logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Pernikahan Palsu

Pernikahan Palsu

Stefani Wijanto


Bab 1 Stroberi

[Maaf, Raline sayang, aku ada rapat mendadak. Kita tidak jadi nonton. Lain waktu, ya.]
Aku mendengkus kasar, kecewa menganga besar saat membaca pesan dari Denish--kekasihku. Aku melepas celemek yang ternoda tanah liat, lalu meregangkan otot leher. Sesi kursus keramik telah usai.
Ponselku berdering. Nama Mbak Roro terpampang.
"Ya, Mbak Ro?" Aku mengempit ponsel di antara pipi dan bahu, sementara kedua tangan membereskan peralatan membuat keramik.
"Lin, aku keluar kota. Tolong, kamu awasi Jovan dan teman-temannya," sahut Mbak Roro.
Aku memutar kedua bola mata. Jovan sudah berumur 22 tahun, aku pikir tidak perlu mengawasinya.
"Lin?"
"Aku denger, Mbak."
"Temen-temen Jovan nginep di rumah. Mbak khawatir mereka minum bir atau nonton video aneh atau bawa cewek. Tolong, pastikan ya, Lin, mereka tidak berulah," pinta Mbak Roro.
Kedua kaki melangkah keluar ruangan. Ella sedang menata vas di rak galeri.
"Baik, Mbak. Jangan khawatir," ujarku.
"Makasih, Lin. Bye."
Panggilan telepon berakhir. Jovan adalah keponakanku, aku lebih tua tujuh tahun. Kami lebih mirip kakak dan adik.
"Lin, aku masih ada jadwal mengajar pukul lima sore. Kamu pulang duluan saja." Ella memberitahu.
"Kenapa jadwalnya mundur?" tanyaku sembari mengikat rambut.
"Muridku terjebak macet." Ella menjawab dengan nada seperti pasrah dan tidak berdaya.
"Sampai jumpa besok, Ella." Aku menyandang tote bag, berjalan menuju pintu.
"Salam untuk Denish."
Tubuhku berbalik. "Dia membatalkan kencan kami."
Ekspresi wajah Ella seolah menyiratkan rasa tidak percaya. "Hah? Seminggu yang lalu dia juga membatalkan kencan kalian."
"Dia sibuk." Aku beralasan, kemudian memutar hendel pintu. Langit sore menyembulkan warna merah terang.
Mobil Corolla dx tahun 80-an yang aku kendarai berparade panjang dalam kemacetan. Aku menarik napas panjang. Paling benci dengan keruwetan kota besar pada pagi dan sore hari. Manusia berlomba keluar dan pulang ke rumah.
Butuh waktu lima belas menit aku keluar dari macet. Satu mobil jenis jip tampak terparkir di halaman rumah Mbak Roro. Mungkin milik teman Jovan. Untung aku menempati paviliun kecil di belakang rumah induk, jadi aku tidak perlu berurusan dengan mereka.
Suara tawa bergema ketika aku masuk lewat pintu dapur. Aku mengintip dari jendela, terlihat tiga pemuda tengah duduk di pinggir kolam renang. Kondisi dapur cukup memprihatinkan, gelas dan piring kotor menumpuk di wastafel. Jika teman Jovan menginap selama seminggu, aku yakin seluruh rumah ini akan semrawut.
Ruang tengah pun berantakan, kulit kacang dan kaleng soda tercecer di atas meja. Televisi dibiarkan menyala. Benar-benar membuat darah tinggi.
Aku memilih tidak peduli, biarkan Mbak Roro yang memarahi anak semata wayangnya. Aku juga tidak mau menegur Jovan. Menghemat energi.
Tangan mendorong pintu menuju teras belakang. Tiga pasang mata langsung memandangiku. Obrolan berhenti. Senyap seketika.
Dengan cuek aku melewati mereka, melangkah ke paviliun. Dagu terangkat sedikit, biar terlihat sedikit berwibawa.
"Siapa, Jov?" tanya salah satu teman Jovan.
"Tante gue," jawab Jovan.
"Cantik, sih. Sayang sekali sudah es te we."
Gelak tawa mereka meledak, seiring kepalaku yang ikut meledak. Apa? Aku es te we? Setengah tua? Umurku 29 tahun, emang sudah termasuk kategori es te we?
Aku memutar tubuh. "Heh, siapa tadi yang bilang es te we?!" jeritku dengan mata mendelik.
Tidak ada yang menjawab. Mereka berempat terdiam menahan tawa.
"Ayo, ngaku!" Aku memandangi mereka satu per satu. "Siapa yang bilang es te we, Jov?"
"Haduh, Tante, sudahlah ... hanya hal kecil dan bercanda." Jovan mengerutkan hidungnya.
Akan tetapi, dibilang es te we itu nyesek banget. Aku tidak terima. Mata ini memandangi kedua teman Jovan. Pemuda kurus tinggi dan berkacamata menunduk, menghindari tatapanku. Pemuda yang satu lagi lumayan ganteng dengan kaus putih tanpa kerah. Dia terlihat santai dan manik hitamnya berani menatapku.
"Karena kalian berdua tidak mau ngaku, aku sumpahin, salah satu dari kalian berdua akan jadi suamiku. Suami dari cewek setengah tua!" ucapku dengan suara membahana.
"Oh." Pemuda berkaus putih putih itu berdiri, dia mendekat dan mengulurkan tangannya. "Kenalkan, saya Raynar. Panggil saja Rayn. Calon suami Tante."
Oh, my God. Aku telah berkata bodoh. Aku mengabaikan uluran tangan Rayn. Berjalan cepat menuju paviliun. Menepuk jidat sendiri.
Amit-amit jabang bayi nikah sama brondong. Hiihhh.
Brak!
Aku menutup pintu paviliun dengan kasar. Mengenyakkan tubuh di atas kasur. Benar-benar menjengkelkan.
***
Tepat pukul satu dini hari aku keluar paviliun, berjalan perlahan ke rumah induk. Angin bulan Agustus terasa dingin. Bintang terlihat indah, membuai pelataran angkasa malam.
Jantung serasa copot ketika melihat air kolam renang tidak tenang. Bergelombang, bergerak cepat. Ada hantu berenang? Saking kagetnya kaki terantuk kursi santai di pinggir kolam renang, hingga membuat tubuh terjerembab jatuh.
"Tante, enggak apa-apa?"
Kembali jantung mencelos kaget mendengar suara serak. Tubuh tinggi menjulang keluar dari kolam renang. Tetes-tetes air bergerak turun dari rambut ke dada, lalu meluncur ke perut yang ... seksi ....
Cepat aku berdiri. Sedikit meringis menahan nyeri pada jempol kaki.
"Berenang malam-malam, kurang kerjaan banget," gerutuku.
"Tante juga keluar malam-malam," sahut Rayn cepat. "Nyari angin?"
Sebenarnya aku ingin patroli. Sesuai perintah Mbak Roro, mengawasi tiga badut yang kemungkinan berulah.
"Nyari minuman hangat." Aku berlalu dari hadapan Rayn. Tidak tahan melihat lelaki yang hanya mengenakan celana pendek renang. Menodai mata dan pikiran.
Kondisi rumah bersih, kulit kacang dan kaleng sofa tidak ada. Jovan dan si pemuda berkacamata tidur pulas di depan telivisi. Bergelung dalam selimut masing-masing.
Dapur pun bersih. Ternyata teman Jovan bukan tipe teman yang jorok dan sesuka hati.
Sebaiknya aku balik lagi ke paviliun. Tetapi, aku harus berpura-pura membuat minuman dulu. Telapak kaki berjinjit, melihat ke dalam rak atas. Mbak Roro menyimpan minuman jahe dan cokelat instan.
"Perlu bantuan, Tante?" Rayn sudah berdiri dekat di sampingku. Mengambilkan jahe dan cokelat sachet. Dia sudah mengenakan kaus dan celana kulot sedengkul.
Cokelat panas untukku dan secangkir jahe untuk Rayn. Kami duduk berseberangan di kursi meja makan. Terdiam.
"Sering berenang pada tengah malam?" Aku membuka percakapan.
"Cukup sering." Rayn menyandarkan tubuh pada punggung kursi. "Jadwal konser yang padat, kadang membuatku gila."
"Konser?" Dahiku berkernyit.
"Tante, enggak tahu siapa aku? Enggak pernah nonton teve, YouTube, Twitter, atau baca berita di media online?" Rayn menatapku tajam. "Enggak tahu Raynar Arthur?"
"Emang siapa kamu?" Aku ganti bertanya. "Kamu temannya Jovan yang baru kukenal."
"Eh, busyet, nih, tante-tante ... hidupnya di gua terus," gerutu Rayn.
"Betul, seharian aku cuma semedi. Enggak penting siapa kamu." Aku segera beranjak dari kursi, meninggalkan Rayn yang mukanya terlihat masam.
Emang dia artis? Orang terkenal macam anak Raja atau anak Presiden?
***
Tepat pukul sebelas siang, mobil sedan yang dikemudikan Denish merapat di pelataran parkir. Dia mengajakku datang ke pesta ulang tahun kakak iparnya
Pohon-pohon pinus, udara yang sejuk, alam yang cantik. Denish menggandeng tanganku menyusuri jalan dari batu, menuju restoran yang berdesain rumah kayu.
"Kamu akan mengenal hampir semua keluarga besarku. Termasuk si artis terkenal tapi biang masalah di keluarga," ujar Denish.
"Artis siapa?" Aku bertanya. Selama menjalin hubungan selama setahun aku baru mengenal keluarga inti Denish. Dia juga jarang bercerita tentang keluarga besarnya.
"Keponakanku. Namanya ...." Ucapan Denish terputus karena disapa oleh Diandra, adiknya yang super super centil.
"Mbak Raline juga datang." Diandra menggelendot di lengan kiriku. "Akhirnya aku ada temen."
"Wah, dia kekasihmu?" tanya lelaki paruh baya yang masih gagah diusianya.
"Raline kenalkan ini kakakku. Keluarga kami memanggilnya Paman Hariz." Denish memperkenalkan kakaknya. "Beliau yang berulang tahun ke 58 tahun."
Aku menjabat tangan Paman Hariz. "Saya Raline. Selamat ulang tahun, Paman."
Muncul lagi perempuan seumuran denganku, dia mengenakan gaun rajut hitam yang pas di badan, sepatu hak tinggi warna merah, rambut panjang bergelombang sampai pinggang. Cantik. Sangat cantik.
"Aku Arabel. Temen masa kecil Denish." Dia tertawa kecil, telapak tangannya sangat halus saat kami berjabat tangan.
Lalu datang perempuan berkulit eksotis, dia tersenyum lebar. "Aku Lona. Tetangga Denish sekaligus temen masa kuliah. Kami dekat bagai keluarga.
Sepertinya aku butuh buku catatan kecil untuk menulis nama-nama orang yang kutemui di pesta.
Diandra menarikku masuk ke restoran. Dia memperkenalkan aku pada keluarga dan teman keluarga lain. Karena merasa asing, aku keluar dari kerumunan. Menyambar jus jeruk di meja, aku berjalan mengelilingi restoran, mencari Denish.
Sosok yang kucari tidak terlihat di setiap sudut restoran. Aku bersandar pada tiang restoran sambil menyeruput es jeruk.
"Hei, calon istriku."
Aku menoleh, mendapati wajah Rayn yang tersenyum jenaka. Mataku melotot tajam.
"Sepertinya kita memang berjodoh, ya, Tante," celetuk Rayn.
"Bocah semprul."
"Tante, ngapain di sini?"
"Mau berenang dan menyelam," sahutku sewot.
"Ohhhh ... datang sendirian, ya?"
"Aku datang dengan Denish, kekasihku." Rasanya ingin kucakar wajah Rayn.
"Ohhhh ... pacarnya Om Denish, ya? Aku keponakannya."
"Enggak tanya." Gelas jus aku letakkan begitu di atas patung gajah. Berjalan ke arah taman.
Rayn rupanya mengekor di belakang. "Tante, mau ke mana?"
Aku tidak menjawab. Air danau terlihat berkilau di bawah terik matahari. Ada beberapa tenda di tepi danau. Mendadak sudut mata menangkap sesuatu di balik pohon pinus besar. Hanya terlihat sedikit bagian bahu dan lengan. Eh, jasnya sama dengan yang dikenakan Denish. Warna biru navy.
"Tante." Rayn tiba-tiba berdiri di depanku. "Kita ke arah sana saja, jalannya lebih rata. Di sana juga ada rumah danau."
Aku melongok melalui tubuh Rayn, jas biru navy sudah tidak ada.
"Yuk, Tante," ajak Rayn.
"Aku tidak mau," tolakku, galak.
Kembali Rayn menghalangi langkahku. "Kalo Tante enggak mau, aku cium, lho ...."
Dengan kekuatan penuh aku mencoba mendorong tubuh Rayn, namun rupanya dia sekokoh batu karang.
"Minggir!" perintahku.
"Hei, kalian sedang apa?" tegur Denish yang muncul dari arah danau.
"Aku mencarimu, Sayang." Segera aku menghampiri Denish.
"Tadi aku merokok, jadi cari tempat yang aman," ucap Denish. "Ayo, kita kembali ke restoran."
"Denish." Aku mengamati ujung bibir Denish. Ada sedikit noda merah. Dengan ujung jari jempol aku mengusap noda itu. "Bibirmu ... ada noda merah."
"Oh, tadi aku makan roti isi selai stroberi." Denish mengusap bibirnya dengan lengan jasnya.
"Rotinya pasti sangat manis, ya, Om?" seloroh Rayn. "Hingga lupa tempat."
Mendengar itu, mimik wajah Denish agak berubah. Rahangnya mengeras. Sementara mata ini memperhatikan dengan seksama semburat merah pada jempolku. Ini bukan selai, jika selai pasti terasa lengket.

Komentar Buku (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru