak, jeruknya jangan diabisin dong. Masa sekeranjang mau dimakan sendiri?" serobot Camar.
"Lho, kupikir nggak ada yang mau," kata Elang sok polos.
"Anak-anak, dengarkan dulu. Karena cuma kita berempat, Papi memastikan beliau akan menyusul saja, terutama untuk transfer dana, " Mami berhenti sejenak karena dilihatnya ketiga anak lelakinya menahan senyum. "Mami ingin mengajak Indi ikut serta dengan kita. Bagaimana menurut kalian?"
"Tidak."
"Tidak."
"Tidak."
Elang, Raja dan Camar menjawab serempak. Tidaknya Elang bernada nggak rela, tidaknya Raja terkesan tak percaya dan tidaknya Camar mengandung rasa kesal.
Gantian sekarang Mami yang tertegun. Wanita itu menatap putranya satu persatu, menilai suasana hati mereka, lalu tersenyum arif.
"Baiklah. Kenapa kalian menolak?"
"Aku ada kegiatan expo di kampus, Mam, " kilah Camar. "Sudah masuk dalam kepanitiaan. Masa iya mau mangkir?" Camar tak sanggup menatap mata Maminya.
"Kan, Raja ada jadwal ke Singapura, Mam. Belum bisa dipastikan udah balik atau belum, " kata Raja. Nadanya penuh sesal.
"Bagaimana dengan kamu, El?" Mami menoleh ke arah Elang.
Elang mengelus dagunya, lalu menatap kedua adiknya. "Yah, well ... kalau mereka berdua nggak bisa ya udah Mam, nggak usah dipaksa. Aku dengan senang hati menemani Mami ke Nusa Dua, bareng cewek cantik sebelah rumah dan menghabiskan beberapa hari disana. Meski harus mengorbankan jadwal terbang dan ...," Elang meringis dan tersenyum jail, jelas-jelas menggoda kedua adiknya.
"Nggak bisa. Kak Elang curang, " Camar melempar serbet ke arah Elang.
"Kak Elang mesti mau menang sendiri," gerutu Raja.
Tawa Elang meledak. "Kalian gampang banget dibohongin sih. Jelas aku nggak mau kalau liburan sendirian. Nggak asik."
Gantian Raja yang melempar serbet, yang ditangkap Elang dengan tangkas.
"Rajawali, stop!" tegur Mami.
"Siap!"
"Baiklah, Anak-anak. Karena kalian nggak ada yang setuju kalau Mami mengajak Indi, liburan batal. Acara makan malam, cukup sekian. Bersihkan piring masing-masing," titah Maminya, lalu bangkit berdiri.
Menghirup coklatnya yang mulai dingin, Raja berpikir bagaimana caranya agar Indi tidak jatuh cinta pada kakaknya. Pada saat ia menatap bayangan runcing yang menjulang di kejauhan dalam gelapnya malam, ia tahu sekarang harus berbuat apa.

Komentar Buku (117)

  • avatar
    WicaksanaWira

    okk

    21/08

      0
  • avatar
    Zakihanan

    bagus

    13/08

      0
  • avatar
    GabrielaFelicia

    SGT seru ceritanya

    07/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru