logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Frekuensi yang Hilang (Bab 4)

Dayun bersiap dengan memakai kemeja hitamnya serta celana panjang. Tak lupa kain ikat kepalanya. Setiap hari memang selalu dipakainya. Sebab itulah peninggalan dari almarhum bapaknya yang paling berharga. Selain ada sesuatu yang harus dia jaga dalam kain batik bercorak huruf Ha Na Ca Ra Ka itu.
“Mas, aku udah siap nih!”
Irul tak mau ketinggalan momen berharga. Setiap kali Dayun dapat kasus baru berbau supranatural, dia selalu saja ingin ikut. Padahal tidak ada gunanya malah justru buat teman semasa sekolahnya itu kewalahan. Tapi kalau sudah dicegat begini mau bagaimana lagi?
“Udah naik motorku aja, mas!”
“Nggak deh, Rul! Bolak-balik motormu itu mogok. Nanti aku kebagian dorong dari belakang 
  kayak dulu lagi. Kalau mau naik motorku aja, kita boncengan berdua.”
“Aseek...diboncengin sama lakon utama kita!”
Dayun keluarkan motor matic hasil perjuangannya bekerja selama ini. Meski masih harus melunasi cicilannya. Tapi setidaknya dia puas bisa dapat dari hasil kerja kerasnya. Bukan meminta dari orang-orang terdekatnya. Apalagi dia sejak kecil sudah ditinggal oleh orang tuanya. Bapaknya meninggal saat ia masih bayi. Sedangkan Ibunya tiada saat dia berumur delapan tahun. 
“Lets go Mas Dayun!”
“Nih, pegang kertasnya dulu! Tahu alamat itu kan, Rul?”
“Ini kayaknya di deretan ruko-ruko baru deket taman kota itu mas.”
“Kearah situ ya? Ok!”
Keduanya pun berangkat menuju ke alamat yang diberikan oleh Pak Djito. Saat diurutkan nomor rukonya, mereka rasa tak percaya. Tempat yang mereka tuju adalah stasiun radio Gardan. Irul sudah semangat sekali untuk masuk ke dalam. Dia mengidolakan Rita Mintarsih selaku penyiar program Cerita Horror Tengah Malam. Siapa tahu kali ini bisa bertemu dengannya. Tapi jaketnya segera ditarik oleh Dayun. 
“Eeh, aduh mas ntar aku kecekik terus is death lho!”
“Malahane aku tidak terbebani oleh dirimu, Rul!”
“Jadi ternyata selama ini kamu begitu ya mas...hiks!”
“Udah, nggak usah kebanyakan akting disini! Malu dilihat sama tukang parkirnya.”
Sayangnya keduluan Irul masuk duluan. Sang admin sekaligus resepsionis menyambut mereka. Tetapi tingkah Irul yang memalukan dan memilukan itu buat perempuan cantik satu ini keheranan. 
“Hai, mbaknya cantik boleh nggak kita...aduh!”
BRUK!
“Ehem! Mbak, saya katanya dipanggil kemari sama Pak Gunadi.”
Sengaja tadi Dayun senggol sampai Irul terjatuh. Daripada dia harus melihat tingkah konyol teman semasa sekolahnya itu. Agaknya lama perempuan ini mengamati Dayun dari atas kebawah. Barulah ia teringat dengan pesan atasannya. 
“Ah, apa ini yang namanya Ki Dayun?”
Disebut begitu Dayun langsung memundurkan dirinya selangkah. Padahal dia tak pernah diminta untuk dipanggil seperti itu. Entah kenapa orang-orang yang meminta bantuannya selalu saja memanggilnya dengan sebutan “Ki Dayun”. Bisa jadi Pak Djito yang menyebutnya begitu pada temannya waktu itu. 
“Ee, panggil saja nama saya Dayun begitu mbak.”
“Sudah ditunggu sama atasan saya sedari kemarin. Silahkan Ki Dayun ikuti saya!”
“Kalau saya asistennya mbak. Aduuuuh...! Sikilku lara mas mbok injak koyok ngono!”
Kaki Irul diinjak tanpa aba-aba. Membuatnya mengaduh kesakitan dengan suara keras. Kaki yang bekas diinjak Dayun tadi terus saja dipegang olehnya. Sementara Dayun pura-pura cuek sambil mengikuti kemana si resepsionis tadi berjalan. Sekalipun bentuknya ruko, tapi ada tiga ruangan disini. Satu ruang untuk menerima tamu, kemudian ruang untuk siaran dan gudang. Ternyata Pak Gunadi punya ruang tersendiri yaitu di lantai dua. 
“Silahkan Ki dayun masuk kesini.”
Tok! Tok! Tok!
“Siapa itu ya?”
“Pak, ini ada Ki Dayun yang bapak tunggu sejak kemarin. Orangnya baru saja datang.”
“Oh, suruh dia masuk! Temannya juga suruh masuk sekalian, Rika.”
Kalau Irul tidak perlu dipersilahkan sudah masuk sendiri. Dia pasti sudah melangkahkan kakinya duluan. Padahal yang berkepentingan disini adalah Dayun. Pak Gunadi yang semula sibuk membaca laporan tentang stasiun radio miliknya, mulai menemui dua orang laki-laki ini. Sepintas dia merasa tak yakin kalau inilah orang yang disarankan oleh temannya itu.
“Saya dengar tentang cerita dari Sardjito soal Ki Dayun. Sudah tahu kan Ki apa  
  masalahnya?”
“Pak, maaf bisa panggil nama saja? Itu agak berlebihan! Saya cuma orang biasa, bukan 
  dukun apalagi paranormal.”
“Oh, tapi menurut cerita teman saya, Ki Dayun sering diminta tolong sama orang-orang 
  untuk masalah supranatural.”
Mata Pak Gunadi terus saja menatap Dayun. Rasa tak percaya kalau yang disarankan justru orangnya masih muda. Penampilan selayaknya laki-laki berumur tiga puluh tahunan. Hanya kain ikat kepalanya saja yang jadi ciri khas. Setelah lama dilihat, pemilik radio Gardan ini jadi yakin kalau dia tidak bertemu dengan orang yang salah.  
"Saya yakin Sardjito sudah cerita sama Ki Dayun duluan."
"Sudah, Pak Gunadi. Tapi Pak Djito bilang, biar saya dengar langsung dari bapak. Beliau 
  menangkapnya tidak utuh."
Akhirnya Dayun biarkan laki-laki dihadapannya itu memanggil dirinya dengan sebutan "Ki Dayun". Biar urusan ini cepat kelar dan dia bisa segera menangani masalahnya. Ceritanya memang ada yang sama. Tapi Pak Gunadi malah justru bercerita tentang satu program radionya. 
"Orang-orang yang mengaku pendengar radio itu menuntut agar acara Cerita Horror Tengah 
 Malam ditiadakan."
Acara itu memang sudah lama dirancang. Rita Mintarsih sebagai penyiar senior pun diminta membawakannya. Tentu saja ditemani satu orang lagi untuk membantunya mengatur backsound serta kondisi teknis lainnya. Ternyata respon pendengar cukup bagus. Bahkan banyak yang mau memasang iklan di program itu. 
"Tapi saya batasi karena acaranya tengah malam. Sekaligus supaya tidak mengganggu cerita 
  horrornya. Kalau kebanyakan jeda iklan nanti pendengar bisa protes."
Nama Rita Mintarsih makin dikenal melalui program itu. Sampai dia dikhususkan untuk tidak siaran selain acara Cerita Horror Tengah Malam. Tapi makin lama terjadi sesuatu yang tak diduga. 
"Orang yang biasa menemani Rita sering sakit-sakitan. Hingga akhirnya dia menyerah  
  bahkan keluar dari sini."
"Karena kondisi kesehatannya ya pak?"
"Tapi saya mencurigai sesuatu dari ijin pengunduran dirinya, Ki Dayun."
Sayangnya orang itu tak mampu bercerita. Ketika ditanya kenapa, tiba-tiba dia seperti tercekik sesuatu. Hingga Pak Gunadi meloloskan dirinya begitu saja untuk resign. Padahal dia sangat yakin kalau pegawainya yang satu itu hendak mengatakan sesuatu. 
"Bapak masih simpan nomor hapenya atau alamat orang ini?"
"Ah, nanti saya akan berikan kalau Ki Dayun mau kesana. Namanya Mas Dani."
Pak Gunadi pun melanjutkan ceritanya hingga acara ini berjalan dengan Rita sendirian di ruang siaran. Tetapi karena dia sudah terbiasa, tak ada kendala sama sekali. Sampai ada telepon masuk kemari yang meminta acara tersebut dihentikan.
"Semula saya abaikan karena bisa jadi datang dari stasiun radio lainnya yang kalah bersaing dengan radio Gardan. Tapi makin lama banyak yang memprotes lewat telepon."
Bahkan ketika siaran program lainnya sedang berjalan. Masuk juga protes tentang acara ini. Penyebabnya banyak yang meninggal usai mendengarkan cerita horror dari sana. Padahal di stasiun radio lainnya banyak yang membuat program serupa. Tapi semuanya baik-baik saja!
"Ini yang buat saya bingung lagi, Ki Dayun!"
Pada akhirnya Pak Gunadi meminta untuk dihentikan program tersebut. Rita pun juga dialihkan ke acara lainnya yang waktunya siang hari. Semula dia mau, tapi makin lama menolak karena tidak se-terkenal saat membawakan program Cerita Horror Tengah Malam.
"Rita memaksa agar acara itu diadakan kembali dan saya menolak dengan keras. Benar 
  program itu bagus, tapi saya tidak mau kalau pendengar yang jadi korbannya."
"Mungkin karena mereka terlalu kepikiran dengan cerita yang kelewat seram, pak."
"Saya juga berpikir begitu, Ki Dayun. Termasuk backsound dan lainnya selalu saya cek 
  ulang. Semuanya sudah sesuai kontrol."
Karena penolakan itulah, Rita Mintarsih pun mengundurkan diri dari stasiun radio ini. Irul yang mendengarnya jadi kecewa. Padahal tadinya dia ingin sekali bertemu dengan penyiar favoritnya itu. Ceritanya berlanjut hingga Pak Gunadi mendapat laporan dari para pendengar soal kembalinya acara itu di jam yang sama.
"Itulah yang buat saya rasa tak percaya. Sampai pernah meminta teknisi yang ahli untuk mengecek. Apakah ada yang bisa mengambil frekuensi radio ini secara ilegal? Saya saja harus mengajukan ijin yang cukup lama sampai stasiun radio ini bisa berdiri sampai sekarang."
"Lalu ternyata itu apa, pak?"
"Tidak ada masalah apapun, Ki Dayun! Saya juga rekrut satu orang penjaga malam untuk memantau apa ada yang mencoba iseng disini. Tapi malah timbul masalah lainnya."
Tidak ada satupun penjaga malam yang bisa bertahan lama. Setidaknya dua hari bekerja lalu minta berhenti. Mereka juga nampak ketakutan sekali saat mengundurkan diri. Sayangnya ketika ditanya, para penjaga malam itu tak mampu menyebutkan. Apa yang buat mereka ketakutan selama ini.
***

Komentar Buku (159)

  • avatar
    KupilApai

    mantap

    15d

      0
  • avatar
    rhdiono

    bagus si tapi coba pindah in video 😄

    16d

      0
  • avatar
    Mexla

    cerita yang bagus Dan seronok sekali

    29d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru