logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Tajamnya Mulut Tetangga

Entah mengapa, hatiku terasa perih mendengar pertanyaannya. Tuhan … apa jadinya kalau dia tahu hal yang sebenarnya?
" Dokter Dira menyuruh kita makan-makanan bergizi dan vitamin, mudah-mudahan secepatnya aku hamil. Sayang, aku mandi ya," pamitku tanpa menunggu tanggapan darinya, atas pernyataanku tadi.
Aku terpaksa berdusta, sungguh aku tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Biarlah, biarkan aku saja yang merasakan perih ini jangan Tesla. Aku tidak sanggup melihatnya merana, jika dia tahu hal yang sebenarnya. Lagi pula aku tidak sanggup, bila harus melihat sinar kekecewaan dari sorot matanya.
Jadi biarlah, untuk sementara aku simpan saja cerita yang sesungguhnya. Sementara itu aku akan terus berusaha, dan berharap. Aku yakin suatu hari nanti Tuhan akan menjawab doa-doaku. Bukan tidak mungkin, sekarang Tuhan sedang mengujiku, agar aku semakin dekat dengan-Nya. Lebih taat lagi dalam menjalankan perintah-Nya, dan pelan-pelan meninggalkan segala larangan-Nya.
***
Pukul enam pagi, aku melangkahkan kaki menuju warung Kak Morina, wanita berdarah batak itu setiap hari berdagang sayuran segar. Saat aku sampai di sana, warung sudah ramai oleh ibu-ibu yang juga ingin berbelanja.
"Eh, Jeung Amy, apa kabar?" sapa Ce Julie, tetanggaku, yang warga keturunan.
Cece Julie memang ramah, dia mudah sekali membaur dengan masyarakat sekitar. Tidak seperti kebanyakan warga keturunan pada umumnya, yang selalu berjarak dengan warga pribumi.
"Baik Ce, Alhamdulillah," jawabku.
Ce Julie tersenyum, dan kembali asyik mengumpulkan bahan belanjaan.
"Jeung Amy, belum hamil juga ya?"
Pertanyaan itu sontak membuatku menoleh, bu Siti--tetangga tiga rumah dari rumahku tampak tersenyum simpul. Aku membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala, bu Siti memang begitu setiap kali bertemu aku pasti bertanya apakah aku sudah hamil atau belum.
"Waduh kok belum hamil juga Jeung Amy? Apa gak pengen atuh, punya anak kayak kita-kita ini?" Sambungnya.
Aku masih tersenyum dan tetap diam, bingung mau menjawab apa sekaligus juga bosan dengan pertanyaannya.
"Memang sudah berapa lama nikahnya?" tanya seorang yang lain.
Aku menoleh untuk melihat siapa gerangan yang bertanya, rupanya ia Rina--teman karib bu Siti. Aku memang tidak terlalu mengenal Rina, karena setahuku dia jarang ikut perkumpulan ibu-ibu komplek, katanya Rina ini sibuk bekerja.
"Eh udah lama dia mah nikahnya, iyakan Jeung Amy ya? Kalau tidak salah ingat, waktu itu Jeung Amy bilang udah lima tahun lebih ya?" Sahut bu Siti.
Aku tetap diam membiarkan mereka berghibah di depanku.
"Wah, apa gak rewel tu suaminya? Aku dulu pas masih beberapa bulan nikah tapi belum telat juga, ya ampun suami rewelnya gak ketulungan. Sampai-sampai aku disuruh vakum bekerja, biar bisa cepat hamil," ujar Rina curhat.
"Hati-hati loh Jeung, nanti suamimu berpoligami, kalau kamu tidak hamil-hamil."
Seperti ada yang menyentak urat syaraf, ketika aku mendengar kata poligami. Sungguh, selama ini aku tidak berpikir sampai sejauh itu, aku yakin Tesla akan tetap setia. Meski seumur hidup kami tidak memiliki anak.
"Ini togenya segar kali, Dek Amy, ambillah, kau buat sayur lodeh campur tahu enak kali ini," tawar Kak Morina--pemilik warung.
Suaranya yang besar membuyarkan lamunanku, entah karena terkejut atau bagaimana tanpa diperintah otak tanganku sigap. Mengambil sayur toge, yang ditawarkan.
"Iya Jeung Amy, sayur toge bagus itu untuk kesuburan," sambar Bu Siti, yang ditimpali tawa cekikikan teman-temannya.
Mungkin bagi mereka candaan itu terdengar lucu, tetapi bagiku semua itu seperti hantaman ribuan paku. Sakit, perih, menusuk-nusuk hati. Aku ingin menangis, tetapi air mata enggan menetes. Aku ingin berteriak marah, tetapi logikaku mencegah. Marah sama saja dengan mempermalukan diri sendiri, biarlah biarkan mereka tertawa. Mereka tidak pernah berada pada posisiku, maka itu mereka tidak memikirkan luka yang aku rasa.
"Kasian kamu jeung Amy, sudah lima tahun menikah belum punya anak. Itu loh anak Bu Kokom baru satu tahun setengah sudah mau dua, anaknya."
Aku tidak sempat memperhatikan siapa, yang barusan bicara. Aku sibuk menenangkan gejolak amarah, yang membuncah di dalam dada.
"Jangan membanding-bandingkan orang begitu, Bu. Setiap orang menjalani takdir sendiri-sendiri," bantah cece Julie.
Cepat aku kumpulkan barang belanjaanku, dan minta kak Morina menghitungnya. Aku ingin segera enyah dari tempat ini, terlalu lama di sini hanya akan merusak mentalku saja.
"Jeung Amy!" terdengar seseorang memanggilku.
Aku menoleh, Ce Julie berjalan tergesa menyusulku.
"Jangan dipikirkan apa yang mereka katakan, orang selalu heboh menjaga penampilan, tetapi lupa menjaga lisan," ujar Ce Julie.
Aku tersenyum mengangguk, kata-kata cece Julie terdengar bagus. Benar sekali banyak sekali orang yang selalu berusaha menjaga penampilannya, tetapi lupa menjaga lisannya. Rombongan Bu Siti salah sedikitnya, mereka selalu tampak rapi dan cantik. Namun kerapian dan kecantikan, tidak diikuti dengan keindahan lisan.
Mereka mungkin tidak sadar telah membuat aku terluka, biarlah, dari mereka aku belajar bahwa pentingnya menjaga lidah. Sebagai manusia gunakan lidah yang berprikemanusiaan. Jangan memakai lidah ular, tiap terjulur selalu mengandung bisa yang mematikan.
***
Siang hari setelah jam makan siang, aku mendengar tawa renyah kelompok bu Siti. Aku menyingkap sedikit tirai tipis yang melapisi kaca jendela, untuk mengintip sedang apa mereka. Bu Siti dan rombongan tengah berkumpul di pos kamling, yang berada tidak jauh dari rumahku. Sepertinya mereka tengah membuat dan menikmati rujak. Ada wajah baru di antara mereka, siapakah itu?
Tetangga baru kah?
Mengapa aku tidak tahu, kalau ada penghuni baru di komplek ini?
Dering telepon memanggil, memaksa aku meninggalkan jendela guna menghampiri meja, di sana ponselku tergeletak.
"Hallo Sayang," sapaku penuh cinta.
Tentu saja itu telepon dari Tesla lelaki yang namanya, menghuni relung dada, dalam aliran darahku mengalir tetes keringatnya. Tesla, dia membanting tulang memeras pikiran siang dan malam, demi menafkahi aku--wanita asing yang menjadi istrinya.
"Sayang, sore ini aku berangkat ke Bengkulu. Ada undangan untuk mengisi seminar kepenulisan di salah satu kampus, yang ada di sana," jelas Tesla.
"Kok mendadak?" protesku.
"Iya, maaf Sayang, undangannya baru terbaca sekarang," sesalnya.
Apa mau dikata, meski berat aku terpaksa mengatakan iya. Meski dia berjanji tidak akan lama, tetap saja aku merasa sedih ditinggalkannya ke luar kota.
"Makanya punya anak, biar kamu gak kesepian kalau suamimu sedang tugas luar," kata-kata mama kembali terngiang. Membuat hati dan pikiran kembali terbebani, ingin rasanya aku menyangkal hasil pemeriksaan kemarin. Ingin rasanya aku pergi ke dokter mana saja, yang mampu memberi aku sebuah kepastian. Bahwasanya diagnosa dokter Dira itu salah, tetapi aku sadar hampir semua dokter kandungan telah aku datangi, dan dokter Dira adalah yang memiliki alat periksa paling lengkap dan paling akurat.

Komentar Buku (74)

  • avatar
    IsmailHadi

    Bagus sekali ceritanya tapi sayang terlalu pendek padahal saya masih penasaran ayah biologis anak dari Amy itu sebenernya siapa. kalau bisa lanjut lagi. seru soalnya..

    12d

      0
  • avatar
    Oxs01Lucky

    seruuuu

    14/08

      1
  • avatar
    NaylaAlmeera

    bagus sekali

    09/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru