logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Hipnotis dan Penipuan 2

Aku menunggu pesan dari Mas Rendra seperti penuturan nenek. Hatiku sedikit khawatir. Karena hingga beberapa jampun tidak ada pesan. Aku beranikan diri untuk mengirim pesan padanya. Aku berani malu kali ini.
"Mas kamu jadi kesini kan? Katanya juga orang tua kamu besok akan datang ke rumah. Kenapa kamu tidak ngabarin?" tanyaku padanya.
Dengan kebimbangan aku menunggu balasan. Aku bahkan menggigit jariku. Aku tidak tahu apakah pesan sudah dibaca atau belum. Aku mondar-mandir di kamar hanya demi mendapat kepastian. Pasalnya kata nenek besok akan datang ke rumah. Ibuku juga belum aku kabari.
Akhirnya aku memutuskan pulang. Aku mengendarai motor sekencang mungkin. Aku sudah sampai di rumah. Aku segera menemui ibu. Ibuku sedang memasak di dapur.
"Loh Rin katanya besok pulangnya," ucap ibuku.
"Iya Bu, tetapi ada sesuatu yang mendesak," jawabku.
"Apa itu? katakan saja!" pinta ibuku penasaran.
"Bu Mas Rendra mau datang kesini sama keluarganya," ucapku penuh kegembiraan.
"Benarkah? Kapan itu?" tanya ibuku karena penasaran. Namun raut wajahnya seperti mengundang pertanyaan yang besar. Kemungkinan ibu juga kaget karena kesannya seolah mendadak. Bahkan ekpresi ibuku seolah tidak percaya namun aku diam saja. Aku harap ini adalah kabar benar dan pasti.
"Besok Bu, besok pagi," ujarku sambil tersenyum pada ibu.
Ibuku mengernyitkan dahi. Ada firasat yang tidak jelas yang tengah ia rasakan. Akupun merasa tambah cemas.
"Apa kamu sudah dihubungi Rendra, sudah kamu tanyakan perihal besok?" tanyanya lagi agar lebih jelas.
"Belum dijawab banyak sama Mas Rendra Bu," ungkapku dengan sedikit ragu.
"Lah terus darimana kamu tahu kalau keluarganya akan kesini? Ibu jugakan butuh persiapan jamuan makan Rina. Masak tamu jauh -jauh datang tidak di istimewakan," paparnya.
"Begini saja. Kamu konfirmasi sekali lagi kepada Mas Rendra, kejelasannya bagaimana? Kalau sudah ada jawaban dan benar besok kesini maka nanti malam ibu sudah mulai siap-siap," tutur ibuku.
"Iya Bu, saran yang bagus," jawabku sambil khawatir.
Ya sudah nanti kabari ibu ya, ibu mau menyetrika baju dulu," ucapnya sambil meninggalkanku.
Aku masuk kamar dan akan tetap menunggu jawaban darinya. Hingga petang tiba juga tidak ada jawaban dari Mas Rendra. Akupun langsung menelpon nenek untuk mendapat kepastian. Kuhubungi berkali-kali masih belum tersambung. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Namun tanganku tidak bisa diam. Kupencet nomor nenek dan akhirnya tersambung.
"Halo Nek," sapaku.
"Iya halo, oh ya gimana sudah ada pesan masuk?" tanya nenek.
"Belum nih Nek, ibuku juga nanyain itu," ujarku.
"Sabar saja tunggu sebentar lagi," ucapnya.
tut.tut...hubungan terputus dengan nenek. Aku mencoba menghubungi nenek namun nomkr tidak aktif. Kuletakkan ponsel dengan was-was. Terdengar lagi panggilan masuk. Ternyata dari nenek. Aku langsung mengangkatnya.
"Oh ya Nenek tidak bisa lama nelpon kamu. Ada yang harus saya jelaskan tentang kedatangan Rendra tapi pulsa nenek limit. Kamu bisa transfer dua ratus ribu lagi," ucapnya.
"Bisa Nek," jawabku singkat.
Kebetulan saldoku habis. Aku memutar otak. Aku mencari bantuan. Apapun akan aku lakukan.
Aku mencoba mengabari temanku untuk mentransfer di nomor nenek dan aku bayar memakai kartu bank. Semua sudah aku lakukan. Pulsa kembali terkirim dengan lancar. Ada panggilan masuk dari nenek, aku angkat lagi.
"Kamu dimana? nenek ingin bertemu denganmu untuk menjelaskan?" tanyanya.
"Hah sepetang ini? Ini udah jam setengah lima sore lho Nek," ucapku.
"Iya tidak apa-apa. Kita ketemuan di warung saja ya. Kamu tahu bakso urat sebelah kanan jalan. Baksonya Pak Wono, kita ketemuan disana saja," ucapnya.
"Baik Nek," jawabku.
Lalu sambungan telepon kami terputus. Aku beralasan kesana untuk bertemu teman. Ibuku cukup khawatir. Ia tidak memperbolehkanku naik motor sendiri karena hari mulai senja. Lebih baik pakai taksi saja. Aku menurutinya. Akupun pergi seorang diri.
Taksi melaju ke warung bakso legendaris. Bakso urat Pak Wono sudah di depan mata. Aku membayar taksi. Kulihat di sekeliling parkiran. Tidak ada wujud nenek. Akhirnya aku masuk duluan. Aku pesankan nenek bakso urat bersama minumnya.
Lima menit kemudian sang nenekpun tiba. Aku mempersilahkannya duduk. Nenek kemudian memberiku bunga. Bunga itu harus di simpan di tas. Agar pacarku segera datang. Aku menuruti kata nenek dengan senang hati. Bunga itu juga aku simpan dalam tas. Jika bunga itu hilang tandanya pacarku akan segera datang. Aku semakin bahagia.
Pesananpun datang. Kami makan dengan lahap. Barulah setelah selesai. Nenek mengajakku bicara. Ia memegangi kedua tangan. Meresahkan saja.
"Nak maaf ya mungkin malam nanti akan ada pesan dari pacarmu. Kamu tunggu saja. Dan untuk masalah mertuamu yang akan datang biar nenek yang nyusul ke Jogja. Nanti nenek akan menabur sebagian bunga ini di halaman rumahnya. Tenang saja nenek sudah ada yang mengantar. Kamu tinggal siapkan uang satu juta untuk kepergian nenek ke Jogja. Apakah sekarang kamu membawa?" tanya nenek begitu santai.
Aku sempat mikir. Di tasku hanya ada delapan ratus ribu. Sisa dua ratus ribunya dari mana? Setelah kupikir-pikir ada sisa uang di atak sekitar lima ratus ribu. Untung di dekat warung ini ada mesin atm. Aku berpamitan pada nenek untuk mengambil uang.
Nenek tersenyum bahagia dan mempersilahkanku dengan ramah. Dengan berlari aku memasukkan kartu atmku. Lalu aku mengambil uang di sana. Setelah selesai aku kembali ke nenek yang sudah menungguku.
"Ini Nek," ucapku sambil memberikan uang satu juta padanya. Beberapa orang melihatku cukup aneh. Entah kenapa aku menangkapnya begitu. Nenekpun terburu-buru harus ke Jogja. Aku membayar ke kasir. Nenek menolak untuk aku antarkan ke gerbang.
"Ayo Nek aku antarkan, katanya Nenek menunggu seseorang," ucapku.
"Iya tapi biarkan nenek sendiri kamu pulanglah! Karena mau tidak mau nenek harus sampai di Jogja. Karena sebelum fajar tiba nenek harus menabur bunga di halaman mertuamu. Ini semua demi kamu." paparnya.
Akupun percaya dan nenek melangkah sendiri. Namun ketika sampai di gerbang ia kembali padaku.
"Kamu punya cincin?" tanyanya.
"Cincin Nek?" tanyaku.
"Iya cincin," jawabnya.
"Buat apa?" tanyaku penasaran. Sedangkan cincin satu-satunya tengah melingkar di jari manisku. Cincin ini pemberian ibu ketika aku ulang tahun satu tahun yang lalu. Harganya pun hampir tiga juta.
"Nenek butuh cincin agar mertuamu juga nelpon kamu nantinya. Itu sebagai syarat. Nanti cincinnya akan saya kembalikan. Cincin yang kamu gunakan sekarang akan saya taruh di halaman juga. Namun nanti di ambil lagi. Nenek akan hubungi kamu lagi," paparnya.
Akupun langsung memberikan cincin itu pada nenek. Nenek itu langsung pergi tanpa jejak. Ada rasa khawatir dalam dada. Aku galau.

Komentar Buku (470)

  • avatar
    KilauKaysan

    baik

    5d

      0
  • avatar
    PramadhaniAlya

    10000 sama aku

    14d

      0
  • avatar
    Anisa Syafana Kalimantana

    ☺️keren

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru