logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

CHAPTER 2 - AWAL PERTEMUAN (MEREKA)

SEPULUH BULAN SEBELUM PERNIKAHAN
"Lunaaaa... ayo bangun! Udah siang, nih!" Mama menggedor pintu kamar Aluna.
"Ini hari libur, Ma. Luna masih ngantuk!" Luna menyahuti Mamanya dari balik selimut.
"Eh, eh... nggak baik anak gadis bangun siang! Ayo bangun! Cepat!"
Aluna menguap. Matanya masih terasa berat untuk terbuka lebar ditambah badannya terasa capek, setelah lembur semalam.
Setengah malas dia berjalan menuju ruang makan. Rasa malasnya tetiba hilang ketika hidungnya menghidu aroma nasi goreng buatan Mama, membuatnya tergoda untuk bergegas mengambil piring.
Mama menepis tangan Aluna yang hendak mengambil piring. "Mandi dulu sana! Atau cuci muka, jangan jorok! Bangun tidur, kok, langsung sarapan."
Aluna mencebik. Ck! Lebih baik dia menuruti Mamanya, daripada jatah nasi goreng miliknya dioper ke Surya, abangnya.
~~
"Hmm, Mama ternyata benar. Sarapan setelah mandi memang lebih enak." Aluna menyeka bibirnya, baru saja dia menyelesaikan sarapannya.
"Hih, ya iyalah, nggak kebayang kalo bangun tidur langsung makan. Bisa-bisa rusak cita rasa nasi goreng istimewa Mama!" Mama memutar bola matanya, "jangan kamu tiru Abangmu itu, makan sebelum mandi. Nasi goreng campur jigong!"
"Huweek ... Untung aku udah beres makan." Aluna pura-pura mau muntah, Abangnya yang masih sarapan langsung melotot.
"Mau kemana?" Mama menatap Aluna yang sedang bersiap-siap pergi.
"Jam sepuluh mau keluar, Luna ada janji sama Bayu, Ma. Mau nemenin dia cari keperluan buat acara besok Senin."
Mama tersenyum, "jangan malem-malem ya pulangnya. Jangan sampe kamu dikunciin sama Papamu."
"Biarin sekali-kali dikunciin, Ma. Biar tidur sama Pino di luar." Surya terkekeh membayangkan Aluna tidur di luar ditemani Pino, kucing peliharaan mereka. Aluna menjulurkan lidahnya. Abangnya memang ajaib, meski sudah cukup umur menikah, tapi kelakuannya masih seperti bocah ingusan yang doyan usil.
~~
[Bay, kamu udah sampe belum? Aku udah di lantai tiga, tempat baju-baju cowok.]
Aluna selesai mengetik pesan, lalu mengirimkan pesan singkat itu ke nomor Bayu. Lima menit, pesan Aluna tak kunjung dibalas.
‘Ehm, apa masih di jalan, ya?’ Aluna mengecek ponselnya, kemudian kembali celingukan mencari sosok Bayu. Nihil. Bayu masih tak terlihat.
Bayu dan Aluna dulu satu almamater di jurusan yang sama, DKV. Keduanya sudah hampir tiga tahun lebih menjalani hubungan serius. Rencananya, akhir tahun nanti, Bayu akan melamar Aluna.
Drrrt.... Drrrt.
Sebuah notifikasi pesan masuk. Aluna segera membacanya.
[Sori, beb. Macet. Tunggu, ya. Sebentar lagi sampai, kok.]
Aluna tersenyum, memasukkan ponsel ke dalam saku celana jeansnya.
Lima belas menit kemudian, sosok Bayu terlihat setengah berlari menghampiri Aluna, yang sedari tadi duduk menunggu di dekat gerai toko pakaian.
"Maaf, nunggu lama, ya?"
"Ah, nggak kok. Tumben banget ada meeting sama klien pagi-pagi?" Aluna berdiri. Mengaitkan lengannya ke lengan Bayu.
"Tahu, nih. Mentang-mentang klien berduit, suka seenaknya, suka dadakan kalau minta ketemuan bahas progress."
"Dari jam berapa tadi?"
"Jam berapa ya? jam delapan-an mungkin? Nggak merhatiin jam-nya, lupa aku, Beb." Bayu terdengar ragu.
"Belum tua udah pelupa! Ehm, oh iya, rencananya kamu mau berapa hari di Surabaya?" Aluna mengganti topik pembicaraan.
"Sekitar semingguan. Belum pasti juga. Gimana situasi di sana aja."
"Yaah, lama lagi. Padahal baru juga ketemu."
Keduanya berjalan bersisian, Aluna bergelayut manja di lengan Bayu. Sudah seminggu lebih Aluna tidak bertemu dengan Bayu. Hati kecilnya sebenarnya rindu masa-masa saat mereka masih kuliah. Dimana keduanya tidak sibuk dengan urusan pekerjaan.
Terhitung, hampir dua tahun, Bayu merintis usahanya, sebuah perusahaan jasa EO (Event Organizer).
Selama dua tahun itu pula, Aluna setia mendampinginya. Mulai dari menemani Bayu turun ke jalan untuk sekadar menyebar brosur, memasang iklan dan mencari klien.
"Kita berjuang buat masa depan kita ya, Beb." suatu ketika Bayu menyemangati Aluna yang nampak kelelahan setelah menyebar brosur.
Setahun belakangan, usaha Bayu mulai berbuah manis, nama perusahaan EO miliknya mulai banyak yang melirik.
Jika sedang banyak event, bisa sampai berminggu-minggu Aluna tidak bisa bertemu Bayu. Seperti sekarang, dirinya baru bisa bertemu, setelah seminggu lebih Bayu ke Denpasar untuk memantau event di sana.
Aluna tak pernah protes.
Tak mengapa, toh ini semua demi untuk masa depan mereka juga. Apalagi Aluna juga cukup sibuk dengan pekerjaannya sebagai content creator di sebuah perusahaan iklan yang lumayan terkenal.
"Bay, coba lihat, ini warna sama motifnya cocok sama kamu..." Aluna menghentikan langkahnya. Tangannya meraih kemeja berwarna biru navy dengan selarik garis di tepian. Bayu tersenyum, "kalau menurutmu bagus. Aku oke aja."
Setelah selesai membeli beberapa kemeja dan keperluannya, Bayu mengajak Aluna untuk makan siang. "Kamu mau makan apa, Beb?"
"Hmm, apa ya.... kalau nasi soto di warung makan dekat kampus gimana? Mendadak kangen nasi soto Buk Ipah." Aluna menatap Bayu, menunggu persetujuannya.
Bayu mengangguk. "Ide bagus. Aku juga lagi pengen yang seger-seger, nasi soto kayaknya emang enak, tuh! Hayu, deh!"
***
Aluna tersenyum puas. Mangkuk soto di hadapannya bersih tak bersisa. Bahkan Bayu sampai nambah tiga kali. "Rekor. Makan tiga kali nambah. Kalau aku mendadak gendut, kamu harus tanggung jawab ya, Beb." Bayu terkekeh pelan.
"Iya, jangan khawatir. Walaupun kamu nggak six pack lagi, aku tetap cinta, kok." Aluna tertawa melihat tingkah Bayu yang kekenyangan.
"Luna?" sebuah suara menginterupsi tawa Aluna.
Aluna menoleh, mencari sumber suara.
"A-Arindi?" Aluna mengernyit. Mencoba memastikan tidak salah orang.
"Iya betul! Ya ampun, kangen! Jahat ih, kamu kemana aja, masak abis pindah kota, nggak pernah kasih kabar lagi." Arindi memeluk Aluna.
Agak canggung, Aluna membalas pelukan Arindi, "maaf.... Cuma memang beberapa kontak teman-teman ada yang hilang, termasuk nomer telepon kamu."
"Ooh, pantesan. Kirain kamu lupa sama aku."
"Nggak lupa, kok. Cuma memang aku bingung harus tanya siapa."
Arindi melirik Bayu lalu tersenyum, setengah berbisik, "pacarmu, ya? Atau suami?"
"Doakan segera jadi suami, ya. Oh ya, Bay, kenalin, ini Arindi, teman satu sekolah jaman putih abu." Aluna memperkenalkan Arindi.
Bayu bangkit dari duduk, tersenyum sopan dan mengulurkan tangan ke arah Arindi.
"Bayu."
"Arindi. Biasa dipanggil Rindi."
Arindi tersipu malu saat telapak tangan Bayu menyentuh telapak tangannya.
"Oh ya, Rin, kamu kok bisa di sini, lagi ngapain?" sayang sekali, Aluna tidak melihat rona merah di pipi Arindi.
"Aah, itu, aku lagi nganterin adik sepupu yang mau daftar di kampus ini. Sekalian mau cari tempat ngekos buat dia. Kamu sendiri, ngapain di sini?" Arindi buru-buru mengatur nafas, dia takut Aluna bisa mendengar suara detak jantungnya.
"Lagi nostalgia, Rin.Kangen sama soto jaman perjuangan jadi mahasiswa."
"Wah, jangan-jangan ini kampus kamu, ya?"
Aluna dengan cepat mengangguk.
"Betul! Ini kampusku dan Bayu, kita satu almamater."
"Wah, pasti seru, ya. Bisa dapet pacar yang satu kampus." Arindi menatap Aluna dan Bayu bergantian.
"Hehehe, yaah, gitu deh. Kalo kata kamu seru nggak, Bay?" Aluna menyenggol lengan Bayu.
Bayu acuh tak acuh. Hanya tersenyum lalu pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Maaf ya, Rin. Dia suka gitu kalo ketemu sama orang baru, kayak kulkas, dingin."
"Iya, dimaklumi." Arindi kembali mencuri pandang ke arah Bayu.
"Oh, ya, nomer kamu berapa? Biar nanti kalau mau ketemuan lagi, gampang ngehubunginnya."
Aluna lalu menyebutkan nomer ponsel miliknya. Setelah beberapa saat asyik mengobrol Arindi berpamitan. "Nanti kita janjian ketemu lagi, ya," Arindi memeluk Aluna.
“Siap. Kabarin aja kapan kamu ada waktu luang, nanti aku anterin keliling kota.”
***

Komentar Buku (57)

  • avatar
    Agnes Diah Lestari Baene

    bagus 💖🥰

    18d

      0
  • avatar
    Haqim Azmi

    best untuk di baca

    07/07

      0
  • avatar
    LizaArna

    ini sangat bagus

    03/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru