logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Petualangan Dayun Jinggo

Petualangan Dayun Jinggo

Ditarina


Frekuensi yang Hilang (Bab 1)

"Wah, makin rame ya pos ronda!"
"Iya, Pak Bayu! Kan malah enak kalau jaganya gini. Maling mana berani masuk kemari."
Pak Bayu dan Pak Wardi pun tertawa lepas. Mereka menikmati gorengan yang tersaji di satu piring. Satu per satu tangan mencomotnya, hingga akhirnya habis juga. 
"Lho, Pak Bayu sama Pak Wardi kok ikutan disini? Belum jadwalnya kan?"
"Ya belum, Pak RT!"
"Tapi nggak apa kan kita ikutan kumpul disini? Suntuk di rumah terus, Pak!"
"Nanti nyonya sendirian, Pak Bayu."
"Lha wong lagi ngelonin anak saya kok, Pak RT. Hehehe…!"
Belum ditambah ricuhnya mereka yang tengah bermain kartu. Sebab yang kalah harus mau menerima hukuman berupa memakai helm posisi terbalik. Jelas mengundang gelak tawa bagi yang menonton.
"Tapi besok tetep ronda lho, Pak Bayu sama Pak Wardi."
"Oo, jelas itu Pak RT!"
"Kita berdua kan warga yang baik dan budiman."
"Kenapa itu saya dipanggil namanya?"
Gara-gara menyebut kata "Budiman". Pak Budi pun merasa terpanggil kemari. Mereka akhirnya mengobrol bersama sebelum pulang karena mendapat panggilan darurat dari istri masing-masing.
"Hahaha…Pak RT aja kalah sama bininya!"
"Halah…! Macem Pak Budi nggak aja sama istrinya."
Rupanya Mbok Mi, istri dari Pak Budi itu malah datang langsung ke pos ronda. Menjemput suaminya sambil menjewer sedikit telinganya. Sakitnya tak seberapa tapi malunya luar biasa. Hingga akhirnya tersisa orang yang mendapat jatah asli ronda malam ini.
"Sepi ya kalau sisa tiga orang begini. Eh, bukannya Pak Hari jadwalnya malam ini juga ya?"
"Orangnya pulang sebentar, Pak Sahrul. Katanya mau setor tabungan perut."
"Dih, bilang saja mau pergi ke WC Pak Linggar!"
Pak Fahmi akhirnya berinisiatif mengambil radio dari tempat penyimpanan yang ada di Pos Ronda. Memang sengaja disediakan radio untuk menemani yang sedang jatah ronda. Karena kalau TV nantinya malah ikutan digasak maling juga. 
"Nggak apalah biarpun cuma radio begini."
"Kan bisa nyalakan dari hape, Pak Fahmi."
"Ah, jangan Pak Sahrul! Hapenya kan bisa berguna buat senter juga. Diirit lah batreinya!  
  Lagipula ada fasilitas kenapa nggak dipakai?"
Dua orang lainnya pun mengangguk. Pak Fahmi sibuk mencari frekuensi radio yang pas. Siapa tahu masih ada acara hiburan. Sampai ketemu satu siaran radio yang dia rasa cukup asik. Terdengar alunan Gending Jawa yang khas dari radionya.
"Eh, ini kan siaran horrornya radio Gardan itu kan?"
"Iya yang penyiarnya Mbak Rita Mintarsih itu."
"Wah, seru nih malem-malem begini dengerinnya horror!"
"Aduh, maaf saya tiba-tiba mules. Bapak-bapak, saya pulang dulu ya!"
Alasan saja bagi Pak Sahrul yang penakut itu. Dia memilih pulang daripada harus mendengar siaran radio berupa cerita horror. Mana ini sudah tengah malam juga. Pak Fahmi dan Pak Linggar diam-diam mencibirnya.
"Penakut memang orang satu itu, Pak Linggar!"
"Ya sudahlah, Pak Fahmi. Penting masih ada kita berdua."
Rita Mintarsih sang penyiar mulai menyapa para pendengar. Suaranya yang lembut namun terkesan mistis menambah aura horror bagi siapapun yang mendengarnya. Belum backsoundnya yang sesekali dimasukkan efek suara kuntilanak. Menjadikan siaran horror radio Gardan makin seru untuk didengarkan. 
"Seperti biasa ya Rita bacakan dulu cerita pendengar yang masuk dari akun media sosial 
  Radio Gardan."
Pak Fahmi dan Pak Sahrul begitu serius mendengarnya. Hingga mereka terkejut saat tiba-tiba efek suara tertawa kuntilanak dibesarkan volumenya. Nyaris saja terpental keluar dari Pos Ronda. 
"Duh, serem banget euy!"
"Tapi siapa juga yang nggak takut kalau pulang malem eh ketemu angsa. Dikira binatang 
  beneran nggak taunya malah Mbak Kunti."
"Iya, berikutnya Rita mau ajak pendengar untuk berbagi cerita horror nih. Silahkan telepon langsung untuk cerita ya! Nomernya sudah Rita sebutkan tadi. Yuk, ceritain pengalaman horror sobat mistis kesini!"
Pak Linggar yang gabut langsung coba menelepon ke Radio Gardan. Ternyata telepon dia yang masuk kesana. Disambut oleh Rita Mintarsih sang penyiar.
"Aduh, maaf ini ya Pak Linggar bisa agak dijauhkan sedikit dari radionya. Suaranya jadi 
  berbalik kesini."
"Eeh, iya Mbak Rita maaf ya!"
Belum saja cerita pengalaman horrornya sudah kena gangguan. Pak Linggar akhirnya berjalan menjauhi Pos Ronda. Berulang kali Pak Fahmi memanggilnya. Tapi dia tidak peduli. Lebih mementingkan dirinya yang ingin sekali memanfaatkan momen langka. Bisa masuk teleponnya dan ikut berpartisipasi dalam siaran horror radio bersama penyiar kesukaannya.
"Duh, asem tenan ngene iki! Malah ditinggal dewekan neng kene."
Apes bagi Pak Fahmi yang akhirnya jadi ronda sendirian. Dia masih mendengar suara Pak Linggar di radio. Tapi karena kesal, segera ia matikan saja radionya. Sebab iri ada tetangganya bisa masuk radio.
"Daripada nggak ada kerjaan mending keliling aja!"
Berbekal lampu flash dari smartphone miliknya. Pak Fahmi pun berkeliling. Tangan kiri memegang smartphone sementara tangan kanannya pegang pentungan. Siaga kalau ada sesuatu yang mencurigakan. 
"Apa itu yang ada di…."
Matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Ketika lampu flash pada smartphone miliknya diarahkan kesana, nampak ada satu pasang sandal jepit. 
"Lho, sandal siapa ini ya?"
Pak Fahmi lihat ada satu Jejak dari rumput tempat dimana sandal itu ditemukan. Terus ia melangkahkan kakinya. Hingga akhirnya melihat tubuh Pak Linggar tergeletak diatas rerumputan itu. Nampak smartphonenya masih menyala menandakan kalau baru saja dipakai. 
"Bukannya tadi Pak Linggar lagi telepon buat cerita horror ke radio ya? Pak, bangun pak!"
Tidak ada respon sama sekali. Sengaja lampu flashnya ia sorotkan pada wajah Pak Linggar. Betapa terkejutnya Pak Fahmi melihat wajah tetangganya itu ternganga dengan mulut terbuka lebar. 
"Toloooong…! Pak Linggar pingsan toloooong!"
Suara teriakan Pak Fahmi membuat para warga keluar dari rumah. Termasuk Pak RT juga yang sudah sempat tertidur sebentar. Mereka bantu mengecek kondisi Pak Linggar yang tiba-tiba ambruk disini. 
"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun…."
Esoknya langsung tersiar kabar, bahwa Pak Linggar meninggal dengan kondisi yang aneh. Namun menurut pemeriksaan medis, dia dinyatakan terkena serangan jantung. Padahal sebelumnya tidak ada tanda kalau Pak Linggar punya riwayat penyakit jantung. Sampai jadi perbincangan sebelum jenazahnya dikebumikan.
“Kok aneh ya? Memang kejadiannya gimana sebelumnya Pak Haris?”
“Kalau kata Pak Fahmi, awalnya telepon ke radio itu pas acara cerita horror. Tapi kok tiba-tiba aja menjauh dari Pos Ronda. Alasannya sih sinyalnya keganggu kalau telepon dekat radio.”
“Ooh, iya sih memang karena sinyalnya bisa ganggu. Tapi aneh juga ya, Pak Haris! Kita tahu sendiri Pak Linggar itu orangnya hampir nggak pernah ngeluh soal sakit. Terus tiba-tiba saja jatuh dan....”
“Sst! Bapak-bapak ini malah membicarakan orang yang sudah meninggal.”
“Eeh, ada Pak Ustad!”
Tersenyum saja Ustad itu pada bapak-bapak yang ada disini. Mereka langsung membubarkan diri untuk bersiap. Sebentar lagi membawa jenazah Pak Linggar menuju ke masjid terdekat. Untuk dilakukan shalat jenazah.
***

Komentar Buku (159)

  • avatar
    KupilApai

    mantap

    16d

      0
  • avatar
    rhdiono

    bagus si tapi coba pindah in video 😄

    17d

      0
  • avatar
    Mexla

    cerita yang bagus Dan seronok sekali

    29d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru