logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Inka

Enam tahun berlalu. Rachel kini berusia tiga puluh tahun. Gadis itu sekarang tinggal berdua saja dengan adiknya. Orang tua mereka meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan tol tiga tahun yang lalu.
Ceritanya ada teman baik ayah Rachel di luar kota tiba-tiba meninggal akibat serangan jantung. Demi memberikan penghormatan terakhir, pasangan suami istri itu kemudian berangkat naik mobil ke kota tempat tinggal almarhum.
Karena terburu-buru, ayah Rachel menjadi panik saat sebuah truk hendak menyalip mobilnya di jalan tol. Pria itu membuang setir ke sebelah kiri hingga menabrak bahu jalan. Mobil oleng ke kanan dan terbalik. Pasangan suami-istri itu tergencet di dalam mobil dan tak lama kemudian menghembuskan napas terakhir.
Sejak saat itu Rachel memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris direktur sebuah perusahaan properti ternama. Pekerjaannya yang sangat menyita waktu tak jarang mengharuskan gadis itu lembur di akhir pekan. Hal itu tak memungkinkan dirinya mengawasi Velove dengan optimal.
Adik Rachel yang autis itu sebenarnya sudah mengalami kemajuan pesat dari segi kognitif, komunikasi, sosialisasi, dan kemandirian. Namun tentu saja dia tak bisa ditinggalkan sepanjang hari dari pagi hingga sore bahkan malam, sebagaimana jam kerja Rachel sebagai sekretaris direktur.
Akhirnya kakak yang sangat menyayangi adiknya itu memutuskan untuk membuka kursus bahasa Inggris di rumah. Di komplek perumahan tersebut sebenarnya sudah ada kursus sejenis, namun gurunya laki-laki. Rachel mencoba peruntungannya dengan memasang spanduk kursus di depan rumahnya. Dia juga melakukan promosi di media-media sosial dan grup WA komplek perumahan tempat tinggalnya.
Ternyata murid yang diperoleh Rachel pertama kali tidak bersedia datang ke rumahnya. Gadis itu diminta datang mengajar di rumah murid yang bersangkutan. Meskipun letaknya dekat, namun Rachel masih merasa was-was. Dia kemudian menjadwalkan terapi untuk adiknya di rumah. Jadi pada saat dirinya pergi mengajar di rumah murid, ada terapis yang menjaga Velove.
Sang terapis kemudian mengajari Velove agar bisa mandiri meskipun ditinggal kakaknya sendirian di rumah. Sebelumnya gadis autis itu memang tak pernah dibiarkan seorang diri di rumah. Selalu ada orang yang menemaninya. Entah orang tuanya ataupun kakaknya.
Namun karena orang tuanya sudah tiada dan Rachel tak mungkin menemani adiknya sepanjang waktu, Velove diajari terapisnya kemandirian yang lebih kompleks. Kalau sebelumnya gadis itu telah mampu mengurus dirinya sendiri dalam hal mandi, membersihkan diri, makan, menyapu, mengepel, dan memasak sederhana seperti nasi dan telur, maka selanjutnya Velove diajari untuk belajar bersikap sabar menunggu kakaknya pulang ke rumah.
Pada awalnya memang tidak mudah. Velove sering menanyakan keberadaan kakaknya pada terapis. Namun dengan bimbingan yang telaten dari terapis dan Rachel, gadis bekebutuhan khusus itu akhirnya mampu beraktivitas seorang diri di rumah tanpa kehadiran pendamping.
Pelan tapi pasti, murid-murid Rachel bertambah banyak, baik di luar maupun di rumah. Akhirnya dia memberanikan diri untuk mempekerjakan asisten guna membantunya mengajar di rumah maupun di luar. Dirinya sendiri sudah berhenti mengajar di luar rumah. Untuk murid yang tak bisa datang ke rumahnya, Rachel memfasilitasi dengan kursus secara online. Disamping itu, dia mulai merambah dunia penerjemahan novel online dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Pekerjaannya yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah membuat Rachel merasa bahagia. Dia bisa mendapatkan penghasilan tanpa harus melepaskan pengawasan terhadap adiknya yang autis. Hubungan persaudaraan mereka semakin dekat dari hari ke hari.
Rachel menjadi semakin larut dalam dunianya sendiri. Dia tak ambil pusing dengan umurnya yang sudah menginjak kepala tiga dan seharusnya berpikir untuk mencari pasangan hidup. Kehidupan gadis itu bersama adik tercinta dan pekerjaannya yang menyenangkan sudah terasa memadai. Rachel tak membutuhkan perubahan lagi.
***
Suatu ketika ada seorang pria membawa anaknya yang berumur enam tahun ke rumah Rachel. Dari parasnya yang berbentuk mongoloid langsung kelihatan bahwa anak perempuan bernama Inka itu adalah seorang penyandang down syndrome.
“Inka ini anaknya penurut, Miss. Cuma ngomongnya memang belum lancar, meskipun pelafalannya cukup jelas. Sekarang dia kelas TK B. Ini saya daftarkan untuk SD tahun depan, tapi dia tidak lulus placement test. Sudah tiga sekolah yang menolaknya. Makanya saya datang ke sini untuk minta bantuan Miss Rachel mengajari Inka calistung. Menurut petugas sekuriti komplek ini, Miss Rachel sudah lama membuka kursus dan ehm…maaf…mempunyai adik yang berkebutuhan khusus. Jadi saya pikir barangkali Miss dapat membantu saya.”
“Maaf sebelumnya, Pak. Masalahnya saya ini guru bahasa Inggris. Bukan calistung. Dan pengalaman saya terhadap anak berkebutuhan khusus itu cuma menangani adik saya saja. Itupun banyak dibantu oleh terapis. Kalau Bapak mau, saya bisa perkenalkan terapis adik saya ke Bapak. Barangkali Inka bisa coba diterapi oleh beliau.”
“Anak saya sudah tiga tahun terapi di center dekat rumah saya yang lama di Surabaya Selatan. Kemudian kami pindah kemari dua bulan yang lalu. Terapinya saya hentikan, tapi sekolahnya tidak karena tinggal satu tahun saja. Terus terang di sini saya masih ngontrak, Miss. Dan…ehm…saya sedang ada masalah keuangan sekarang. Belum sanggup menerapikan Inka lagi. Tapi kalau les calistung, saya masih bisa usahakan karena memang itu penting buat anak saya persiapan masuk SD.”
Rachel merasa kasihan pada pria yang tiba-tiba datang ke rumahnya ini. Pria bertubuh tinggi tegap dengan rambut dipotong cepak ala tentara dan bermata teduh. Kelihatan sekali dia ayah yang sangat perhatian terhadap putrinya yang berkebutuhan khusus.
Pandangan gadis itu kemudian beralih pada Inka yang sejak tadi asyik bermain scrabble dan menyusun huruf-huruf dalam bahasa Indonesia. Permainan itu sebenarnya disediakan Rachel untuk mengajari murid-murid TK bahasa Inggris supaya lebih fun. Dan tadi Inka berinisiatif mengambilnya sendiri di rak dan memainkannya di atas meja kursus berwarna hijau yang memang diperuntukkan bagi murid yang masih kecil.
“B…K…U…U,” cetus Inka membaca potongan huruf-huruf yang disusunnya di atas papan scrabble.
Ayahnya langsung menoleh. Demikian pula Rachel. Didekatinya anak perempuan berkulit putih dan berwajah khas penyandang down syndrome itu.
“Inka sedang menyusun kata apa?” tanya Rachel lembut. Dia sudah biasa menangani berbagai macam anak reguler, namun baru kali ini menghadapi anak down syndrome.
“Buku,” jawab Inka pendek. Jari telunjuknya mengarah pada susunan huruf di depannya.
Rachel tersenyum simpul. Dia lalu berkata, “Inka pintar. Tapi susunan huruf-hurufnya belum tepat, Sayang. Miss benerin, ya. Ini huruf apa, Nak?”
“K,” jawab Inka cepat.
Rachel membenarkan. Kemudian diambilnya huruf tersebut. Diletakkannya di antara dua huruf U di sebelahnya. “Begini yang benar, Sayang. B…U…K…U. Dibaca: Buku.”
Inka tertawa senang sambil bertepuk tangan. Rachel tersenyum. Ayah Inka tidak berbohong. Cara anak itu merespon barusan persis seperti kebiasaan terapis ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) memberikan reward kalau muridnya berhasil mencapai sesuatu atau memahami apa yang diajarkan.
Ayah Inka tak kalah senang. Pria itu bertanya pada anaknya, “Inka suka belajar di sini?”
Yang ditanya mengangguk. Sang ayah semakin bersemangat. “Kalau begitu, coba tanya ke Miss Rachel, mau nggak nerima Inka belajar di sini?”
Rachel merasa tertohok. Matanya membulat menatap pria itu. Dia merasa di-prank oleh ayah Inka.

Komentar Buku (14)

  • avatar
    ContessiaAnnatasa

    seru banget !!

    10/07

      0
  • avatar
    Abby Azarinah

    👍🏻👍🏻

    02/07

      0
  • avatar
    KotoRisniyati

    semangat terus yah

    12/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru