logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Kejujuran

Kania memasukan beberapa lembar baju pada tas miliknya, terdengar langkah suara mendekati kamar tapi Kania tak peduli, ia butuh waktu untuk sendiri agar emosinya bisa ia redam.
"Mau ke mana?" tanya Ilham.
"Aku mau ke rumah ibu, perlu mendinginkan hati dan pikiran. Kalau kamu sudah siap bercerita jemput saja aku," ucap Kania tanpa menoleh ke arah Ilham.
Ilham dengan cekatan mengambil tas yang hendak ditutup oleh Kania,.
"Seorang istri gak boleh pergi tanpa izin suami iya kan?"
"Lantas apa boleh seorang suami berbohong pada istrinya?"
Ilham terdiam, ia kembali mencoba mengatur emosinya agar tetap tenang. Ia berdiri lalu menghampiri jendela kamar, memandang ke arah luar sambil melipat tangan di dadanya.
"Anak laki-laki sampai kapanpun syurganya di tangan ibunya, sedangkan anak perempuan jika telah menjadi istri maka syurganya berpindah. Lantas salahkah aku jika hanya ingin berbakti pada syurgaku tapi tetap bisa bersama dengan perempuan yang aku rindukan kehadirannya."
Kania hanya terdiam mendengar ucapan suaminya, ia memahami satu hal bahwa ada hal yang membuat Ilham menyembunyikan apa yang sudah ia lakukan padanya.
Ilham merubah posisinya, memandang lekat istrinya yang sedanh terduduk menundukan kepalanya di bawah ranjang, diangkat dagu Kania lalu Ilham memandang wajah itu dengan lekat.
"Duduklah, aku ceritakan semuanya."
Ilham menuntun Kania untuk duduk bersama di tepi ranjang mereka. Kania masih terdiam, ia hanya akan menggunakan telinganya saja untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi.
"Namanya Naina," ucap Ilham datar.
"Setelah bertahun-tahun, dia akhirnya datang ke sini dan ingin bertemu denganku dan semua keluargaku. Ah, mama ... Beliau selalu antusias jika bertemu dengan Naina, entah kenapa? Mungkin Naina selalu membuat mama dekat dengan sahabatnya."
Kania mengernyitkam dahinya, ia memandang lelaki yang lurus ke depan, lalu seketika menoleh ke arah Kania hingga pandangan mereka bersimborok dengan cepat Kania membuang pandangannya.
"Sebegitu hina kah aku hingga kamu tak mau melihatku? Kania, dia perempuan pilihan mama yang pernah aku nikahi lima tahun yang lalu."
Kania terperangah mendengar semua itu, memggeleng-gelengkan kepala, menutup mulutnya yang membulat sempurna dan seketika bangkit dari duduknya, menjauhi Ilham.
"Kamu pasti terkejut mendengarnya dan ini yang harus aku ucapkan. Maaf aku telah menyembunyikan hal ini darimu," ucap Ilham.
Ilham tersenyum miris, ia teringat dengan peristiwa lima tahun yang lalu saat dirinya masih memakai seragam abu-abu, sama sekali tak pernah terpikir jalan hidupnya akan seperti itu.
"Semua berawal dari permintaan konyol mama."
***
"Nggak ma, aku nggak mau. Aku ini masih ingin main ma, masih ingin menikmati hidupku."
"Mama tahu, mama gak akan menjauhkan hal itu dari kamu. Tolonglah Ilham gunakan hati kamu, kamu tahukan keluarga tante Dewi itu sudah sangat baik sama kita, kalau bukan karena tante Dewi kita gak akan hidup seperti ini, papa kamu mendapatkan pekerjaan yang layak karena tante Dewi dan Om Darmawan, kakak kamu dan kamu bisa hidup layak setelah papa kamu mendapat pekerjaan dari mereka. Ini saatnya kita membalas budi pada mereka."
"Ma, apa harus dengan menikahi anaknya. Aku sama sekali tak mencintai perempuan itu ma."
"Ilham, ini bukan soal cinta tapi ini soal balas budi dan soal keinginan tante Dewi. Ia ingin melihat anaknya menikah dengan anak mama sebelum dia meninggal, kamu tidak kasihan padanya?"
Mama terus mendesak Ilham untuk menikahi anak tante Dewi, sahabat dekat mama. Naina, putri tunggal dari pasangan kaya raya pemilik perusahaan ternama di kota ini dan memiliki beberapa cabang itu hendak dinikahkan dengan Ilham hanya karena ketika mama Ilham dan tante Dewi pernah berujur akan menjodohkan anak mereka.
Andai Ilham memiliki saudara laki-laki mungkin dia bisa memilih, sayang Ilham adalah anak lelaki satu-satunya, tak ada pilihan lain bagi Ilham selain pasrah dan menerima perintah mama.
Ya, memang tak ada pilihan lain. Sekuat apapun Ilham menolak akhirnya akad itu terjadi.
Ilham menatap sinis perempuan yang duduk di dekat ibunya yang terbaring lemah, sama sekali tak ada rasa iba dalam hati Ilham, justru yang ada Ilham sangat membencinya. Berulang kali Ilham mengucap ijab hingga terjeda beberapa waktu dan akhirnya sepasang muda-mudi itu resmi menjadi suami istri secara agama.
"Mau ke mana ham?" tanya mama.
"Mau pulang, tugasku sudah selesai kan? Mama sudah puas sekarang, iya?" ujar Ilham.
Mama Ilham menghela napas, Ilham memang benar-benar hanya menikahi perempuan bernama Naina itu sebatas meluruhkan keinginan mamanya saja tak ada niat apapun lagi.
"Ilham, bagaimana pun sekarang Naina adalah istri kamu. Temani dia merawat mamanya," ucap mama.
Ilham mendelik ke arah mamanya dan berlalu begitu saja, ia meninggalkan rumah mewah itu, melenggang tanpa memperdulikan teriakan mama.
Kepergian tante Dewi dua hari setelah peristiwa itu membuat mama Ilham sangat terpukul terlebih bagi Naina, ia seakan kehilangan cahaya hidupnya, air mata terus membasahi pipi mulusnya itu, bersama sang papa yang mencoba terlihat kuat Naina menghadapi ini semua.
"Hampiri Naina, hiburlah."
Mama berbisik pada Ilham, dengan langkah malas Ilham menghampiri perempuan itu yang sejak tadi menangis.
"Mas ...."
Tanpa ragu perempuan itu memeluk tubuh Ilham, Ilham bergeming, tangis Naina pecah dalam dada bidang Ilham. Sedangkan Ilham bingung apa yang harus ia lakukan, menengok ke arah mamanya terlihat mama memberikan isyarat untuk ia membalas pelukan Naina.
Ilham pun memeluk Naina dan Naina semakin tersedu, Ilham mengusap-usap punggung Naina, mencoba menenangkannya.
"Sudah jalan yang terbaik, Tuhan lebih sayang mama kamu."
Bibir yang sejak tadi kelu mendadak mencair, sejak saat itu Ilham selalu mencoba menghiburnya.
***
"Kamu sudah menceraikannya sebelum menikahiku?" tanya Kania sesaat setelah Ilham bercerita separuh dari masa lalunya.
"Belum."
Kania terduduk lemas, ucapan Ilham seperti petir yang menyambar dirinya, hatinya seolah tertancap ribuan busur panah.
"Artinya aku istri kedua?" lirihnya.
"Tidak Kania, kamu istri pertamaku tetap istri pertamaku."
Ilham mendekati Kania dan hendak memeluk istrinya yang menangis tersedu tapi Kania menjauh. Ilham menghela napas, menahan kekecewaan atas sikap Kania yang terus menghindar. Kania masih terdiam dan Ilham mencoba mencari cara untuk menyampaikan hal yang selama ini ia simpan dari istrinya itu.
"Kania ...," lirih Ilham.
Kania masih bergeming, pandangannya lurus mengarah ke luar jendela. Ia tak ingin mendengar apa yang akan disampaikan suaminya tapi dia pun butuh itu.
---
Kisah masa lalunya belum selesai ya, kita cari tahu di bab selanjutnya.

Komentar Buku (232)

  • avatar
    FAHIMRIFA

    bagus,sepertinya kisahnya menyedihkan.baru sedikit membacanya,tapi...sudah sedih duluan.

    6h

      0
  • avatar
    ANCAH JELAJAHANCAH JELAJAH

    ini sangat seruh

    5d

      0
  • avatar
    SianturiSondang

    seruuuuuuuuuuu.....

    14d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru