logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4. Bayangan

Di depan pelataran apotek yang masih di bawah naungan dokter Faisal dan kawan-kawan, aku menatap titik-titik air yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Dingin mulai merayap dari ujung kaki dan telinga. Aku mendekap tubuh yang hanya dibalut blus putih dan blazer cokelat. Sesekali aku menggosok-gosok kedua telapak tangan atau meniupkan udara ke dalam telapak tangan yang kukatup di depan mulut. Masih ada aroma dari tanaman yang kupetik tadi. Aku lupa kapan membuang daun itu. Telapak yang hangat kuusapkan pada kedua pipi dan tengkuk. Hangat untuk sesaat.
Sudah lima belas menit sejak Gabriel membalas chatku namun belum ada tanda-tanda kemunculannya. Aku sengaja berdiri di depan apotek agar punya dalih membeli vitamin jika ditanyakan. Kunyalakan ponsel. Pukul 12:20. Seharusnya hari siang yang panas dan ramai.
Kenyataannya, jalanan sangat sepi bahkan matahari pun bersembunyi dibalik hujan lebat membuat kelabu dan menciptakan suasana muram. Cahaya dari dalam gedung dan lampu jalan yang temaram menambah aura kesuraman yang mencekam. Merinding tubuhku ketika diterpa rinai yang tertiup angin. Pantofel dan ujung celana jeans hitamku sudah basah oleh percikan hujan yang menerpa lantai. Dingin sekali.
Aku menyesal terlalu nekat keluar dari tempat dokter Faisal dalam keadaan hujan seperti ini. Mau bagaimana lagi, sudah telanjur. Aku hanya bisa menunggu. Mengusir rasa takut aku mendengungkan lagu apa saja yang terlintas di benak. Entah mengapa lagu itu tiba-tiba datang dalam pikiranku, lari ke dalam mulut dan terucap begitu saja.
Topi saya bundar, Bundar topi saya
Kalau tidak bundar, Bukan topi saya ...
Aku berhenti. Menutup mulut yang masih ingin berdengung. Aku tidak pernah tahu lagu itu, tidak mendengar apalagi menyanyikannya. Tubuhku bereaksi lebih sensitif. Semakin kaku dan merinding. Aku mendengar suara tawa anak-anak yang ramai. Tawa geli yang sangat murni khas anak-anak seolah sedang mentertawakan sesuatu yang sangat lucu. Semakin lama tawa itu semakin dekat dan nyata.
Kegelisahan mulai merayap, mendekati dari segala sudut. Dari titik-titik hujan yang jatuh, genangan air, lampu jalanan, mobil-mobil yang terparkir, dinding bangunan, bahkan dari tulisan-tulisan di depan etalase toko. Berdengung seperti lebah, merambat dan menyengat tanpa ampun. Mereka, entah siapa pun itu sedang mentertawai ketololanku, menghina dan menginjak-injak beraniku. Mereka, yang tak berwujud.
"Ayo, Resty, joget. Itu hukumanmu, ha-ha-ha ... "
"Siapa kamu! Hei, siapa kamu! Tunjukkan dirimu anak kecil sialan!"
"Hahaha ... Resty kalah, ayo joget, Resty!"
"Berhenti! Jangan tertawa bocah sialan. Berhenti!" aku berteriak histeris. Tidak bisa membedakan mana yang nyata, suara tawa dan pemandangan di depanku yang semakin mencekam.
"Theresia anak Paul."
Suara itu, aku kenal suara itu. Suara nenek tua yang mengerikan. Serak dan berat. Ia datang lagi.
"Hei, berhenti! Jangan panggil aku. Aku mohon, jangan ganggu hidupku. Pergi!" Segalanya semakin tidak jelas, mereka mendorongku terlalu jauh.
Tidak peduli kaburnya jalanan karena air mata juga hujan yang masih deras, aku memilih pergi. Memeluk tas aku beranjak dari tempat terkutuk itu. Satu-satu aku melangkah dengan kaki yang mulai kaku dan berat. Terseok-seok membiarkan hujan membasahi seluruh tubuh, menggigil di tengah hari yang kelabu dan muram. Petir semakin menyambar Bumi, ia sedekat lampu jalan. Berpijar ganas sebelum disambut gemuruh guntur, bertalu-talu memekakkan telinga. Tas dalam pelukkan terlepas, meluncur jatuh sebelum tubuhku terduduk menyentuh genangan air di tepi jalan.
Susah payah aku memaksa berdiri. Belum sempat berdiri dengan tegak, sebuah mobil silver berbelok dan berhenti dengan tiba-tiba menimbulkan bunyi gesekan yang tajam dan semburan air hujan yang menggenang. Mobil itu berhenti tepat di depanku. Tubuhku terlalu lemah untuk berekasi menghindar atau berlari, aku hanya gemetar antara takut dan dingin.
Dari pandangan yang semakin redup aku melihat wajah seorang lelaki yang kaget sekalipun khawatir dari balik kemudi. Ia membuka pintu, menghampiri dan memeluk erat tubuhku yang basah kuyup dan berantakan.
"Ge ... " aku luruh dalam pelukkannya, bersama luruhnya suara-suara yang menghantui. Gaby seperti malaikat yang membawaku keluar dari penjara dunia kegelapan.
"Maafkan aku, Res." Ia menutunku masuk, memasang seat belt dan kembali ke tempatnya di depan kemudi. Ia ikut basah. Dari ekor mata aku tahu ia menatapku penuh tanya. Aku menunduk mengamati tetesan air yang jatuh di dasar mobil. Bayangan peristiwa beberapa saat lalu jatuh satu per satu bersama tetesan air, menggenang menjadi kenangan buruk.
"Tidak masalah, Res, nanti bisa dikeringkan. Sekarang lihat aku."
Aku mengangkat wajah menatap matanya dengan takut. Takut pada pertanyaan yang akan diajukan. Aku belum tahu bagaimana menjawab secara rasional. Takut ia akan menganggapku aneh.
"Res, aku tahu kamu takut hujan tapi kenapa bisa hujan-hujanan di tempat ini? Di tempat yang ... " ia mengalihkan wajah dan melihat sekeliling. Tampak jelas kerutan kebingungan di dahinya. "Oh, shit! Kenapa kamu bisa ada di tempat ini, Res? Apa yang kamu lakukan di sini? Ada perlu apa? Ketemu sama siapa?"
Aku terkatup menahan gugup. Tidak mungkin aku menjawab, ketemu sama psikater, aku mungkin saja gila, Ge. Itu sangat tidak mungkin.
"Hei, Res. Jawab! Kamu membuat aku bingung mencari ke sana ke mari. Tempat ini cukup jauh dari butik." Sudah kuduga akan seperti ini. Gaby yang jarang bicara, sekali membuka mulut, puluhan kata meluncur begitu cepat. "Res, jawab dong. Apa yang kamu lakukan di sini?" ia mengguncang pelan bahuku. Suaranya semakin lembut.
Meski demikian, terlalu dingin dan sulit berpikir untuk menjawab pertanyaan yang paling mudah. Aku bahkan tidak berniat menjawab pertanyaannya. Hanya memeluk diri seperti penjahat yang siap dihukum mati. Ketakutan telah menang atas logikaku. Takut pada suara-suara itu, juga pada Gaby. Bagaimana jika ia menemukan semakin banyak keanehan dalam diriku kemudian membatalkan pertunangan kami. Sungguh, aku tidak ingin hal itu terjadi.
"Ge, dingin. Bisa kita pergi sekarang? Aku mohon." Tanpa malu aku membiar tubuhku yang menggigil kedinginan berbicara, mencairkan rasa ingin tahunya. Ya, aku harus melakukannya. Itu semua bisa dijelaskan nanti, saat ini aku butuh kehangatan.
"Maafkan aku, Res. Aku sampai lupa keadaan kamu. Pakai dulu jaketku. Bertahanlah." Aku mengambil jaket denimnya dan melapisi blazerku yang sudah basah.
Kami meninggalkan jalan terkutuk itu masih dalam guyuran hujan yang entah kapan akan berhenti. Jalanan masih legang, lampu jalan masih redup menari-nari di antara titik air. Bahkan lampu sorot kendaraan dari depan sana tampak seperti lampu senter dari dalam terowongan. Bulat. Redup ditengah kegelapan. Ia seperti sebuah mata bulat yang menyala dalam kekelaman. Mataku semakin berat, kesadaranku ikut tertelan.
Dari mata yang menyala itu, sebuah bayangan melayang di tengah-tengahnya. Seperti benda hitam yang direkat pada sebuah kertas jingga. Bias cahayanya menerpa jalanan membentuk bayangan. Bayangan dari benda-benda di pinggir jalan menjelma sosok yang melayang, berlari pelan menuju satu titik. Semakin banyak.
Tiang lampu jalan, tiang spanduk, gerobak kaki lima, pohon-pohon bersama rimbun daunnya bahkan bayangan titik-titik hujan. Mereka terus bergerak, berkumpul menjadi satu bersama bayangan di tengah lingkaran cahaya itu. Membesar dan bulat, terbang rendah dan lurus terarah pada mataku. Semakin dekat semakin cepat, sedikit lagi dan ....
Prank!
"Tidak!"
"Res ... kau baik-baik saja?" sebuah benda menyentuh pipiku, hangat dan lembut. "Buka mata kamu, Res. Ayolah, Res. Resty!" suara Gaby menarikku dari keterkejutan luar biasa atas kejadian itu.
"Ge, kita selamat?"
"Apa maksud kamu?"
"Tabrakan tadi, Ge."
"Kita baik-baik saja. Res. Tabrakan tadi bukan apa-apa, toh hanya kertas yang terbawa angin dan menempel di kaca mobil."
Aku mengusap mata dan melihat kertas yang dimaksud Gaby. Dia benar, hanya kertas jingga yang menempel di kaca mobil. Bayangan tadi hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk di siang berhujan.
bersambung ...

Komentar Buku (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru