logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Pergi

"Kalian manusia-manusia tak punya hati."
Ilham menunjuk empat perempuan yang sedang tertawa-tawa bersuka cita dengan apa yang sudah mereka lakukan pada Kania, memojokannya membuat Kania tak kuat dan akhirnya pergi.
"Ilham, jaga sikap mu. Istri pertamamu datang malah terus saja belain istri kedua kamu itu, harusnya Naina ini lebih berhak atas kamu."
Mama terus membela Naina-menantu kesayangannya. Sedangkan Mama Ilham tak tahu Naina tidak seperti yang mereka kira.
"Ma, sejak menikahinya aku tak pernah menganggap dia istriku. Pernikahan itu masih dibawah umur, aku melakukannya terpaksa tak ada rasa cinta sedikit pun untuk perempuan itu. Istriku hanya satu Kania Permata Putri, paham."
Ilham kali ini tak bisa menahan emosinya, bagaimana tidak dia sedang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Kania, justru saat ini malah makin runyam.
"Oh, kalau kamu tak menganggap aku istri kenapa kamu tak menceraikan aku dulu sebelum menikahinya," ucap Naina.
"Aku akan melakukan itu tapi mama melarangnya, mama tetap mau kamu jadi menantunya. Jadi tanyakan saja pada mama kenapa dia tak mau memberitahu kamu dan papa kamu soal pernikahanku."
"Ilham ... Kamu benar-benar sudah gil4, cuma karena perempuan itu kamu bertingkah seperti ini. Lihatlah, Naina sudah berbaik hati. Meski dia tak diberitahu soal pernikahan kamu tapi dia bisa mengerti dan memahami bahkan menerima Kania menjadi madunya, di mana perasaanmu?" tanya mama.
"Perasaan? Mama ngomong soal perasaan? Iya? Di mana perasaan mama pada Kania, lagi pula ini semua gara-gara mama memesan kue pada Kania, apa mama sengaja?"
"Ya, mama sengaja agar dia tahu yang sebenarnya. Kenapa?"
"Argh ... Lakukan lah apapun sesuka mama dan kalian semua," ucap Ilham kesal.
Ilham berlalu dari hadapan mereka, meninggalkan empat perempuan yang sangat ia tak sukai. Entahlah, sejak disuruh menikahi Naina, Ilham tak pernah respek pada mamanya itu.
Tak lama Ilham kembali dengan pakaian yang sudah rapi, berjalan menuju kendaraannya dan mama segera mengejarnya.
"Mau ke mana kamu?" tanya mama.
"Mencari Kania, ini sudah malam."
"Biarkan saja dia pergi, malam ini kamu harus menemani Naina, dia berhak atas kamu."
Ilham menatap tajam kedua bola mata perempuan yang melahirkannya itu.
"Bukan berhak atas aku ma, tapi Naina berhak atas diri mama sendiri."
Tanpa menggubris ucapan mamanya, Ilham lansung berlalu begitu saja meninggalkan mamanya yang terus memanggil Ilham.
Dengan lemas, mama masuk ke dalam rumah dan apa yang didapat dari Naina atas kejadian ini.
Naina menghela napasnya, dia bangkit dari duduk dan merapikan pakaiannya.
"Baik tante, tante sudah lihat sendiri kan bagaimana sikap anak tante pada saya. Minggu depan papa mungkin akan tetap datang ke sini untuk menyelesaikan semuanya. Aku tak tahu apa keputusan papa nanti kalau dia tahu anaknya sudah dikhianati."
"Naina, tolong jangan bilang pada papa mu. Kita bisa menyelesaikannya baik-baik ya sayang, tante sudah menganggapmu seperti anak tante sendiri bahkan lihatlah tante masih menganggap kamu menantu. Nanti tante yang akan bujuk Ilham."
Mama Ilham begitu memelas memohon pada Naina yang dia anggap menantu tapi sepertinya tidak dengan Naina, lihatlah Naina memanggilnya dengan sebutan tante bukan mama nampaknya Naina tak pernah menganggap mama Ilham itu mertuanya, anehnya hal itu tak di sadari oleh mama Ilham.
"Tugas tante adalah membujuk Kania supaya mau jadi istri kedua Ilham, soal papa urusanku. Jika tidak berhasil maka Ilham akan kehilangan pekerjaannya dan aku akan berhenti menafkahi tante, uang jajan Mba Santi dan Mba Sinta pun akan ikut lenyap."
Ketiga perempuan itu terperangah mendengar ucapan Naina, ah sudah jelas mereka ternyata takut kehilangan sumber uang.
"Jangan kejam begitu sama tante nak, tante ini sahabat mama kamu, bahkan sudah seperti saudara lho," bujuk mama Ilham.
Naina mendelik dan menyunggingkan bibirnya. Hatinya sudah tak bisa merasakan itu, Naina bisa membedakan mana yang menyayanginya dengan tulus atau hanya mengincar apa yang ia miliki.
"Kalau tante menganggap aku ini sahabat teman tante, tentu tante tak akan membohongiku soal pernikahan Ilham, tak akan melarang Ilham mengabari aku, apapun alasan tante yang jelas aku tahu satu hal tante tak pernah menghargai perasaan aku yang tante pikirkan adalah hanya bagaimana menjadi kucuran dana dariku. Hahaha ...."
Naina terbahak, menertawakan mertua dan kedua iparnya yang mematung mendapat serangan bertubi-tubi dari Naina. Ia merasa puas telah melampiaskan emosinya karena merasa dipermainkan oleh keluarga Ilham terutama ibu dan kakak-kakaknya.
"Tidak Naina, tidak seperti itu. Tante---."
"Sudah, aku tak mau dengar alasan apapun lagi. Ingat tante jika Kania tetap menolak menjadi istri kedua maka bersiaplah untuk kehilangan semuanya. Paham!"
Naina menekankan pembicaraanya dengan nada serius dan tegas, lalu ia meninggalkan mereka tanpa peduli lagi meski mama Ilham mengejarnya dan terus memanggil nama Naina tapi bagi Naina semua tidak penting lagi, dia terus berjalan hingga menancap gas dan berlalu meninggalkan rumah itu.
"Ma, bagaimana ini ma?" tanya Santi gusar.
"Diam, mama juga pusing."
"Pokoknya kita harus bisa membuat Kania mau jadi madu Naina kalau nggak kita bisa melarat," ucap Sinta.
"Iya, aduh gak mau aku. Bisa-bisa semua tas mahal juga diambil lagi sama Naina," ucap Mba Santi.
"Iya benar, lebih parah hadiah perhiasan dari Naina bisa diambil juga. Aduh ... Jangan sampai deh," timpal Sinta.
Kedua terus menyebut hal buruk yang akan terjadi jika Kania tetap bersikukuh ingin bercerai dari Ilham, mama Ilham terlihat memijat kening merasakan kepala yang mendadak terasa sakit.
"Diam, kalian bisa diam tidak. Mama pusing ini," teriak Mama.
Santi dan Sinta pun terdiam, mereka hening seketika. Keberadaannya masih di rumah Ilham karena tadi mereka ke sini ikut pakai mobil Naina dan sekarang Naina sudah pergi.
***
"Kania ...."
Ibu Kania nampak terkejut ketika mendapati anaknya berdiri di depan pintu.
"Masuk nak, kamu kenapa nak?" tanya ibu.
Kania tak berbicara apapun, matanya sudah berkaca-kaca dan ia langsung memeluk ibunya. Ibu nampak terkejut dengan sikap Kania.
"Ada apa sayang? Kenapa kamu nangis? Kamu ke sini sendirian? Mana Ilham nak?"
Ibu terus melemparkan pertanyaan yang sama sekali tak dijawab oleh Kania, dia masih hanyut dalam kesedihan dan air mata. Kekuatan menahan tangis di depan keluarga Ilham tadi akhirnya roboh dalam pelukan ibunya.
Ibu melepas pelukan, memapah tubuh Kania, lalu mendudukannya di sofa. Anak perempuan keduanya itu sedang terisak, ada luka yang dalam dapat dirasakan oleh ibu. Ibu membiarkan Kania menangis sepuasnya sampai merasa tenang.
Kania mengusap pipinya, membersihkan kelopak matanya, menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan, ia meraih gelas berisi air teh yang ibu hidangakan.
"Bu, aku ini istri kedua," ucap Kania gemetar.
Ucapan Kania membuat ibu terkejut namun juga penuh rasa tak mengerti dengan ucapan Kania.
"Maksud kamu apa nak?" tanya Ibu gelisah.
"Mas Ilham ternyata sudah pernah menikah dan masih berstatus suami orang bu," jelas Kania.
"Apa????"
Sempurna sudah mata ibu terbelalak dan mulutnya membulat sempurna, terperangah mendengar ucapan Kania.
"Kamu jangan bercanda Kania," ujar ibu.
"Aku tidak bercanda bu, ibu tidak lihat air mataku."
"Ilham ...."
Ibu menggeram, tangannya mengepal, emosinya nampak mulai memuncak mendengar ucapan anaknya.
---
Apa yang akan dilakukan ibu ya???

Komentar Buku (232)

  • avatar
    FAHIMRIFA

    bagus,sepertinya kisahnya menyedihkan.baru sedikit membacanya,tapi...sudah sedih duluan.

    4h

      0
  • avatar
    ANCAH JELAJAHANCAH JELAJAH

    ini sangat seruh

    4d

      0
  • avatar
    SianturiSondang

    seruuuuuuuuuuu.....

    14d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru