logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7

Diksi bagai dihantam ombak besar, dadanya bergemuruh dan mulai sesak. Lalu ia memejamkan mata, menelan pahitnya pil kehidupan. Meratapi takdir yang begitu tak berperi kepadanya.
Sungguh tragis skenario Tuhan yang harus ia jalani. Mulai dari terpaksa menikah, kehidupan rumah tangga yang dingin, mengalami kecelakaan dan sekarang ia akan diceraikan. Haruskah Diksi menangis dan meratapi hidup lebih dalam?
Selama ini, Diksi mengira suami yang sudah membersamai dua tahun belakang itu mencintainya tulus. Namun, apa yang terjadi sekarang? Lelaki yang selalu menatapnya dengan cinta, adakah dia bersandiwara?
Kemana rasa cinta itu pergi, benarkah sudah tak ada atau memang hanya tipuan dari pertama. Mungkinkah karena ada wanita lain selain dirinya?
Foto itu, Diksi ingat perempuan yang merangkul mesra suaminya. Wanita itukah penggantinya?
"Apa wanita dalam foto yang kutemukan di agendamu, Mas? Diakah yang akan kau nikahi?" tekan Diksi pada Leon.
Leon mengedikkan bahu, sorot matanya tak acuh pada istrinya. Ia menarik kedua telapak tangan dari saku celananya lalu bersedekap dada.
"Ya. Bagaimanapun aku seorang lelaki, normal jika menginginkan wanita yang selalu menemani dan … memberikanku anak," cetus Leon menyayat hati istrinya.
Diksi kembali berlinang air mata, ucapan suaminya barusan sungguh tajam hingga menancap jantung. Realita pun seperti menampar keras pipi, sungguh menjadi ironi dalam kehidupannya kini.
Hesti yang berdiri di samping Leon sedari tadi menyimak dan juga tak terima putrinya diperlakukan seperti itu. Bagai habis manis sepah dibuang. Putrinya yang lumpuh diceraikan karena sudah tak lagi sempurna.
Hesti hendak menyatakan amarah. Matanya mendelik menatap menantunya dan tangannya terkepal. Urat-urat di sepanjang tangan dan lengan tampak menonjol, tanda kuatnya ia menahan gemuruh di dada.
"Jangan ikut campur urusanku dan Diksi, Bu," seloroh Leon menyadari perubahan sikap ibu mertuanya. Ditatapnya tajam tepat pada kedua bola mata wanita paruh baya itu lalu berkata, "semua yang aku katakan kenyataan. Memang benar, kan, jika anakmu sudah tidak bisa mendampingi, melayani dan memberikanku anak? Saya sudah berbicara pada dokter yang menangani Diksi. Itulah alasan kenapa aku meminta cerai."
"Kau --," ucap Hesti seraya mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Leon.
"Apa, Bu?" Leon memegang tangan Hesti dan menurunkannya. "Kuharap ibu tak menghalangi niatku untuk menceraikan istriku jika tidak ingin sesi--."
"Stop, Mas," jerit Diksi memotong ucapan suaminya. "Silakan ceraikan aku, langsung urus saja ke pengadilan. Sidang akan berjalan mulus karena aku tak akan datang. Aku tunggu surat cerai darimu. Sekarang, kumohon pergilah dan jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi. Ini adalah pertemuan terakhir kita."
Selarik senyum sinis terbit di bibir Leon. Ia puas memandang istrinya hancur, bisa dipastikan keluarganya juga makin patah berkeping-keping. Memang itulah tujuannya.
"Baiklah, istriku. Aku turuti ucapanmu. Kudoakan semoga kau masih bisa sembuh, ya," ucap Leon dan diakhiri dengan derai tawa lalu pergi meninggalkan ruang rawat inap calon mantan istrinya.
Suara pintu ditutup dengan keras menjadi pembuka ratapan Diksi. Ia mulai menjerit dan meraung dalam tangis sedangkan ibunya hanya terguguk. Hesti menutup mulut dengan kedua tangan agar tak mengeluarkan suara, ia tak ingin menambah derita anaknya.
"Lihat, kan, Bu? Leon menceraikanku, dia membuangku!" Diksi mulai mengamuk, ia memukulkan tangan ke sembarang arah. Sakit fisiknya tak seberapa dibanding dengan sakit di hatinya. Jarum infus di tangannya pun terlepas, membuat darah merah tercecer di selimut dan bajunya.
Hesti panik. Ia bertindak cepat memegang tangan putrinya agar tak bisa bergerak lebih jauh. Khawatir jika gerakan Diksi membuat jaringan luka kembali terbuka.
"Suster!" teriak Hesti memanggil bantuan.
Ia mengulang hingga tiga kali tetapi yang dipanggil tak kunjung datang. Ia pun menyadari kesalahannya lalu melepas satu tangannya meraih bel dan memencetnya beberapa kali. 'Dasar bodoh,' rutuknya dalam hati.
Diksi masih berontak dalam dekapan ibunya, ia seperti kehilangan kewarasan. Dari bibirnya lirih terdengar umpatan serta ratapan tentang nasibnya dan sesekali terhadap suaminya.
'Ya Allah, jangan biarkan putriku depresi. Berikan ia kesembuhan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan hidupnya,' ratap Hesti mengiba pada Tuhannya dalam hati.
Pipi Hesti basah oleh genangan air dari matanya, sesekali ia mengusap dengan baju yang melekat di pundak. Namun, tak kunjung kering karena telah bercampur dengan keringat yang mengucur dari dahi.
Dua orang suster datang dan membuka pintu. Setelah melihat pemandangan dalam ruangan, mereka berlari menghampiri. Tak lama mereka membagi tugas, satu perawat membantu Hesti sedangkan yang lain kembali untuk mengambil ganti jarum infus dan menghubungi dokter.
Perawat tiba dengan napas ngos-ngosan. Membawa jarum dan obat penenang, ia pun segera menyuntikkan obat itu agar Diksi kembali tenang. Setelah obat bereaksi, kedua perawat mulai membersihkan luka bekas infus dan memasang jarum di lain tempat. Dalam waktu lima belas menit tugas mereka pun usai.
"Bu, usahakan pasien jangan banyak bergerak dan mengamuk seperti tadi. Kasihan kalau jarumnya lepas, darahnya juga sampai berceceran. Kondisi psikis pasien juga dijaga, biar nanti tidak mempengaruhi proses operasi selanjutnya," ucap salah satu perawat sebelum meninggalkan ruangan.
"Iya, saya usahakan, Sus. Terima kasih sudah sigap menangani Diksi," jawab Hesti sambil mengelus lengan putrinya. Raut di wajahnya tampak lega walaupun penampilannya awut-awutan.
"Ya sudah kami permisi, Bu. Nanti kami panggilkan petugas untuk mengganti selimut dan baju yang bersih untuk anak ibu."
"Iya, silakan, Sus."
Hari-hari berikutnya dilalui Diksi dengan sendu dan semangat hidupnya bagai punah. Ia hanya diam, merenung dan menangis. Tatapan matanya seakan kosong. Sedikit bersuara ketika berinteraksi dengan orang yang mengajaknya bicara, selebihnya dia diam.
Kondisi ini membuat khawatir keluarganya, terutama sang ibu yang selalu menemani. Pun dokter yang menangani, tak kurang terus memberi semangat dan dorongan agar tetap kuat dan ceria menanti kesembuhan.
"Bu, Diksi ingin mati saja!"
Hesti yang baru saja keluar dari kamar mandi sontak melebarkan mata. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat mendengar ucapan anaknya. Lalu ia berlari, mendekati ranjang putrinya dan menggenggam erat tangan kanan Diksi yang bebas dari jarum infus.
"Jangan, Diksi! Jangan pernah bicara seperti itu lagi!" ucap Hesti seraya mendekatkan tangan putrinya ke bibir lalu menciumnya. "Ibu takrela jika harus berpisah denganmu sekarang, Nak."
"Tapi Diksi sudah takkuat, Bu. Aku ingin menyerah saja," ujar Diksi lemas.
Hesti memandang wajah anaknya yang pucat dengan lingkaran hitam di kedua mata. Ia lalu menggelengkan kepala, mengulurkan satu tangannya untuk mengelus pucuk kepala Diksi.
Terdengar ketukan ketika Hesti hendak membuka mulut. Sontak ibu dan anak tersebut mengalihkan pandangan ke arah pintu.
"Ibu buka pintunya dulu. Kamu jangan pernah berpikir untuk meninggalkan ibu lagi, ingat itu!"
Hesti berjalan memutari ranjang untuk membuka pintu. Ia terkejut melihat sosok di balik pintu, begitupun Diksi. Mata wanita muda itu tak sengaja bersirobok dengan seseorang yang berdiri di hadapan ibunya. Diksi mengenalinya walaupun dari kejauhan, pun merindunya sekian lama.
***

Komentar Buku (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    14d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru