logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Gelisah

Ku tunggu pesan darinya namun nyatanya tidak ada sama sekali. Mungkin sibuk atau lagi persiapan pulang.
Sudah beberapa kali ia berhasil membuatku gelisah. Akhir-akhir ini malah ia jarang memberi kabar walau hanya bertukar pesan. Rasa kecewa perlahan menumpuk satu persatu.
"Ah Mas Rendra kok jadi begini," batinku. Aku bad mood. Aku juga tak akan memberi pesan duluan. Buat apa aku lakukan karena seharusnya ladies first.
Baru kali ini hubungan kami seperti ini. Mungkin gara-gara aku mengerjakan skripsi waktu lalu dan Mas Rendra sibuk menentukan tesisnya. Pastinya buat kami sama-sama berat. Aku dan dia juga sibuk hingga jarang bertemu.
Namun baru kali ini juga Mas Rendra jarang banget memberi kabar baik sms maupun telpon. Terus kalau di hubungi pasti nomornya tidak aktif. Kemudian ia akan bilang sedang di kampus dan semacamnya. Aku tidak menaruh rasa curiga sama sekali. Aku hanya khawatir jika kita yang se misi visi itu tiba-tiba bercerai berai tanpa kabar.
Memang waktu setelah wisuda adalah bersenang-senang. Bersyukur sambil merayakan entah liburan. Identiknya hati juga berbunga-bunga. Namun lain halnya dengan diriku. Aku yang muram, cemas, gundah dan tanpa arah ini hanya bisa memangku tangan. Aku jenuh dengan semua ini. Aku merasa terkoyak.
Ibu mengamatiku ia menepuk pundakku.
"Ada apa?" tanyanya memecah lamunanku. Aku segera membenahi expresi wajahku untuk memandang balik ibu. .
"Tidak ada apa-apa Bu," jawabku pura-pura.
"Rin kamu masih ingat tidak ini anaknya Pak Kus yang dulu pernah main kerumah kita. Pas kamu masih kelas 5 SD kalau ndak salah," ungkap ibuku.
"Oh iyakah, aku kurang ingat Bu," jawabku.
"Kalau Nak Gilang apa masih ingat dengan masa kecil Rina?" tanya ibuku padanya. Dan aku melihat dari kaca spion. Gilang tersenyum lebar.
"Masih ingat Tante, waktu itu saya sudah kelas 1 SMP," ujarnya.
Aku sedikit mengingat kembali waktu itu. Sebenarnya aku masih ingat anak laki-laki bernama Gilang sedang duduk di ruang tamu dan aku asyik menonton tv tanpa memperdulikan dirinya. Namun aku jawab saja tidak ingat.
"Kalau boleh jujur Tante, dulu kali pertama bertemu Rina anaknya tomboy dan tidak suka dandan. Wajar memang masih kecil. Namun sekarang Rina yang aku lihat sangat menawan dan cantik. Beda dari dulu yang item dan kucel. Hehe..maaf ya Rina," ungkapnya sambil cengengesan.
Dalam batin kecilku. "Huft..apaan ni orang. Asal komentar aja. Kenal juga tidak terlalu dalam. Baru kali pertama dari sekian masa kecil, sekarang syok dekat banget. Langsung ceplas-ceplos. Tidak ada sopan santunnya sama sekali. Kok aku jadi risih sendiri sih!"
"Dik Rina marah?" tanyanya dengan memanggilku Dik. Dan itu membuatku terkejut. Benar -benar orang yang harus diberi pelajaran menurutku. Ia telah sewenang-wenang dan sok kenal. Aku ingin turun dari mobil rasanya.
"Ah biasa aja," jawabku ketus, padat dan singkat. Wajahku juga datar tidak marah ataupun bahagia. Ia melihat dari spion depan. Aku risih dengan orang ini. Tetapi apalah daya menuruti ibuku tercinta. Setelah nanti sampai aku harus bertanya pada ibu. Ada apa sebenarnya? Aku sangat geram.
Lebih baik aku bermain ponsel. Ku buka ternyata sudah ada 5 panggilan dari Mas Rendra. Aku ingin telpon balik tapi waktu dan tempatnya kurang tepat. Ada ibu lagi. Selama ini aku belum bercerita soal Mas Rendra. Kalau aku tiba-tiba nelpon ibu pasti penasaran. Dan kesan pertama akan jadi tidak nyaman. Lebih baik nanti saja kalau sampai di rumah. Aku bisa nelpon di kamar.
Mobil melaju dengan kencang. Aku sama sekali tidak berbicara dan hanya diam. Sedangkan ibu dengan Gilang saling berkomunikasi satu sama lain. Aku tidak tertarik untuk nimbrung. Ibuku tahu kalau aku sedang tidak ingin berbicara.
Tidak lama kemudian kami sampai. Ternyata sudah banyak saudara yang datang. Mereka mungkin ingin menjenguk ayah. Mereka menyambutku dengan bahagia. Padahal acara syukuranya masih besok. Namun sudah banyak berdatangan. Kebanyakan mereka keluargaku akan menginap. Agenda sudah disiapkan. Kabarnya nanti malam kita akan bakar-bakar.
Bahagianya aku memiliki mereka.
"Selamat Kak Rina, Yey udah sarjana yey!!" sorak Faris sepupuku bersama yang lain.
"Selamat ya keponakan paman yang cantik ini!" ucap paman Haikal. Mereka satu persatu menyalamiku dan memberi ucapan selamat. Namun aku tidak bisa mengalihkan pandangan tatkala aku melihat pak Kus dan ibu Kus yang disebut ibu tadi ternyata ada di rumah. Ia juga memberiku ucapan selamat. Aku hanya membalasnya dengan senyum ramah. Walau dalam hati kecil. Ada urusan apa datang kesini? Atau hanya silaturahmi. Kalau silaturahmi malah tidak apa-apa itu bagus. Namun jika ada hal lain itu yang membuatku bertanya-tanya.
Tanpa memperdulikan mereka akupun pergi ke kamar ayah. Aku sangat kangen. Aku memeluk ayah. Air mataku menetes. Dadaku sesak karena begitu khawatir. Aku bahagia ayah sembuh. Tetapi tetap saja rasanya ingin menangis. Tentu bagi siapapun orang tua adalah segalanya tanpa terkecuali aku.
"Ayah jaga kesehatan ya," ucapku.
"Iya putriku yang cantik," jawab ayahku singkat sambil memelukku.
"Selamat ya sudah sarjana, semoga ilmunya bermanfaat bagi nusa dan bangsa," lirihnya dalam telingaku. Aku ingin menangis tersedu-sedu. Aku memeluknya erat.
Ayah menepuk pundakku. Aku sangat menyayanginya. Ayah harus istirahat dan aku meninggalkannya.
Aku lalu pergi ke kamar. Rasanya berat sekali badanku. Aku ingin merebahkan sejenak. Namun aku tidak bisa ada kakakku satu-satunya datang bersama keponakanku. Kakakku sudah menikah tiga tahun yang lalu. Ia tinggal di Sulawesi. Kemungkinan ia baru datang.
"Hey datang-datang udah mau tidur aja," ucapnya.
Aku membalikkan badanku dan menggoda Raffa anaknya. Kugendong dan kuciumi. Raffa tertawa terpingkal-pingkal karena aksiku menggodanya.
"Maaf ya kakak tidak bisa hadir, kalau ayah tidak sakit mana mungkin juga kakak mudik. Kecuali ada libur. Untung pihak kantor kakak di beri izin 4 hari. Ini kado khusus buat adikku tercinta," ucapnya sambil memberiku hadiah.
Aku sangat memakluminya karena Sulawesi ke Surabaya bukanlah jarak yang dekat meski naik pesawat sekalipun. Aku dipeluknya dan kami terus berangkulan.
"Makasih kakakku kamu yang terbaik," ungkapku lalu kami mengabadikan momen dengan foto bersama.
Kakakku Emila adalah satu-satunya saudara kandungku. Dulu aku sering curhat bersamanya namun setelah menikah kami hanya bisa berhubungan lewat ponsel.
Ingin rasanya aku menumpahkan segala keluh kesahku padanya. Apalagi yang ingin kuceritakan adalah soal Mas Rendra. Usia juga terus berjalan semakin bertambah dan berumur. Membuatku ingin bertanya soal kehidupan rumah tangga. Dan aku ingin mendengar tanggapan Kak Emil soal kekasihku.
Entah kenapa antara hati dan pikiran tidak sinkron. Kata pikiranku waktunya sangat tidak tepat. Kata hatiku justru harus diceritakan pada Kak Emil. Akhirnya aku memilih diam sambil membuka kado darinya.

Komentar Buku (470)

  • avatar
    KilauKaysan

    baik

    5d

      0
  • avatar
    PramadhaniAlya

    10000 sama aku

    14d

      0
  • avatar
    Anisa Syafana Kalimantana

    ☺️keren

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru