logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Frekuensi yang Hilang (Bab 2)

"Sri, kapan koe bali?"
"Sri sopo, Mas Dayun? Koyone awakmu iseh jomblo sak ngertiku!"
Dayun hanya mendengus kesal mendengar celetukan itu. Sementara Irul cekikikan saja melihatnya. Entah kenapa tiba-tiba laki-laki pengangguran satu itu terpeleset di dekat lantai cucian motor. Seketika pinggangnya pegal ditambah rasa malunya pada teman semasa sekolah di SMK dulu.
"Sokor rak kowe! Aku gek nyanyi malah mbok takoni Sri sopo."
Memang di radio sedang memutar lagu-lagu jaman dulu seperti yang berjudul "Minggat" itu. Dayun hanya ikut menyanyikan sembari mencuci motor milik pelanggannya. Sementara Irul yang baru saja menikmati karmanya akibat menertawakan Dayun hanya mampu berpasrah diri. Sambil menengadahkan kedua tangannya keatas.
"Aduuh, apa salah hamba ini ya Allah?"
"Lah, malah bertanya-tanya? Sudah jelas dan tidak perlu dijelaskan lagi."
"By the way, iki motor e sopo, mas?"
"Motor e Lik Pardi! Wong e gek macul neng sawah. Mesti awakmu mrene meh ngutang 
  meneh. Iyo kan, Rul?"
"Wah, jangan begitu dong Mas Dayun! Saya kemari baik-baik hendak meminta…."
"Duit?"
"Bukan! Tapi kerjaan dari Mas Dayun. Sudilah kiranya kalau mas berkenan kasih pekerjaan yang terbaik untuk saya."
"Has hes soh! Cucian motorku lagi sepi, Rul!"
Tangan Dayun dikibaskan hendak bermaksud mengusir Irul. Tapi bukannya pergi, malah dia memegang salah satu kaki temannya. Sambil berakting menangis seolah hidupnya yang paling menderita. Ingin rasanya Dayun nyalakan mesin steam cuci motor itu untuk menyemprot Irul. 
"Tenan Mas Dayun, aku butuh kerjaan iki! Bojoku ngamuk wae neng omah."
"Ya jelas ngamuk lah, Rul! Kamu ini sebagai laki-laki semestinya ada tanggung jawab untuk 
  menafkahi keluarga."
"Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, mas. Semua usaha sudah kulakukan!”
"Tapi tidak ada yang mau memakai dirimu. Ya kan?”
Hanya anggukan pelan yang diberikan Irul pada Dayun. Sambil membanting kain lap kotor ke jok motor. Kepala Dayun menggeleng pelan melihat temannya yang payah ini. Tahu alasan kenapa laki-laki satu itu lebih banyak menganggur daripada dapat kerjaan.
"Makanya kalau kerja tuh yang bener, Rul! Kerja dengan sepenuh hati biar berkah."
"Ah, Mas Dayun kayak Pak Ustad aja!"
"Lah, dikandani seng serius malah diarani koyok Pak Ustad. Wes minggir ndisek!"
Kali ini Dayun menggeser paksa tubuh Irul. Sebab dia mau membawa motor Lik Pardi ke tempat yang kering. Siapa tahu orangnya lewat dan langsung ambil. Sebab sudah dibayar oleh yang punya sebelum dicucikan sama Dayun. 
"Nah, lihat sendiri kan? Baru Lik Pardi yang cucikan motor disini."
Dayun menatap uang pertama yang diterima di hari ini. Cukup untuk beli nasi bungkus saja. Padahal dia harus bagi hasil dengan Pak Djito selaku pemilik asli tempat ini. Laki-laki satu itu hanya diberi ijin tinggal serta menjalankan usaha cucian motor yang sempat mangkrak setahun. Tapi dia harus memberikan bagi hasil dari setiap motor yang dicucinya. 
"Pak Djito kan baik, mas! Nggak usah dibagi terus bilang aja lagi sepi."
"Nah, kan iki lho seng aku benci karo pikiranmu!"
"Apa sih, mas? Kan bener apa yang aku omongkan."
"Ya nggak gitu juga, Rul! Sekalipun sepi tetap harus kasih lah ke yang punya tempat ini. Memangnya Pak Djito nggak modal apa itu beli sabunnya, bayar airnya, listrik sama dan lainnya?"
"Sudah sudah mas! Stop! Iyo, aku ngerti kok."
Otak Irul tak bisa diajak berpikir begitu. Dia taunya kerja saja terus bayaran. Mau bosnya rugi apa tidak itu bukan urusan dia. Pantas saja selama ini dirinya tak pernah bertahan lama di tempat kerja. Sebab diminta berhenti karena cara kerjanya yang ngawur dan bikin rugi pemilik usahanya. 
"Eh, mas aku punya ide cemerlang!"
"Biasanya idemu burik, Rul. Opo?"
"Kita ke Gunung Lawu cari pesugihan biar nggak pusing mikirin duit."
"Oo, semprul tenan awakmu Iki!"
Langsung main keplak pakai kain lap kotor tadi saja Dayun pada Irul. Memang kalau pikirannya lagi sempit pasti mencari jalan pintas. Pesugihan memang jalan cepat yang dirasa Irul menjadi solusi bagi masalah keuangan.  
"Ya bener kan mas! Daripada aku bilangnya mencari kitab suci ke Barat."
"Memangnya aku ini Go Kong terus kamu jadi Pat Kai?”
"Dih, sadis tenan aku dadi Pat Kai! Tapi yang kali ini serius kok, Mas Dayun."
Tangan Dayun sudah mengepal lagi. Bersiap menghajar Irul lebih keras kalau dia mulai berkata asal-asalan. Sebenarnya dia sendiri tidak terlalu khawatir soal uang. Toh untuk urusan makan masih bisa kembali ke desa asalnya yaitu Wringin Asih.
Ya, Dayun bukanlah manusia murni!
Dia hidup sebagai separuh manusia karena dulu Ibunya menikah dengan Ki Lurah dari desa tak kasat mata bernama Wringin Asih. Berbeda dengan salah satu saudaranya yaitu Sardi yang murni makhluk dari alam lain. Karena dia berbeda Ibu dengan Dayun tapi masih satu Bapak.
Dayun memilih hidup di dunia manusia karena sudah terbiasa. Padahal dirinya kembali ke Wringin Asih kapanpun juga bisa. Hanya saja dia sudah berjanji untuk mengabdikan diri. Menolong manusia yang diganggu secara supranatural. Tentunya dengan kekuatan yang diturunkan dari almarhum Bapaknya. 
"Mas kan punya pengalaman horror yang banyak dari bantuin orang."
"Ya nggak horror juga sih, Rul! Kenapa memangnya?"
"Bilang aja horror gitu lah, mas. Susah amat sih! Itu lho di radio Gardan kan ada acara Cerita 
  Horror Tengah Malam. Penyiarnya Mbak Rita Mintarsih yang bisa bikin bulu kuduk 
  merinding tiap dia ceritakan kisah horror dari pendengar."
Ide Irul adalah meminta Dayun bercerita. Tentang kisah seram yang pernah dialaminya selama membantu orang-orang. Sebab menurut informasi yang dia dengar, pendengar yang berpartisipasi dalam cerita horror akan dapat hadiah. Tapi ide ini langsung ditolak mentah oleh teman semasa sekolahnya itu. 
“Kok gitu sih, mas? Ini kan kesempatan langka! Bukannya sering ya, kalau malem sambil 
  buka cucian motor Mas Dayun dengerin radio.”
“Ya sering, Rul! Cuma buat telepon ke radio itu seribu satu bisa masuk kesana. Lagipula 
  sebelum jam dua belas malem kan sini udah tutup.”
“Penting Mas Dayun masih melek matanya. Opo perlu tak tumbaske kopi?”
“Koyok duwe duit e wae!”
Sekali lagi keplakan Dayun mengenai Irul. Laki-laki ini sudah pengangguran, halusinasinya pun tingkat tinggi. Uang dia dapat justru dari hasil kerja istrinya. Sok-sokan mau belikan temannya kopi. 
“Apa kamu aja yang cerita, Rul? Nanti aku ceritakan lengkapnya ke kamu.”
“Eeh, jangan mas aku nggak PeDe! Malah nanti aku kayak orang gagap pas cerita sama 
  Mbak Rita. Pokoknya ntar malem deh aku kesini lagi, mas.”
Mendengar hal itu, ingin rasanya Dayun lari dari sini. Tapi kemana itu yang dia belum tahu. Sebab Irul kalau sudah punya kemauan pasti kuat sekali. Tak mungkin dia lupa kecuali memang ada halangan dari istrinya ataupun tiba-tiba dia sakit.
***

Komentar Buku (159)

  • avatar
    KupilApai

    mantap

    16d

      0
  • avatar
    rhdiono

    bagus si tapi coba pindah in video 😄

    17d

      0
  • avatar
    Mexla

    cerita yang bagus Dan seronok sekali

    29d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru