logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

24. Cerita Ibu Saanih

"Memangnya kenapa, Buk?" tanya Risma, setelah melihat perubahan pada raut wajah Ibu Saanih.
"Eneng Risma ini, anak ibu, Neng," ucap perempuan paruh baya itu, ada getaran dalam suaranya. Air matanya malah sudah mengalir. Risma sangat terkejut mendengarnya, tetapi tidak semudah itu dia percaya.
"Mungkin Ibu salah orang, saya punya ibu kandung sendiri," kata Risma, menjelaskan. Perempuan setengah tua itu terus menangis, dan jika dilihat dari pakaian dan beberapa perhiasan yang dia pakai, sepertinya kehidupannya bukanlah termasuk orang susah.
"Sawiyah, 'kan, namanya," terka-nya, dan ucapannya selalu tepat.
"Iya, Buk, itu memang nama emak kandung saya," sanggah Risma sekali lagi. Dia tetap belum percaya dengan ucapan Bu Saanih.
"Eneng memang benar anak Juragan Hasyim, tapi saya ibu yang melahirkan Eneng," jelasnya, mulai menangis terisak. Risma benar-benar dibuat bingung dengan sikap yang ditunjukkan Ibu Saanih, dan tanpa dia tanyakan Ibu Saanih menjelaskannya sendiri.
"Saya adalah istri muda Juragan Hasyim, dahulu tinggal di desa Cikoneng. Kenal dengan Juragan saat dia sedang menawarkan tanah di desa saya kepada pembeli, dan berhasil. Tidak beberapa lama langsung meminta kepada orang tua saya untuk bisa menikahi saya dengan memberikan uang yang sangat besar pada waktu itu, dan karena faktor kemiskinan orang tua saya akhirnya menerima, saat itu usia saya baru ingin 14 tahun." Berhenti bicara Bu Saanih, sembari menghapus air matanya, lalu mulai kembali bercerita.
"Usia 18 tahun, saya melahirkan anak perempuan tidak lama setelah kedua orang tua saya meninggal karena bencana tanah longsor, dan ....," Tangisan Buk Saanih semakin terdengar kencang, beberapa pelanggan yang ada di dalam kedai bakso itu pun sesekali sempat menoleh ke arah kami berdua, dan Risma mulai mencoba ikut menenangkan, dan dia pun merasakan ada getaran yang berbeda dalam dirinya saat mengusap-usap lembut bahu Buk Saanih.
"Setelah anak itu lahir, selesai masa nifas, saya pergi meninggalkan anak tersebut dan menitipkannya kepada tetangga agar nanti diberikan kepada bapaknya, Juragan Hasyim." Terisak lagi Buk Saanih, jilbabnya dia pakai buat menghapus air matanya, dan kembali melanjutkan bercerita.
"Saya mungkin ibu yang jahat, tetapi keadaan yang memaksa," jelasnya pelan seperti berbisik, tetapi Risma masih jelas mendengarnya.
"Saya lantas memilih untuk ikut bekerja ke luar negri, sebagai TKW selama bertahun-tahun." Bu Saanih sampai terguncang tubuhnya karena mencoba menahan untuk tidak lagi menangis. Risma pun merinding, mendengar cerita ibu Saanih, tetapi dia benar-benar belum percaya, jika yang diceritakan perempuan itu adalah kisah tentang dirinya, karena dia masih meyakini jika emak adalah ibu kandungnya.
"Dulu, saya pun sudah tahu jika Juragan Hasyim sudah beristri, Ceu Sawiyah orang dari Desa Cibungah, tapi saya bisa apa Neng ... berada di bawah tekanan bapak dan emak, yang memang dahulu hidup kami benar-benar serba sangat kekurangan." Mata Risma pun mulai berkaca-kaca mendengar cerita Buk Saanih.
Beliau pun bercerita sembari terus menangis.
"Neng ... saat ini saya tidak akan memaksa Eneng untuk percaya ucapan saya, silahkan Neng Risma coba tanyakan sendiri nanti sama bapak dan emak," pinta Buk Saanih kepada Risma.
"Beberapa tahun terakhir ini, saya sering menyaksikan rumah juragan Hasyim dari kejauhan, tepatnya dari sisi jalan. Akan tetapi saya tidak punya keberanian untuk mendekat. Saya rindu sekali ingin bertemu anak yang sudah saya lahirkan, walaupun saya tidak ikut merawat dan membesarkannya. Maafkan saya, Neng," sesalnya, terdengar lirih penuh dengan kesedihan dan penyesalan.
Risma bergetar hati juga tubuhnya, mulai merasakan kesedihan menyusup di dalam batinnya. Apakah benar cerita yang diucapkan Buk Saanih tentang siapa dirinya yang sebenarnya? Jika itu sebuah kebenaran kenapa tidak ada yang bercerita kepadanyaTidak bapak, emak, ataupun Kang Darman kakak tertuanya.
Risma menggenggam tangan Ibu Saanih, yang malah menciumi tangannya sembari terus menangis, terucap lirih.
"Firasat seorang ibu tidak akan salah, jika si Eneng ini memang anak kandung saya," ucapnya yakin, lalu Buk Saanih mulai mengusap-usap lembut pipi putriku Yuli, dan mencium kening anakku, wajahnya sudah bersimbah air mata.
"Sekarang saya tinggal di Desa Cisauk, jika cerita saya ini benar adanya, temui ibu nanti di sana ya, Neng," pintanya, seperti memohon, dan Risma mengangguk. Dia pun sudah menangis, dadanya mulai terasa sesak.
Ibu Saanih lantas ijin pamit terlebih dahulu, isi di dalam mangkok baksonya masih terlihat utuh. Berucap pelan sebelum keluar dari kedai.
"Wajah Neng Risma, benar-benar mirip seperti saat ibu muda dulu." Tersenyum lembut, matanya terlihat memerah, lalu melangkah meninggalkan kedai, setelah terlebih dahulu membayar makanan yang dipesannya, termasuk juga membayar bakso milikku dan Yuli.
Termangu Risma di dalam kedai bakso yang berbentuk ruko dua lantai ini. Memikirkan semua yang sudah diceritakan oleh Ibu Saanih kepadanya. Yah, Wajah Ibu Saanih belum terlalu tua, bahkan terlihat terawat. Sejujurnya dia sendiri mengakui ada kemiripan dengan wajah Ibu Saanih.
'Jika benar aku anak dari Ibu Saanih, dan mempunyai paras wajah yang hampir serupa, apakah itu alasannya bapak seperti terus memusuhi dan membedakan. Lalu jika semua kisah itu benar, berarti emak tidak ada hubungan darah sama sekali denganku, tetapi tetap mau mengurus dan merawat dengan kasih sayang yang sama dengan saudaraku yang lain tanpa membedakan. Padahal jika cerita ini benar adanya, berarti emak sudah merawat anak dari madunya sendiri, yaitu aku. Semoga cerita ini tidaklah benar' harap Risma di dalam hatinya.
Risma lantas mengajak Yuli untuk segera kembali pulang. Rasa penasarannya ingin mengetahui akan kebenaran dari cerita Bu Saanih, benar-benar membuatnya ingin cepat-cepat kembali ke rumah untuk nanti bertanya kepada emak tentang kebenaran cerita yang baru didengarnya ini.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terus saja teringat tentang apa yang diucapkan Ibu Saanih tadi, dan jika itu benar, kenapa tidak ada satu orang pun yang memberitahu tentang siapa diri dia yang sebenarnya, tidak bapak, emak, ataupun Kang Darman. Mereka seolah menyimpan rapat jika seandainya cerita ini benar adanya.
Kang Amran sepertinya belum terlalu paham saat itu, karena hanya berbeda satu setengah tahun dengan umur Risma, tetapi jika Kang Darman pasti mengetahuinya, karena jarak umur yang cukup jauh di antara mereka berdua, sekitar 12 tahun.
Sebenarnya menurut cerita emak, di antara Kang Darman dan Kang Amran, ada dua orang anak emak lagi yang keduanya meninggal saat bayi karena sakit. Anak kedua meninggal saat berumur 4 bulan, dan yang ketiga saat berusia dua tahun.
Risma benar-benar dibuat gelisah setelah mendengar kisah masa kecilnya menurut orang yang mengaku sebagai ibu kandungnya. Sejujurnya dia sendiri merasakan kenyamanan saat tadi bersama dengan Bu Saanih, sama nyamannya seperti jika Risma dekat dengan emak.
Beberapa saat lagi kendaraan yang membawa Risma akan memasuki pintu gerbang rumahnya. Terlihat beberapa orang berdiri di depan pintu gerbang tersebut, melihat-lihat di balik celah besi teralis pintu ke arah dalam rumah, seperti ingin mencari tahu isi dalam dari bangunan megah di atas bukit tersebut. Sementara itu, terlihat juga para penjaga berseragam memperhatikan orang-orang tersebut dari balik gerbang.
Terlihat jelas oleh Risma dari dalam kaca mobil, yang berhenti sesaat menunggu pintu gerbang otomatis terbuka. Risma melihat ada Ela dan Samsiah beserta suami-suaminya Tohir dan Gufron yang berdiri di depan pintu gerbang itu, kemudian tatapan mereka beralih ke arah kendaraan dan menyadari jika ada Risma di dalam mobil yang menunggu akan masuk tersebut.
Mereka semua lantas mendekat ke mobil bagian pintu belakang, tempat di mana Risma duduk, walaupun samar suara mereka masih dapat Risma dengar.
"Teh ... buka pintunya Teh, jangan pecat Kang Tohir teh," ucap Ela, mengiba sembari mengetuk-ngetuk kaca tempat Risma berada.
"Teh Risma ... jika Kang Gufron berhenti kerja, kami nanti makan apa, Teh." Kali ini Samsiah yang bicara, wajahnya menempel pada kaca mobil. Tohir dan Gufron bahkan sudah menghalang-halangi kendaraan yang membawa Risma untuk masuk. Satu orang bodyguard yang duduk di samping kemudi, dan dua orang security penjaga pintu gerbang, bergerak cepat untuk menghadang, dan mendorong mereka semua untuk menjauhi, sehingga mobil yang ditumpangi Risma langsung masuk ke dalam pintu gerbang.
Risma sempatkan untuk menoleh ke arah saudara-saudaranya tersebut, dan terlihat sedang saling mendorong dengan petugas pengamanan, tetapi suara teriakan Ela dan Samsiah masih bisa terdengar saat Risma turun dari mobil, dan pintu gerbang tertutup kembali.
Sebenarnya ada rasa kasihan saat Risma melihat saudara-saudaranya bersikap seperti itu, tetapi dia kuatkan hati untuk mencoba tidak lagi perduli, mereka semua yang sudah memulai perseteruan, dan sekarang Riswan sudah mulai menyerang. Memerintahkan untuk memecat karena perbuatan curang yang sudah mereka lakukan, bukan ingin berlaku dzalim, toh setiap pihak-pihak yang terlibat semua ditindak, tidak ada pengecualian.
Salah seorang pelayan menghampiri Risma untuk membantu membawa kantong belanjaan miliknya. Tujuan pertama Risma adalah mencari dan menemui emak, ingin meminta keterangan darinya, dan menurut keterangan pelayan emak masih berada di kamarnya.
Kuketuk pintu kamar emak pelan, sembari mengucap salam.
"Assalamualaikum, Mak."
"Waalaikum salam, masuk saja Ris, jawab emak dari dalam kamar. Risma pun segera masuk, diikuti salah satu pekerja yang ikut membawakan barang belanjaan, sementara Yuli ikut bersama pengasuhnya.
"Mak, ini beberapa potong pakaian ganti buat emak, ada juga pakaian dalamnya," jelas Risma, sembari menyodorkan beberapa kantong plastik berisi baju-baju baru, di atas ranjang tidur emak, duduk bersisian.
"Ya Allah, ris, banyak banget ini," ujar emak, sembari melihat-lihat baju satu persatu.
"Terima kasih ya, Ris," ucapnya, senang sekali emak terlihatnya.
"Sama-sama, Mak," jawab Risma, mencari saat yang tepat untuk meminta informasi dari emak, setelah dirasa tepat, Risma mulai bertanya.
"Mak, Risma mau bertanya, bolehkan?" tanya Risma, berhati-hati, dia tidak ingin menyakiti ataupun menyinggung perasaan emak nantinya.
"Kok pakai nanya boleh atau nggak, tentu boleh atuh Ris," jawab emak. Perlahan, Risma mulai mengawali pertanyaan.
"Emak kenal dengan Ibu Saanih yang dulu dari Desa Cikoneng?" Emak terdiam, raut wajahnya terlihat berubah sedih, dan Risma mampu membacanya.
"Kamu tahu dari mana nama itu, Ris?" emak malah balik bertanya.
"Risma tadi bertemu di depan pasar, Mak, saat sedang makan bakso dengan Yuli, dan Bu Saanih tahu-tahu menghampiri," jelas Risma, sambil menggenggam tangan emak di atas pangkuannya. Emak terdiam, lalu menunduk.
"Mak ... apa yang dikatakan Bu Saanih itu benar tidak, Mak?" tanya Risma lagi, seperti berbisik. Emak lalu menoleh ke arah Risma, tersenyum tipis.
"Apa yang dikatakan Saanih itu benar adanya, Ris," ucapnya lirih. " Saanih memang ibu kandung Risma," ucapnya lagi, bulir bening menggelayut di sudut netranya.
"Jadi itu semua benar, Mak?" tanya Risma lagi memastikan, dan emak hanya mengangguk perlahan.
"Tapi Ris, dari usia 40 hari sampai Risma usia setahun, Risma menyusu sama emak, bergantian dengan Amran, darah emak pun mengalir di tubuhmu, Ris," jawabnya, sudah mulai terisak. Risma langsung memeluk emak, dia pun ikut menangis terisak.
"Maafkan emak ya, Ris, jika dianggap merahasiakan hal ini, emak takut, Risma jadi nggak menganggap emak lagi."
"Ya Allah, Emak, nggak mungkin Risma bersikap seperti itu, Risma malah berterima kasih, Emak sudah mengurus dan merawat Risma seperti anak kandung sendiri," ucap Risma, sembari menciumi tangan emak.
"Saat emak bercerita jika bapakmu menikah tiga kali, yang pertama itu ya ibu kandungmu, Ris, Saanih. Jika nanti Risma ingin berkunjung ke rumahnya, emak diajak ya, Ris," pintanya. Risma mengangguk dalam tangis, memeluk emak kembali.
"Terima kasih ya, Mak, sudah merawat dan mengurus Risma," bisiknya di telinga emak. Memeluk emak semakin erat.
Suara ketukan pintu kamar emak, mengakhiri peluk tangis emak dan Risma.
"Masuk,saja," ucap Risma, dan Bude Ajeng kepala pengurus rumah tangga yang ternyata tadi mengetuk pintu.
"Bu Risma, itu di depan ada tamu dari Jakarta, katanya, ingin bertemu dengan Ibu," terang Bude Ajeng.
"Tamu dari Jakarta? Siapa Bude?" tanya Risma, sedikit heran, dia merasa tidak mempunyai kenalan dari luar kabupaten, hanya kawan-kawan sekolahnya dulu.
"Namanya, Maharani, Bu."

Komentar Buku (59)

  • avatar
    HasimHasbi

    novelnya gak ada kelanjutan

    19/07

      0
  • avatar
    AlfarizkiAzka

    aska

    15/07

      0
  • avatar
    TynnaNeng

    novel yang bagus

    29/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru