logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5. Sebuah Ikatan

Hangatnya air mengguyur dingin dan membasuh ketakutan dari setiap inci tubuhku. Aku bersyukur sejauh ini kamar mandi selalu menjadi tempat untuk menenangkan diri. Menghilangkan semua kegelisahan, tatapan menghakimi, tuduhan, kesedihan dan kesepian.
Kali ini kamar mandi juga tetap mendekapku dari dinginnya dunia luar.
Tetapi kali ini aku tidak bisa berlama-lama. Gaby menungguku.
Gaby, Gabriel, tunanganku.
Aku harus cepat atau ia akan masuk angin.
Mengenakan pakaian santai, baju kaos biru dan celana kain bunga-bunga, handuk masih membungkus kepala, aku menuju ruang tamu.
"Maaf, Ge, menunggu lama ya?"
"Tidak juga, Res. Sini duduk." Aku hendak duduk di sampingnya ketika tersadar keadaannya yang setengah basah.
"Ge, bentar ya, aku ambilkan baju Ale buat kamu."
"Tidak usah, Res. Ini juga mau balik."
"Ya sudah, kita ke kamar Ale. Yuk!"
Aku menyerahkan sebuah kaos cokelat dari lemari pakaian adik lelakiku itu untuk Gaby. Beruntung ukuran badan keduanya tidak jauh berbeda.
Gaby yang sedang membuka kancing kemejanya menatap tajam ketika kusodorkan kaos. Tatapan yang cukup lama mengunciku lalu ia tertawa.
"Dipegang dulu, Res. Atau kamu yang mau buka kancing bajuku." Ia mengedipkan sebelah matanya menggodaku. Ada aliran hangat mengalir dalam dadaku. Gaby yang biasanya kaku dan formal tiba-tiba menggodaku. Ia berhasil membuat efek yang tidak biasa. Aku beranjak pergi setelah mencubit lengannya.
"Kamu malu ya, Res. Bercanda kok. Maaf. Tapi ayolah bantu tunangan kamu. Aku kedinginan loh, Sayang."
Sayang, itu kata yang sangat mustahil untuk disebutkan di antara kami. Katanya, kekanakan tapi sekarang dia yang melakukannya. Aku tidak boleh kalah dengan candaannya yang garing itu.
"Oh, jadi kamu kerepotan, Sayang? Sini aku bantu." Giliran dia yang bungkam menatapku tidak percaya. "Kenapa diam, Sayang. Sini aku bantu."
"Jangan, Res, Aku bisa sendiri." ia berbalik cepat setelah menarik kaos dari tanganku. Aku yakin dia juga sama gugupnya dengan aku.
Aku berlalu meninggalkan dia yang masih membelakangiku, menutup pintu dan kembali ke kamar. Ini bukan sesuatu yang biasa kami lakukan.
Meski telah berstatus tunangan hampir empat bulan ini, hubungan kami bukanlah hubungan romantis layaknya pasangan lain.
Dia kesepian di usianya yang hampir kepala tiga dan aku yang putus asa karena hubungan sebelumnya. Sebagai orang yang mengabdi kepada ilmu pengetahuan di salah satu universitas swasta, ia sangat diam dan kaku. Segala perkataan dan perbuatan selalu dengan alasan logis. Termasuk soal perasaan cinta.
Baginya cinta akan ada di antara kami setelah menikah. Aku juga tidak peduli entah cinta atau tidak, aku hanya menerima tawaran pernikahan tanpa banyak berpikir setelah beberapa bulan berkenalan. Kenalan yang tak disengaja di sebuah atm saat jenuh mengantre, percakapan tentang kebosanan rutinitas, ajakan makan siang dan berlanjut pada ajakan menikah alias lamaran.
Ia benar-benar bukan lelaki yang romantis.
Tok ... Tok ... Tok ...
Dari balik pintu yang dibuka perlahan, Gaby muncul dengan senyum jahil yang rasanya sangat aneh. Tanpa baju dengan kaos Ale masih di tangannya. Wajahku memanas berhadapan langsung dengan dada cokelatnya yang kekar. Tidak tahu harus berkata apa dalam keadaan seperti ini.
Hampir empat bulan ini hubungan kami tidak lebih dari antar jemput, kunjung mengunjungi dan percakapan yang berisi rutinitas biasa. Laki-laki kaku dan perempuan serius menghabiskan waktu berbicara soal riset kimia fisika, terobosan baru dalam dunia teknologi, dan jika sedang santai bicara soal politik.
"Kamu malu ya, sayang," godanya lagi. Aku tergagap, kehilangan semua kata. Aku kembali berbalik hendak menjauh saat teringat tujuanku memberikan handuk untuk mengeringkan rambutnya.
"Handuk buat kamu, Ge." Dalam keadaan membelakangi, aku menyodorkan handuk. "Jangan lupa pakai baju."
Gaby terkekeh geli, entah seperti apa ekspresi lelaki kaku itu. Aku kembali ke kamar siap mengeringkan rambutku ketika Gaby mengetuk pintu. Ia masuk begitu saja dan duduk di depan meja riasku.
"Keringkan punyaku dulu, Res, nanti gantian aku yang mengeringkan rambut kamu."
Aku menyalakan hair dryer dan mulai mengeringkan rambutnya yang tebal. Desing pengering rambut menjadi musik pengiring kebisuan kami untuk sesaat. Ia memejamkan mata menikmati sentuhan di kepalanya. Sesekali ia iseng mencolek lenganku lalu terkikik.
"Aku senang hari ini bisa manja-manja sama kamu, Res. Kamu keibuan sekali." Aku menatapnya lewar pantulan cermin. Tatapannya sangat hangat, menggodaku untuk jujur.
"Sesekali memanjakan kamu 'kan tidak apa-apa, Ge. Lagian kamu juga basah karena aku."
"Aku merasa seperti anak kecil yang pengen dipeluk ibu."
"Ya sudah, kalau pulang nanti tinggal minta pelukan dari Mama dong, Ge."
"Aku maunya kamu, Res. Sekali saja."
"Ya ampun, Ge. Jangan lebay kayak kidz zaman now gitu deh. Tenang, ah!"
"Begitu saja langsung marah-marah, nanti cepat tua, loh, Res. Aku tidak mau punya istri yang cepat-cepat jadi oma." ia tersenyum jahil, sangat lucu.
"Sudah selesai, Ge."
Ia bangkit dan setengah memaksa mendudukkan aku di kursi yang baru saja ditempatinya. Ia ingin mengeringkan rambutku. Sungguh menggelikan. Aku menolak tetapi ia memaksa. Aku mengalah membiarkan ia merasa senang.
"Romantis sedikit 'kan tidak apa-apa, Res." Ia menyibak rambutku dengan tangan kiri sedang tangannya yang lain menggerakkan alat pengering. Aku mengamati gerak-geriknya lewat cermin. Wajah tampan yang sehari-hari serius dan kaku itu memperhatikan rambutku dengan teliti, sisi lain dirinya yang lembut.
"Ge, makasih untuk hari."
"Hem. Kamu tahu, setelah mengenalkan kamu pada teman-temanku, mereka menayakan asal usul kamu. Mereka pikir, kamu keturunan India. Aku bilang bukan. Kamu mau tahu apa respon mereka?"
"Apa?"
"Kok cantik kayak orang India. Aku senang sekali waktu itu."
"Oh ya? Senang karena punya aku atau karena aku mirip orang India?"
"Ya senang punya kamu yang mirip orang India lah, Res"
"Aku merasa tersanjung, Ge. Bagaimana kalau mereka tahu aku orang Flores?"
"Mereka melongo, Res. Kata mereka, sulit dipercaya. Aku tambah senang, Res. Bangga punya kamu."
"Makasih ya, Ge. Aku juga bangga punya kamu."
"Aku sayang kamu, Res. Jangan berubah, ya."
"Iya, Ge. Aku juga sayang kamu."
Ungkapan rasa sayang yang langka dan harus diingat. Patutu dicatat sebagai sejarah keluarga.
Gaby mematikan pengering, dan meletakkannya di atas meja.
Ia memelukku dari belakang dan mengecup pucuk kepalaku. Aku memegang tangan kekarnya, menyandarkan kepala pada dada bidangnya, menikmati setiap momen. Kami hanya saling bertatapan lewat cermin.
"Ge, kamu tidak penasaran kenapa tadi aku di tempat itu?"
"Penasaran sekali, Res, tapi aku ingin kamu cerita saat sudah siap."
Meski gugup dengan keadaanku, demi hubungan yang baik dan sehat aku harus jujur. Aku melepaskan pelukkannya dan berbalik menatap tepat di manik cokelatnya.
"Berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan meninggalkan aku setelah tahu yang sebenarnya tentang aku."
"Tentang kamu yang bagimana? Tidak perawan lagi? Sudah pernah tidur dengan lelaki lain? Tidak apa-apa, Res. Itu semua tidak penting buat aku. Aku sudah pernah bilang, yang aku butuhkan adalah kamu yang apa adanya untuk jadi istriku."
"Bukan itu, Ge."
"Jadi, kamu masih perawan? Umur kamu berapa tahun, Res."
"Berhenti bercanda, Ge. Aku serius."
"Maaf. Serius sekarang."
Aku menghela napas. Untuk kali ini apa pun yang terjadi, aku harus mengatakan yang sebenarnya.
"Ge, aku ketemu sama psikater." Berhenti sejenak dan mengamati wajahnya. Matanya sedikit melebar. Mungkin kaget tapi ia diam saja. "Aku sangat tersiksa dengan semua mimpi buruk dan ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Rasanya mereka hadir bukan hanya dalam mimpi tetapi juga ada di sekitarku. Mereka seperti menunggu waktu yang tepat untuk menampakkan diri. Ge, aku minta maaf tidak sempat cerita atau menanyakan pendapat kamu. Aku juga tidak cerita apa pun pada Mama dan Clare. Aku benar-benar minta maaf, Ge."
Gaby masih diam dengan raut yang lebih sering berubah. Ia sangat diam dengan sikap serius dan kakunya. Ia menyiksaku tanpa kata dan tidakan. Tidak melakukan apapun tetapi sangat membebani.
"Dokter siapa yang kamu temui?" Suara yang kutunggu berubah datar dan dingin. Aku tercekat.
"Dokter Faisal Ibrahim."
"Kalau saja kamu ceritakan sejak awal mungkin aku bisa merekomendasikan dokter kenalanku. Tidak apa-apa, aku juga tahu Dokter Faisal."
Sulit dipercaya. Ini sesuatu yang tidak aku bayangkan sebelumnya. Karena keanehan dalam diriku ini, aku telah berkali-kali gagal membina hubungan. Namun Gaby membuat semuanya berubah. Ada kehangatan yang mengalir dalam darahku, menuju jantung, beredar ke seluruh saraf dan merangsang hormon kebahagiaan yang berlebihan dalam diriku. Aku bersorak dalam hati.
"Bagaimana hasil konsultasinya?"
"Ah, itu. Kata dokter, dia harus mempelajari hasil diskusi kami.
" Ia memberikan resep obat?"
"Tidak. Memangnya harus ada resep obat ya?"
"Mungkin belum, Res." Suaranya berubah lembut. Ia menangkup wajahku dan berbisik, "Aku menyayangimu, Res. Jangan pernah kamu sembunyikan apapun dariku. Sebesar apa pun masalahmu, jangan dirahasiakan. Kita hadapi bersama setiap cobaan yang datang. Jika tidak sanggup menghadapi mereka, kamu bisa meminta bantuanku. Aku tahu kamu susah tidur saat musim hujan. Aku siap menemani dan memelukmu sepanjang malam asal kamu memintanya, Res."
"Maafkan aku, Ge. Aku takut kamu akan meninggalkan aku kalau kamu ... akh!" gemuruh guntur tiba-tiba mengagetkan. Hujan sejak tadi belum berhenti juga. Aku berteriak histeris. Tubuhku bergetar hebat. Gaby cepat menarikku dan memeluk erat. "Aku takut, Ge. Aku takut mereka datang lagi."
"Tenang, Res. Tarik napas dan embuskan dengan pelan. Aku bersamamu. Jangan dengar suara-suara itu, hanya dengar aku, Res."
Aku mengangkat kepala dari dadanya, menatap mata serius itu mencari keteguhan dari kata-katanya. Wajah ketakutan yang selama ini kusembunyikan terekspos sempurna. Wajah kakunya mulai buram oleh air mata.
"Jangan menangis, Res. Aku benci perempuan cengeng. Kamu bilang, kamu wanita yang realistis, masa hal kecil bisa buat kamu menangis."
Bukannya tersenyum dengan lelucuannya yang garing, aku justru menangis seperti anak kecil.
Gaby mengahapus air mata di pipiku. Dikecupnya pelan bekas air mata itu, dan seluruh bagian wajahku dikecupnya hingga berakhir di bibirku. Ia menciumku. Sedetik waktu berlalu rasanya sangat berharga. Aku balas menciumnya membiarkan ketakutan berlari menjauh.
Di luar masih hujan lebat, guntur dan petir pun masih bersahut-sahutan. Tetapi siapa yang peduli. Di saat seperti ini, aku lebih menikmati kehangatan yang diberikan Gaby, tunanganku.
"See, you can out from your phobia because of me. So, don't you even think that you can handle your problem by your own self or i will leave you. I'll always standing by your side.
Kalau kamu butuh aku, cukup bilang. Jangan merasa sendiri karena aku akan selalu ada untukmu. Kita adalah sebuah ikatan yang tidak bisa berdiri sendiri, Res."
Lidahku kelu, tak bisa menanggapi perkataannya. Namun aku berharap untuk hari ini saja, biarlah waktu berhenti sesaat. Biarlah aku menikmati sedikit lagi kehangatan ini. Ia memelukku erat. Aku dengan senang hati menikmati kehangatan yang langka ini.
bersambung...

Komentar Buku (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru